Mohon tunggu...
Loganue Saputra Jr
Loganue Saputra Jr Mohon Tunggu... pegawai negeri -

"Seri Langit Terbelah Dua merupakan efik cerita awal kehidupan manusia di dunia, berawal dari pengusiran dari Surga hingga kepada perang besar yang membawa dunia menuju kiamat"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Mahakama] 04/ Orang-orang Qwitaire

3 April 2014   13:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:08 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aku duduk di panggun kecil di bawah pohon rambai yang ada di belakang belay. Keringat membasahi pakaianku begitu juga dengan letih yang bercapur ke dalam sukmaku. Aku tidak mengeluhkan hal itu, sudah sangat lama aku tidak mengeluh, sejak aku datang ke tempat ini aku tak lagi pernah mengeluh seperti dulu. Setiap apa yang aku kerjakan saat ini memiliki sebuah tujuan yang jelas, sehingga untuk memaknai itu semua aku bisa mensyukuri apa yang sudah diberikan kepadaku oleh Yang-Maha-Kuasa.

Jenta, Rumbun dan Segah asik menyiram galungan yang baru saja kami tanami bibit sayuran. Mereka masing-masing merangkul bak kayu berisi air dan menyiramkannya dengan merata ke galungan. Aku terus memperhatikan Jenta, aku semakin yakin bahwa dialah perempuan yang selama ini aku cari untuk menghabiskan waktu hidupku. Dan aku juga bisa merasakan perasaannya yang sepertinya juga memiliki kekuatan yang sama dengan apa yang aku miliki.

Jenta menatap kearahku yang saat itu sedang termenung, aku terkejut ketika menyadari bahwa dia sudah berada di sebelahku. Dia meletakkan bak kayu yang sejak tadi dibawanya di samping kaki panggung, dia duduk disebelahku dengan sesekali tersenyum malu. Rumbun dan Segah kejar-kejaran saling siram air. Saat itu aku tak berani menatap wajah Jenta secara langsung, aku menatap lurus ke depan kearah Rumbun dan Segah, akan tetapi aku berbicara padanya.

“Tidak akan lama sayur-sayur itu akan tumbuh,” ucapku sambil tersenyum.

“Tumbuh,” dia berucap mengulangi satu kata yang baru saja aku ucapkan. Dia dengan sangat cepat belajar bahasa yang aku miliki, dari sekian banyak orang yang ada di tempat itu hanya dialah yang bisa aku ajak bicara dengan mudah, karena kebanyakan dari mereka lebih suka menggunakan bahasa mereka. Mungkin itu seperti komitmen dalam hidup mereka, aku tak berhak merubah itu semua apalagi memaksakan hal itu.

“Seperti kita yang juga selalu tumbuh,” lanjutku lagi.

Dia menyadarkan kepalanya ke bahuku kemudian memegang tangan kananku, dia memegang gelang yang diberikannya kepadaku beberapa hari yang lalu. “Mereka gembira,” ucap Jenta yang kemudian menunjuk kearah Rumbun dan Segah. “Saat itu bulan di langit gelap separuh. Air menenggelami akar pohon di pinggiran sungai. Sangkarlak sedang memburu ikan, dia tidak melihat air memburinik, kemudian dia ditarik ke dalam dan tenggelam. Sangkarlak tidak kembali hingga gelap datang demikian juga ketika esoknya cahaya terang datang lagi. Semua mulai mencarinya. Sejak saat itu Rumbun dan Segak tak lagi punya Bapak.”

“Apa yang sebenarnya terjadi?,” tanyaku penasaran.

“Sungai sudah mengambilnya,” jawab Jenta pelan.

Tiba-tiba saja aku teringat Ayahku, teringat saat aku masih keci dan lebih kecil daripada Rumbun dan Segah. Hari itu Ayah tidak berada di gudang tempat dia bekerja, dia tidak menempa besi atau pun membuat keris seperti biasanya. Aku berada di gudangnya memandangi apa pun yang pernah dikerjakannya, lalu tak lama setelah itu Ibuku memanggilku kemudian kami pergi ke lapangan tempat orang-orang berkumpul. Kala itu aku berpikir mungkin Ibuku lebih beruntung daripada diriku karena dia tidak bisa melihat eksekusi yang terjadi. Aku mencengkram jemari tangannya sambil menangis tak tertahankan. Lalu semua orang diam membisu karena tegang, dan saat tali tambang membelit dileher Ayahku aku menunduk memeluk Ibuku membelakangi kenyataan yang segera terjadi.

Papan yang dipijak oleh Ayahku terbuka seperti jendela namun arahnya ke bawah dan setelah itu kakinya terjuntai tak bernyawa. Entah Ayah menangis atau ketakutan, aku tak bisa tahu karena aku tak berani melihatnya, lagi pula saat itu kepalanya ditutup dengan kain hitam yang membuat penglihatannya gelap. Setelah hari itu aku tak henti-hentinya menangis dan bahkan rasa sakit masih ada hingga saat ini.

Andai saja aku seperti Rahwana yang bisa melakukan balas dendam kepada Rama dengan menculik Dewi Sinta karena Rama telah melukai Surpanaka. Walau pada kenyataannya Rama tak berhak diperlakukan seperti itu. Tapi Rahwana jauh lebih beruntung daripada diriku, karena dia tahu kepada siapa dia harus membalas dendam. Kadang dendam bisa membuat hidup menjadi kesusahan namun jika terus dipendam juga akan selalu menjadi hantu yang membayang-bayangi diri atas rasa bersalahdan kehilangan.

Matahari sudah mulai tinggi, Jenta berkumpul dengan para perempuan untuk membuat kerajinan sedangkan Rumbun dan Segah pergi ke belay Dehen untuk belajar bermain suling. Awalnya aku siang itu memutuskan untuk beristirahat dengan berbaring sejenak di atas panggung di bawah pohon rambai namun Labih datang mengajakku bersama beberapa orang laki-laki lainnya untuk berburu kijang ke dalam hutan.

Siang hampir melewati garis tengah langit, namun keadaan hutan masih terasa lembab, tanah yang kami pijak tertutup rumput dan dedaunan kering, setiap dari kami masing-masing memegang tombak dan beberapa orang lainnya siaga untuk memanah. Suara langkah kami memang tak bisa kami hindari karena dedaunan kering dan ranting pohon yang rapuh banyak terdapat disekitar kami, namun kami berusaha agar tidak menimbulkan suara yang bisa membuat hewan buruan kabur.

Kepakan sayap burung Enggang memecah keheningan hutan, membuat kami semua seolah menahan napas dengan kedua bola mata menerawang kesekitar, masih belum ada tanda-tanda bahwa disekitar kami ada hewan buruang namun, tidak setelah Saloh menemukan jejak kijang pada lumpur yang akhirnya mengarahkan kami ke tempat kijang tadi berada. Kami berpencar membentuk dua barisan untuk mengepung kijang tadi akan tetapi pendengaran kijang jauh lebih peka daripada yang aku kira, kedua telinganya terangkat ke atas bersamaan dengan lehernya yang terlihat agak memanjang karena dia mengangkat kepalanya, dia diam seperti patung mengintai situasi dan waktu yang tepat untuk bergerak.

Labih yang saat itu bersamaku, melesatkan anak panah, namun kijang yang tadinya diam sudah lebih dulu bergerak di antara semak belukar, berlari secepat yang bisa dia lakukan. Kami keluar dari persembunyian dan mengejar kijang tadi dari dua sisi yang berbeda. Lari kijang jauh lebih gesit daripada kami, pepohonan galam, perepat serta rengas melesat bagai bayangan di sekitarnya hingga akhirnya kijang tadi membawa kami ke pinggir sungai. Tepat di bawah pohon galam yang agak condong ke sungai kijang tadi terhenti, dia terkepung serta terdesak ke pinggir sungai. Tanpa menunda lagi aku dan Saloh langsung melemparkan tombak secara bersamaan. Lemparanku memang meleset tapi lemparanSaloh membuat kijang tadi roboh terkapar.

Kami mengikat keempat kaki kijang tadi dengan tali purun kemudan menyelipkan sebatang kayu panjang yang aku ambil dari batang pohon galam kecil di antara kaki kijang tadi. Kulihat senyum di wajah mereka, mereka semua puas dengan hasil buruan yang kami dapatkan begitu juga dengan diriku. Namun tiba-tiba Mantir—anak Saloh—mengalihkan perhatian kami. Dia berdiri di samping pohon galam yang condongke sungai, dia mengacungkan telunjuknya ke tengah sungai, dia terheran-heran dengan apa yang dilihanya, demikian juga dengan kami semua.

Aku mendekati Mantir sambil memerhatikan dengan seksama ketengah sungai. Sebuah kapal besar dengan layar yang masih tergulung. Di sisi kapal tadi terjulur banyak pengayuh yang membuat kapal tadi bergerak menyisir sungai untuk melawan arus. Di atas kapal tadi ada banyak orang, dan semua yang bisa kulihat saat itu adalah laki-laki. Mereka terlihat tangguh dengan tubuh besar dan berkeringat, kulit mereka sao matang, dan mereka dengan perlahan merapat ke tepian.

Salah seorang dari mereka melihat kami dengan tropong dan dia berteriak memberitahu siapa saja yang ada di dekatnya dengan lantang. Aku mengajak Mantir untuk menjauh dari tepian, dan dengan tergesa-gesa kami membawa hewan buruan menembus hutan untuk mencapai ke pemukiman. Aku sangat gelisah saat itu, kedatangan kapal besar dengan banyak awaknya pastilah bukan kabar baik bagi semua orang yang ada di pemukiman ini. Dan aku khawatir hal itu akan mengakibatkan penderitaan yang tidak seharusnya mereka dapatkan.

Siang itu juga para laki-laki dikumpulkan, semuanya berkumpul di belay panjang tempat Datok tinggal, mereka membahas tentang kemungkinan yang akan terjadi dan tindakan apa yang sebaiknya mereka lakukan. Tombak dan panah siaga ditangan mereka semua, sedangkan para kaum perempuan dan anak-anak bersembunyi di dalam belay. Hanya beberapa orang laki-laki yang tinggal menjaga pemukiman sedangkan sisanya termasuk aku bergerak ke hilir sungai untuk memeriksa kapal yang tadinya kami lihat.

Di antara semak belukar kami bersembunyi, kami berpencar dalam beberapa kelompok, mengawasi dengan seksama pergerakan orang-orang yang bergantian turun naik kapal untuk menurunkan barang-barang yang mereka bawa. Beberapa dari mereka yang berpakaian lebih bagus berdiri mengawasi para lelaki yang mengangkut peti-peti kayu, keris tersandang di pinggang mereka dengan mata keris tersembunyi di dalam sarungnya.

Dan setelah cukup banyak barang yang mereka turunkan, seorang laki-laki dengan karisma yang kuat dan sorot mata yang tajam bergerak perlahan turun dari kapal, keris yang terselip di pinggangnya bergoyang mengikuti irama langkahnya yang berwibawa. Dagunya yang terangkat menandakan sifatnya yang sombong dan berkuasa. Dia pun memerintahkan kepada beberapa orang untuk segera membuat kemah tempat mereka bermalam.

Aku kenal dengan lelaki penuh wibawa itu, dia adalah Ganendra seorang Panglima dari Kerajaan Qwitaire. Dan kedatangannya ke tempat yang sangat jauh ini tidak lain adalah untuk perluasan wilayah kekuasaan Kerajaan dan sekaligus pengejaran atas pencarian yang memang sudah lama dilakukannya.

Hingga senja datang kemah yang sudah mereka buat semakin bertambah jumlahnya, kami pun yang sejak tadi hanya mengawasi mundur secara perlahan, bersembunyi di dalam bayangan gelap hari yang mulai berubah malam. Kami melangkah di antara belukar dan pepohonan, kembali menuju pemukiman. Kini mungkin beberapa dari orang-orang yang berjalan bersamaku itu mengerti bahwa ada begitu banyak manusia berbahaya dengan senjata yang terbuat dari besi dan baja yang kemungkinan besar akan menyerang mereka dengan alasan yang masih belum mereka ketahui.

Sebelumnya bisa di baca di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun