Mohon tunggu...
Loganue Saputra Jr
Loganue Saputra Jr Mohon Tunggu... pegawai negeri -

"Seri Langit Terbelah Dua merupakan efik cerita awal kehidupan manusia di dunia, berawal dari pengusiran dari Surga hingga kepada perang besar yang membawa dunia menuju kiamat"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Langit Terbelah Dua] Pelangi dan Burung Merak

30 November 2014   16:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:27 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Sumber Gambar : http://www.portalkbr.com/"][/caption]

“Tak ada yang abadi di DuNia ini,

Selain apa-apa yang berasal dari Surga yang indah

Dan dari Neraka yang terkutuk”

05 / Jembatan Pelangi dan Burung Merak

Hujan baru saja reda, bebatuan gunung Our yang curam menjadi sangat licin untuk didaki, tapi hal itu tidak membuat Lucis ragu untuk bergerak, dia menyusuri tiap bagian dari bebatuan tadi, mendaki tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Sosoknya yang gelap bagaikan langit petang seharusnya sangat mencolok siang itu, namun rambut panjangnya yang tumbuh dari rasa benci dan amarah Purda, menyelubungi tubuhnya bagaikan jubah yang kasat mata.

Lucis melengak ke langit biru yang berubah cerah, dalam hatinya dia bertanya. Di mana surga berada?. Keinginannya kembali ke surga dan membalas dendamnya pada Mada, membuatnya mencari cara agar dia bisa kembali ke surga. Dia berputar mengawasi penjuru, mencari petunjuk yang bisa digunakannya untuk kembali ke surga. Tatapannya terhenti kearah barat, tepat diantara awan yang berlalu terlihat lengkungan warna-warni indah bercahaya, kumpulan warna-warni tadi berbentuk seperti jembatan panjang dengan dua ujung yang sama-sama tenggelam. Satu tenggelam di kawanan awan dan ujung satunya lagi tenggelam di balik pepohonan hijau yang rindang.

Jembatan pelangi. Lucis bersaru dalam hati. Dengan perasaan senang bukan kepalang, dia kembali turun dari puncak gunung, menyusuri hutan lebat sambil sesekali melihat kearah pelangi dari balik celah dedaunan, namun perhatiannya sempat teralihkan oleh sesuatu, oleh aroma darah yang tercium semerbak menguasai udara.

Lewat bayangan pepohonan yang rindang menguasai hutan, :Lucis menyelinap tanpa suara, melewati semak belukar tanpa membuat semak tadi bergerak menimbulkan curiga, ketika mencapai pusat dari aroma darah tadi, dia berdiri menampakkan diri, memandang kearah genangan darah yang basah menghiasi dedaunan kering dengan cabikan daging dan kulit kuda disekitarnya.

Seulas senyum mencuat dari bibir Lucis, ada sensasi kepuasan dalam dirinya yang tiba-tiba saja tumbuh mendorong semangat, seakan ada hal yang luar biasa baru saja dilakukan olehnya. Namun ketika dia melihat ke angkasa, dia baru teringat tentang pelangi yang menjadi tujuannya. Pelangi tadi mulai memudar dan tak lama lagi mungkin akan menghilang.

Lucis berlari bagaikan angin yang kasat mata, menimbulkan suara dan mungkin terasa namun tak terlihat bentuk dan massanya. Hingga akhirnya sampailah dia di dekat sebuah telaga, tempat ujung pelangi tadi menjulur bagaikan tangga. Dengan hati-hati Lucis mengintip kearah telaga, memperhatikan seekor burung Merak yang sedang minum dan mandi di sana. Tapi Lucis tidak keluar dari tempat persembunyiannya karena Merak pasti mengenali siapa dirinya, dan agar Merak tidak mengenali dirinya, maka Lucis pun menangkap seekor tupai yang kebetulan saat itu sedang melintas dihadapannya.

Dicekik oleh Lucis tupai tadi sembari menutup mulutnya agar tidak menimbulkan suara, setelah sang tupai tak bisa bergerak lagi Lucis pun merasukinya lewat aroma kekosongan raga yang tidak lagi memiliki nyawa, dan dengan raga baru itu Lucis mendatangi Merak tadi.

“Wahai Merak apakah kau berasal dari langit?,” tanyanya dengan mata sendu penuh kesedihan.

Merak yang memiliki ekor indah berwarna-warni tadi pun meloncat dari tepi telaga, menghampiri Lucis tanpa perasaan curiga. “Memangnya siapa dirimu?,” ucap Merak tadi balik bertanya.

“Aku adalah seekor tupai yang berasal dari langit, namun karena kecerobohanku aku terjatuh ke tempat ini.” Dia diam sejenak memperlihatkan kegelisahannya agar Merak menaruh simpati padanya. “Bisakah kau membantuku kembali ke langit?.”

Merak terlihat resah, dia bingung apakah dia harus percaya dengan apa yang dikatakan oleh tupai, karena bisa saja tupai berbohong padanya. Namun karena Merak bukanlah hewan yang pintar berpikir maka, dia pun menyanggupi permintaan tupai. Lagi pula tak mungkin ada hewan selain berasal dari surga yang bisa dan mengerti bahasa yang makhluk langit gunakan. Merak menyimpulkan dalam hati.

“Naik lah kau kepunggungku wahai tupai jika kau ingin kembali ke langit, karena sebentar lagi pelangi akan menghilang dan aku harus segera kembali ke langit.”

Lucis pun meloncat ke punggung Merak tadi dan tak lama kemudian mereka berdua pun menyusuri pelangi yang mulai memudar, namun sesampainya di langit, barulah Lucis sadar bahwa Merak tadi adalah penghuni langit tingkat terbawah—ketujuh. Maka bertanyalah Lucis pada Merak. “Bisakah kau mengantarku hingga ke langit teratas, karena di sanalah dulu aku tinggal?”

“Bagaimana caraku mengatarmu ke sana, karena kami dilarang untuk masuk kesana?.” Merak balik bertanya.

“Tidak bisakah kau terbang hingga kesana, bukankah kau sudah berjanji padaku bahwa kau akan mengantarku hingga kesana.”

“Tapi kau tak pernah memberitahuku bahwa kau tinggal di tingkat teratas, jadi aku tidak benar-benar berjanji padamu bahwa aku akan mengantarmu hingga kesana.” Merak mencoba mengelak.

“Baiklah jika kau berkata seperti itu, tapi aku hanya tak menyangka ternyata kau tak sebaik yang aku kira. Kukira semua penghuni surga itu baik dan penolong.” Lucis membuat matanya terlihat berkaca-kaca penuh kecewa.

Tidak perlu lama Lucis membujuk Merak dengan tipu muslihatnya, karena rasa simpati yang dimiliki Merak amatlah besar. “Aku tidak bisa mengantarmu sampai ke dalam surga teratas, namun aku hanya bisa mengantarmu hingga kedepan pintu gerbang yang ada di dekat air terjun langit.”

Lucis melengakkan kepalanya, menatap kearah Merak yang berdiri dihadapanya dengan ekor mengembang bagaikan kipas pelangi. “Maafkan aku jika membuatmu repot, tapi aku benar-benar membutuhkan pertolongan. Hanya kau yang bisa menolongku saat ini dan akan aku ingit segala budi luhurmu kepadaku."

“Naiklah lagi ke punggungku,” ucap Merak dengan senyum menghibur agar tupai tidak lagi bersedih.

Awan-awan cerah dan lembut mereka lalui, kadang terbang dengan santai, terkadang bergerak mengikuti jalur pelangi yang sudah semakin kabur, sambil terbang Merak terus bernyanyi dengan tujuan agar teman barunya itu bisa terhibur, suaranya yang merdu serasi dengan perawakan dan ekornya yang indah penuh pesona.

Air terjun langit terlihat menyegarkan, bergerak dengan abadi dan jatuh menjadi embun yang menghilang, tak ada yang tahu dari mana air itu berasal, apakah di atas sana ada sungai yang mengalir, atau entah sesuatu hal lain yang membuat air itu tak pernah habis. Namun bagi Lucis bukan itu hal terpenting yang ingin diketahuinya, hal terpenting yang ada dipikirannya adalah Mada yang berada di balik pintu gerbang tinggi berwarna keemasan dengan hiasan permata terindah yang pernah diciptakan.

Merak berhenti mengepakkan sayapnya, dia merentangkannya agar mereka bisa bermanuper sebelum mendarat di depan pintu gerbang yang terlihat sunyi senyap. Kedua kakinya merentang, mendarat di tanah yang berlapis awan, saat sayapnya mengepak untuk memperlambat pergerakannya, awan-awan yang ada di sekitarnya terberai bagaikan debu yang ditiup oleh angin kencang.

Lucis melompat dari punggung Merak, kemudian berjalan mendekati pintu gerbang. “Akan selalu kuingat segala kebaikanmu ini,” ucapnya pada Merak yang sudah bersiap-siap untuk kembali terbang.

Merak tersenyum sebagai tanda perpisahan, kemudian meluncur di ujung awan menyusuri air terjun yang berujung embun, hingga akhirnya dia menghilang dari pandangan Lucis.

Lucis menjenguk ke balik pagar lewat celah pagar, namun dia tidak bisa masuk ke dalam sana karena tupai yang dirasukinya bukan berasal dari sana, sedangkan dirinya sudah terkutuk untuk masuk ke dalam surga. Lucis berpikir mencari cara, dia mondar mandir tidak karuan, kadang-kadang dia duduk mencoba tenang, mengingat segala sesuatu tentang surga yang pernah diketahuinya.

Lucis merapat lagi ke pagar surga, kemudian duduk dengan lesu dan terlihat putus asa, dia pun mulai menangis sekencang yang bisa dilakukannya, cukup lama dia melakukan itu hingga akhirnya seekor ular yang kebetulan melintas di dekat pagar mendengar suara tangisannya. Ular tadi merapat kearah pagar lalu menatapi Lucis yang meringkuk menyedihkan.

“Siapakah engkau, wahai makhluk yang sedang menangis?,” Tanya ular dengan sopan.

Lucis melengakkan kepalanya, memandang kearah ular yang memperhatikannya. “Aku sedang terluka,” ucap Lucis tanpa terlebih dahulu mengenalkan siapa dirinya dan apa tujuannya.

“Siapa yang telah melukaimu?,” Tanya ular yang mulai bersimpati.

“Aku terjatuh, bisakah kau menolongku?,” Tanya Lucis lagi ingin memperdaya. “Jika kau tidak percaya, kau bisa melihat lukaku lebih dekat, agar kau bisa memastikan keparahannya.”

Tanpa menaruh curiga, ular menjulurkan kepalanya dari celah pagar hingga jarak mereka jadi sangatlah dekat. Dan saat leher ular sudah berada di depan Lucis, dengan cepat Lucis keluar dari raga tupai kemudian mencekik leher ular tadi dengan sangat kencang.

Ular tadi mencoba berontak namun cengkraman Lucis sangatlah erat, lidah ular terjulur keluar, tubuhnya menjadi lemah tak berdaya. Seperti halnya yang dialami tupai, hal itu pun juga terjadi pada ular. Lucis merasuki ular dan mengisi kekosongan jiwa yang tidak lagi bernyawa. Dengan tubuh ular tadi Lucis melingkar kembali ke dalam pagar, memasuki surga yang sejuk dan indah, bergerak mencari keberadaan Mada dengan tujuan sebuah balas dendam.

*

Sebelumnya : Chapter 1 , Chapter 2 , Chapter 3 , Chapter 4

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun