Mohon tunggu...
Loganue Saputra Jr
Loganue Saputra Jr Mohon Tunggu... pegawai negeri -

"Seri Langit Terbelah Dua merupakan efik cerita awal kehidupan manusia di dunia, berawal dari pengusiran dari Surga hingga kepada perang besar yang membawa dunia menuju kiamat"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Langit Terbelah Dua] Sang Bintang Pajar

8 November 2014   00:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:21 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : http://morfondir.ro

Sumber Gambar : http://morfondir.ro

“Tak ada yang abadi di DuNia ini,

Selain apa-apa yang berasal dari Surga yang indah

Dan dari Neraka yang terkutuk”

02 / Sang Bintang Pajar

TIDAK ada yang tahu apa saja yang ada di langit kecuali tentang keberadaan matahari, bintang dan bulan, pada mulanya tak ada yang tahu tentang tujuh lapis langit dan segala isinya. Yang tahu hanyalah yang ada disana dan tinggal disana, yang suci dan jauh dari keburukan, namun keberadaan mereka pun berasal dari sebuah penciptaan, dari kekuatan yang dinamakan Kun. Beberapa dari mereka diciptakan dari cahaya, beberapanya lagi diciptakan dengan keunikannya masing-masing hingga pada suatu masa diciptakanlah sesuatu dari sebuah api yang membara.

Setiap yang diciptakan diberi nama agar mereka mempunyai makna, dan penciptaan dari sebuah api yang membara tadi diberi nama Lucis atau biasa dikenal dengan sebutan Sang Bintang Pajar. Dari sekian banyak makhluk yang diciptakan kala itu, hanya Lucis lah yang diciptakan dari api, oleh sebab itu keangkuhan yang tertanam di dalam jiwanya sangatlah besar, namun meski pun demikian dia tetap patuh terhadap Sang Penguasa Semesta.

Selama ratusan tahun—berdasarkan perhitungan di langit—para malaikat—sebutan untuk para mahkluk suci termasuk Lucis—hidup dengan tentram, bergerak sesuai fitrahnya masing-masing, mereka hidup di tujuh lapis langit yang indah tiada duanya. Mereka tahu banyak tentang surga dan segala yang diciptakan di dalamnya namun merekapada awalnya tidak pernah tahu bahwa Sang Penguasa Semesta telah menciptakan sebuah tempat yang disebut dengan nama DuNia oleh penghuninya.

DuNia beserta isinya memang tidak seindah dan sesempurna surga, namun apa-apa yang ada di DuNia bergerak dengan cara yang berbeda, kehidupan di sana berkembang dengan sebuah kecerdasan makhluk yang hidup di dalamnya, makhluk hidup yang dituntut untuk bisa menciptakan hal-hal luar biasa dan bertahan atas kelangsungan hidup mereka, berbeda dengan di surga yang merupakan tempat para mahkluk-mahkluk abadi.

Namun semakin lama DuNia malah menjadi sebuah kegagalan semata, mahkluk yang hidup di dalamnya terlena dengan keindahan dan keserakahan, hingga akhirnya DuNia pun menjadi tempat tercemar yang semakin hari semakin menuju kepada akhir yang dinamakan kiamat. Kekecewaan atas mahkluk di DuNia membuat Sang Penguasa Semesta menciptakan mahkluk baru yang menyerupai mahkluk di DuNia, namun dengan sosok yang lebih sempurna, yang lebih berakal, yang lebih bersahaja, pemaaf serta penyayang, meski pun nafsu juga ada di tanamkan di dalam jiwa mahkluk tadi. Diciptakan dari tanah surga yang suci, tinggal di surga paling atas bersama mahkluk surga lainnya, para mahluk surga memanggilnya Mada—Sang Manusia Pertama.

Tak lama setelah itu, dikumpulkanlah semua mahkluk penghuni surga disebuah padang luas tak berujung, padang luas yang disebut dengan sebutan padang cahaya. Setelah semua berkumpul, keadaan menjadi sunyi senyap, tak terdengar suara apa pun, bahkan suara terkecil sekali pun, semua menunggu Sang Penguasa Semesta mencipta suara yang tak tergambar nadanya.

“Wahai para mahkluk (ciptaan) Ku, telah Aku ciptakan kalian semua dari apa yang seharusnya Aku ciptakan, Aku tugaskan kalian sesuai fitrah kalian masing-masing, dan Aku tanamkan pengetahuan tentang apa yang seharusnya kalian ketahui. Maka pada hari ini, Aku ingin kalian tahu bahwa telah Aku ciptakan mahkluk yang sempurna melebihi kesempurnaan kalian semua. Mahkluk yang Aku ciptakan dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk, dan telah Aku tiupkan ruh kedalamnya beserta banyak hal yang tidak kalian pahami dan miliki, maka tunduklah kalian semua untuk memberi hormat atas kesempurnaannya dengan cara bersujud.”

Semua mahkluk bersujud kearah Mada dengan serempak kecuali Lucis yang masih berdiri menatap Mada dengan keangkuhannya.

“Hai, Lucis mengapa kau tidak mematuhi (perintah) Ku untuk bersujud di waktu Aku menyuruhmu?”

Lucis merasakan ketakutan yang begitu besar mengalir di dalam dirinya, dia merasakan pertentangan yang begitu hebat atas pembangkangan yang telah dia lakukan. “Bukannya hamba ingin ingkar terhadap perintah, tapi hamba merasa lebih baik dari dirinya—Mada—sebab hamba Engkau ciptakan dari api sedangkan dia, Engkau ciptakan dari tanah.”

Maka menggelegar suara petir, menyala membelah angkasa, seakan pertanda hujan lebat akan turun, seakan badai besar akan segera terjadi.

“Tak akan ada tempat yang baik untuk orang-orang yang ingkar dengan perintah Ku, selain tempat terdalam dan gelap yang tidak pernah ditempati oleh siapa pun. Dan orang-orang yang termaafkan adalah orang-orang yang mengakui segala kesalahannya serta bertaubat atas dosanya.”

Lalu Lucis bertanya lagi. “Apakah pantas bagiku sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah yang kotor?.”

Pertanyaan bermakna sama itu menjadi pertanda bahwa Lucis tidak akan pernah mau menyembah Mada, dan sifat sombongnya itu membuat Sang Penguasa Semesta murka, maka dikutuklah Lucis untuk hidup abadi di sebuah tempat mengerikan yang gelap, panas dan berbau busuk ketika alam semesta berakhir kelak.

Dilempar Lucis menembus tujuh lapis langit, dibakar kedua sayapnya, dicabut ke malaikatannya, tulang sayapnya terentang bersimbah darah, tubuhnya yang putih bersih melebihi kapas terkoyak oleh panasnya lapisan langit, tubuhnya terbakar hingga berasap, kedua bola matanya terbelalak karena panas. Maka semakin besar perasaan dendam di dalam dirinya pada Mada, karena bagi Lucis, Mada lah yang telah menyebabkannya terusir dari surga. Lalu dia berteriak sambil bersumpah.

“Aku bersumpah atas langit yang berlapis, bahwa tak akan aku biarkan Mada beserta segala jenisnya—keturunannya—untuk hidup di dalam surga selama-lamanya, dan akan aku jadikan mereka pengikutku agar menjadi temanku di tempat tergelap lubang penderitaan.”

Dan di lapis langit terakhir, menggelegar petir menembus tubuh Lucis, menghujamnya bagaikan sebuah pedang yang sangat tajam. Hingga tak ada lagi daya baginya untuk bergerak apalagi bicara mengucap sumpah. Lalu langit terakhir tadi terbelah dua bagai tersingkap menguak luka. Lucis meluncur cepat menyerupai bongkahan batu api yang bercahaya dan berekor, dia jatuh ke dalam kegelapan malam menuju sebuah tempat baginya untuk menunggu waktu hukumannya dimulai, tempat itu tidak lain adalah DuNia.

Dengan sangat keras, Lucis terhempas ke sebuah sungai, air sungai yang dingin membuat luka terbakar disekujur tubuhnya perih karena melepuh, dia tidak berdaya, dia hanya telentang menatap langit gelap berhias bintang, tubuhnya yang lemah hanyut terbawa arus. Semakin lama arus semakin deras, bebatuan tajam yang ada di dasar sungai dangkal itu mengoyak punggung Lucis yang memang sudah terluka, rasa sakit luar biasa tiada bandingnya itu tak lagi bisa membuat dirinya berteriak merintih, karena mulutnya kalu, tenggorokannya rasa membeku.

Dan di ujung sungai tadi, terdapat air terjun yang begitu tinggi, tanpa bisa mengelak, Lucis pun jatuh di air terjun tadi, terhempas ke bebatuan yang kokoh, andai saja dia tidak abadi mungkin sejak awal dia sudah mati, namun tidak selamanya keabadian itu menyenangkan, apalagi keabadian yang di isi dengan rasa sakit dan penderitaan.

PURDA bersembunyi di balik batu, sesekali dia mengintip dengan hati-hati. Keadaan di sana remang-remang, namun semua indranya menjadi sangat tajam. Sudah berminggu-minggu dia bertahan di dalam gua Our, menderita dengan rasa lapar yang luar biasa, hingga akhirnya dia terpaksa memakan kawanan tikus yang tersesat di gua itu.

Air sungai yang menggenang di dalam sana, menghijau dan berbau busuk, suara sayap kawanan lalat terdengar menggema memuakkan. Tulang-belulang bagaikan perangkap yang bisa saja membuat kaki terluka jika tidak hati-hati melangkah. Namun entah kenapa Purda tidak seputus asa kebanyakan penjahat yang pernah di hukum di sana, dia percaya bahwa dirinya bisa bebas dari penderitaan itu, yang dia butuhkan hanya terus bertahan hingga waktu yang ditunggunya datang.

Entah malam atau siang, semua terlihat hampir sama, terkadang hanya suara kelelawar yang bisa membedakan keduanya. Ada kalanya gua itu menjadi sangat ramai dengan bermacam suara-suara mengerikan, tapi ada kalanya juga gua itu menjadi sepi tiada tara. Lalu tiba-tiba saja air sungai yang menggenang tenang bergelombang seakan bernafas, gelombang kecil yang tidak menimbulkan getar dan suara, namun bisa dirasakan oleh Purda bahwa air sungai itu bergelombang tidak seperti biasanya.

Dia menegakkan tubuhnya yang sebelumnya bersandar di batu, mengangkat kepalanya seakan lehernya bisa memanjang untuk mengawasi sekitar. Tak ada apa pun yang terlihat, namun perasaan mengerikan di dalam jiwanya tumbuh begitu saja, bergejolak semakin besar hingga bulu-bulu di tubuhnya terasa berdiri memberi pertanda.

Dari tengah sungai yang dangkal terlihat sepasang tulang menjulang bersebelahan, kedua tulang tadi bercabang bagaikan ranting pohon tua di musim gugur. Purda menundukkan kepalanya, bersembunyi di balik batu sambil mengintip dicelah dengan perlahan. Entah kenapa tubuhnya jadi bergetar ketakutan, tak pernah sebelumnya dirasakannya ketakutan sebesar itu, ketakutan yang membuat tubuhnya rasa menciut.

“Aku bisa melihatmu bersembunyi di balik batu!,” suara serak dengan nada sekarat itu menggema seakan berasal dari semua penjuru arah.

Purda gusar. “Siapa kau?,” mencoba dijawabnya suara tadi walau dengan tergagap.

Dari dalam sungai tepat didepan tulang yang bercabang tadi, muncul sesosok hitam mengerikan dengan mata merah menyala. “Aku Lucis Sang bintang Pajar.” Sepasang tangan hitam terentang bertahan pada batu.

Purda perlahan memberanikan diri untuk keluar dari persembunyiannya dan berdiri menghadapi kengerian yang tak pernah dilihat sebelumnya. “Wahai, Sang Bintang Pajar, apa yang kau lakukan di sini, apakah kau juga dihukum sepertiku?.”

“Aku di sini untuk menolongmu,” ketika memasuki gua itu Lucis bisa merasakan apa yang dibutuhkannya untuk dirinya. “Aku bisa merasakan kemarahan dan dendam di dalam dirimu, dan aku akan memberikanmu kekuatan agar kau bisa membalas rasa dendam yang kau miliki.” Diangkatnya tangan kirinya, lalu berkobar api di telapak tangan tadi, cahanyanya menerangi sekitar gua.

Purda takjub melihat kehebatan lawan bicaranya itu. “Kekuatan seperti apa yang ingin kau berikan kepadaku.” Suaranya terdengar bersemangat.

“Apa pun yang kau inginkan. Akan tetapi dengan syarat, kau harus menjual separuh hidupmu kepadaku dan menjadi pengikutku hingga akhir zaman nanti. Apakah kau bersedia, wahai Purda Sang Pemberani.”

Purda maju, rasa takutnya sudah berkurang karena rasa dendam dan kemarahan menguasainya. “Aku bersedia,” jawabnya sambil menyodorkan kedua tangannya kedepan dan memejamkan kedua matanya.

Bisa dirasakan oleh Purda kedua tangannya dipegang oleh Lucis dan tanpa alasan yang bisa dimengerti oleh Purda kedua matanya tak bisa dibukanya, jari-jarinya tak bisa terentang, terus mencengkram dan menyatu dengan tangan Lucis. Lalu tubuhnya menjadi panas dan terbakar, tapi dia tidak berteriak karena kesakitan, dia malah merasa kobaran api itu meresap ke dalam pori-pori.

Segala kebaikan dan rasa belas kasihan sudah musnah di dalam diri Purda yang menyisa hanyalah amarah. Lucis melebur jiwanya ke dalam Purda, menjadikannya hampir abadi, lalu dari kedua tulang sayapnya diciptanya pedang yang sakti mandra guna, pedang yang selalu haus dengan darah penderitaan.

Kini Lucis hanya menjadi sebuah bayangan hitam yang sulit dikenali dan sulit diketahui keberadaannya, dia membentuk dirinya dengan segala sifat baik yang pernah dimiliki Purda, memakannya dan merubahnya menjadi bayangan hitam.

Purda berlutut menghadap sungai, tubuhnya bertumpu pada sebuah pedang yang digenggam dengan tangan kirinya, ketika dia membuka matanya penglihatannya menjadi sangat tajam hingga gelap seperti siang yang benderang, tapi dia tidak bisa menemukan Lucis. Sang Bintang Pajar menghilang bagai ilusi.

*

Sebelumnya : Chapter 1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun