Mohon tunggu...
Alfian Nur Rochman
Alfian Nur Rochman Mohon Tunggu... -

"Jika engkau bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar maka jadilah penulis" ~Imam Al-Ghazali~

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saksi Jabaliya

29 November 2013   03:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:33 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit membiru. Arak awan tiada tampak melukiskan dirinya pada kanvas yang teramat luas. Angin menggulung debu menyiulkan desis kesepian. Bercak darah masih membekas di antara tumpukan mayat. Dari kejauhan menggema suara lelaki tertawa terbahak-bahak membelah kesunyian lorong kota.

“Hahaha” Letnan Yaniv Avitan tertawa keras, “di mana, di mana kalian bersembunyi, hah?” teriaknya pongah sambil sesekali menghisap rokok.

“Mungkin mereka telah mati oleh rasa takutnya sendiri, letnan, hahaha” sambung kopral Ben Hemo.

“Hahaha engkau benar, dan tak lama lagi tanah yang dijanjikan ini akan menjadi milik kita” balasnya dengan nada yakin.

“Apakah semudah itu, letnan?”

Letnan Yaniv Avitan hanya tersenyum datar sembari mencampakkan puntung rokok ke tanah. Namun, ternyata pertanyaan kopral Ben Hemo membuatnya semakin marah. Mukanya merah padam, dan ia berkata dengan suara keras.

“Bodoh!” matanya terbelalak, “apa susahnya mengalahkan anak-anak arab pelontar batu, hah?”

“Kita punya tank anti peluru, letnan?”

“Ya, kita remukkan kepala mereka dengan tank ini, seperti yang kita lakukan kemarin” jawabnya sambil menunjuk tank andalannya, “ayo kita cari mereka lagi” sambungnya.

Para serdadu Israel kembali melenggang membawa aroma kematian ke segala penjuru kota. Kota telah porak poranda, puing-puing bekas bangunan berserak di jalanan. Para penduduk bersembunyi ketakutan.

****

Senja di Jabaliya. Suasana kota semakin sunyi, hanya terdengar suara iringan tank dan serdadu Israel yang melintas di jalanan. Kemudian kesunyian itu pun pecah saat suara tank, mortir, dan berbagai senjata menghujam bangunan-bangunan yang masih tersisa.

“Keluarlah kalian! Di mana kalian bersembunyi, pengecut?” Teriak letnan Yaniv Avitan, “cari mereka, cepat!” perintah letnan Yaniv Avitan kepada seluruh anak buahnya.

Mendengar dentum mortir serta rentetan senjata tak pelak membuat orang-orang yang bersembunyi menjerit ketakutan, mereka berlari berhamburan keluar dari persembuyian.

“Farouq, ayo cepat lari!” teriak wanita separuh baya.

“Ibuuuu....!!!!”

“Hahaha, akhirnya kalian keluar juga” teriak letnan Yaniv Avitan, “Ben Hemo, hari ini kita pesta, hahaha”

“Hahaha” Ben Hemo ikut terkekeh.

Suara riuh senjata serta jeritan orang-orang menggema di penjuru kota. Para serdadu Israel dengan brutal menenembaki orang-orang yang berlarian. Berbagai macam senapan memuntahkan pelurunya, lontaran mortir menghancurkan tubuh manusia berkeping-keping. Asap tebal membumbung tinggi mengadu kepada langit. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana, darah mencair membasahi tanah Jabaliya seiring gerimis yang menyapa. Jabaliya berlumuran darah bersama ratapan senja.

“Pembunuh...!!!” teriak seorang bocah sambil menggenggam batu di tangannya.

Letnan Yaniv Avitan menaikkan alis matanya sembari menoleh ke arah bocah pembawa batu itu.

“Ohh, bocah malang di mana ibumu?” ujar letnan Yaniv Avitan sambil berjalan mendekatinya.

“Kau pembunuh!” suaranya bergetar.

Terlihat bocah itu menahan tangisnya, walau kemudian air matanya benar-benar tumpah membasahi sepasang pipinya. Tubuhnya berguncang. Rahangnya mengeras. Matanya yang pekat kini berkilat merah.

“Kau pembunuh!” teriaknya lagi sambil menyeka air mata yang menjelanak di pipinya.

Letnan Yaniv Avitan merandahkan wajahnya ke arah bocah itu dan berkata, “engkau menuduhku membunuh ibumu?” ujarnya, tangannya bertopang pada lutut, “teman-teman kalian tahu pembunuh ibu bocah malang ini?” Teriaknya.

“Bu..bukan aku letnan, tembakanku tadi mengenai laki-laki tua” tandas sersan Daniel, “mungkin Ben Hemo yang menembaknya?” ia menunjuk Ben Hemo.

“Oh, jadi wanita itu? Maaf, aku tak sengaja. Hahaha” sambung Ben Hemo terkekeh.

Bibir letnan Yaniv Avitan melengkung ke bawah, sesaat kemudian ia tertawa terbahak-bahak hingga air matanya berlinangan. Sementara, bocah itu semakin kuat memegang batu yang ada di tanggannya. Tidak ada yang mampu ia lakukan selain melontar batu, tidak ada yang ia miliki selain batu-batu serpihan rumah-rumah pemilik negeri terjajah. Lalu, letnan Yaniv Avitan memegang tangan bocah itu dan mengambil batu yang ia genggam.

“Di mana Allah-mu itu, hah? Di mana Dia? Apa Dia tidak bisa menolongmu dan ibumu?” letnan Yaniv Avitan melempar batu itu ke tanah kemudian menginjak-injaknya, “jangan-jangan batu ini Allah-mu? hahaha” ia tertawa keras sekali.

Bocah itu terdiam, nafasnya tersengal-sengal. Letnan Yaniv Avitan berjalan mengelilingi bocah itu. Aroma kematian semakin terasa ketika mayat-mayat tergeletak di seluruh penjuru kota. Langit masih menangis, kilat menyambar-nyambar dan menjerit keras. Ketika penguasa tiran telah buta akan darah yang mengucur dari negeri derita, maka teriak bocah-bocah tiada dosa tidak lagi terdengar oleh telinga yang tersumbat nyanyian dusta.

Bocah itu menatap lekat-lekat letnan Yaniv Avitan, terlihat wajah penuh kebencian ia tampakkan kepada para serdadu Israel.

“Allah” bibirya bergetar lirih.

“Apa kau bilang?” letnan Yaniv Avitan mendekatkan telingganya ke wajah bocah itu.

“Allah, Dia ada dalam hatiku, menemaniku, melindungiku, mengokohkan jiwaku menghadapi manusia berhati binatang seperti kalian” ujarnya lantang.

“Berengsek, kau bilang kami binatang?”, bentak letnan Yaniv Avitan, “Cuih..” ia meludahi wajah bocah itu.

“Allah mencintai negeri ini, tangan-tangan kotor kalian tak akan mampu mengambil negeri ini ” ujar bocah itu sembari mengelap ludah yang menempel pada wajahnya dengan punggung tanggannya.

“Hahaha” Letnan Yaniv Avitan menyeringai.

Letnan Yaniv Avitan berjalan mendekati Ben Hemo, “Ben Hemo...!!” teriaknya.

“Siap, letnan!!”

“Kirim dia agar bertemu dengan Tuhan-nya” perintah letnan Yaniv Avitan.

Ben Hemo membidik bocah itu dengan tank andalannya. Sementara, bocah itu berjalan mendekati tank serdadu Israel dan mengambil sebuah batu yang tergeletak di tanah. Bibirnya bergetar pelan, hampir tak terdengar suaranya, hanya sesekali sayup suara Allah terdengar dari bibir bocah itu. Kemudian semakin keras.

“Allahu Akbar..!! Allahu Akbar..!! Allahu Akbar...!!!!” teriak bocah itu tanggannya mengayun melontarkan batu.

“Tembakk...!!!” teriak letnan Yaniv Avitan.

Seketika peluru meriam meluncur deras ke arah bocah itu. Tepat mengenainya. Hilang sudah bocah itu dari pandangan para serdadu Israel, hanya gumpalan asap yang masih mengepul. Darah bercecaran, tubuh hancur berkeping-keping. Suasana kembali sunyi beberapa saat.

Letnan Yaniv Avitan berjalan perlahan mendekati tubuh bocah itu yang telah hancur berkeping-keping, “Dia sudah mati..!! Dia sudah mati..!! lihat ini, lihat ini kepalanya!!” teriak letnan Yaniv Avitan riang seraya menendang-nendang kepala bocah itu.

“Hahahaha”

“Hahahaha”

“Hahahaha... binasalah mereka”

Suara riuh tertawa para serdadu Israel menggema di Jabaliya menyambut sikap pengecut mereka. Letnan Yaniv Avitan menengadahkan wajahnya ke langit sembari melepaskan beberapa kali tembakan ke atas.

“Di mana Tuhan kalian wahai orang-orang Palestina?” teriaknya keras membelah kesunyian kota Jabaliya yang telah sekarat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun