Sejauh mata memandang, sejauh kaki melangkah, tak jua lidah ini bergetar memanggil namanya. Akhirnya, ia pergi menjauh dan kemudian benar-benar lenyap tersapu kabut perbukitan. Tiada lagi bekas yang tersisa kecuali kebisuan yang masih kuratapi. Hanya belukar yang menari riang oleh tiup angin dari bukit. Kumbang berterbangan penuh suka. Sementara, kakiku seakan tertancap mengakar ke dalam perut bentala. Dari kejauhan aku menangkap sayup suara obrolan kumbang dan belukar.
"Seharusnya dia tak sampai seperti itu. Ini memang salahnya" tutur kumbang pada belukar.
"Mungkin terlalu berat baginya perpisahan itu" balas belukar.
Obrolan mereka masih samar untuk kudengar walau angin mengirimkan kabar itu padaku. Aku berjalan perlahan mendekati mereka. Sebenarnya aku masih berada dalam ratapan yang membuatku enggan untuk melangkah, karena di tempat itulah aku dapat melihat bayang-bayangnya dengan jelas ketika kami
masih beradu pandang untuk terakhir kalinya. Tapi, aku ingin sekali mendengar apa yang mereka bicarakan, barangkali mereka mempunyai jawaban atas kemalanganku ini. Aku mendekati mereka, dan tak sengaka kakiku menginjak patahan dahan yang telah mengering, suara itu mengejutkan mereka. Dengan sekejap belukar membisu dan kumbang terbang pergi entah ke mana.
"Apa yang engkau bicarakan tadi?" tanyaku pada belukar.
Dia tak membalas pertanyaanku. Ia diam. Ia hanya menari-nari bersama iringan angin yang meniupnya.
"Apa yang engkau bicarakan tadi? Ku mohon jawablah pertanyaanku!" tanyaku lagi, kali ini aku mengiba pada belukar.
Akhirnya belukar pun bersuara “sedari tadi aku melihatmu. Aku sudah tahu semuamya”
"Iya kami tahu!" seru kumbang yang secara tiba-tiba muncul kembali, "gadis itu…."
"Sarah, maksudmu?" selaku.
"Ya, gadis itu selalu menantimu di tempat ini. Kala senja tiba, ia selalu bersenandung pada mentari mengapa ia hendak pergi meninggalkannya seperti engkau juga meninggalkannya" jelas kumbang.