[caption id="" align="alignnone" width="616" caption="Sumber gambar : Journey game"][/caption]
“Tak ada yang abadi di DuNia ini,
Selain apa-apa yang berasal dari Surga yang indah
Dan dari Neraka yang terkutuk”
09 / Bayangan di Tengah Gurun
Hamparan pasir yang menguning berkilat terkena pantulan cahaya matahari, tak ada suara angin yang bertiup, demikian juga dengan pertanda bahwa kehidupan bisa bertahan disana. Namun di tengah kegersangan itu ada sebuah langkah yang menapak dengan sangat letih, langkah itu berasal dari kaki Marihel, kara perempuan yang sedang berada di dalam pelariannya. Dia menyandang sebuah tas keranjang yang terbuat dari purun, tas tadi berisi bayi laki-laki kara kecil yang sejak tadi tak berhenti menangis, mungkin karena kehausan atau karena udara panas yang menguasai penjuru gurun.
Cadar yang menyisakan sepasang mata Marihel, mencoba melindungi wajahnya dari paparan cahaya matahari secara langsung. Akan tetapi haus dan letih tak bisa ditiadakan begitu saja, langkahnya melawan arah matahari, dia akan menuju timur jauh, kesebuah tempat yang belum pernah didatanginya, entah di mana ujung gurun pasir tandus itu, namun dia pernah mendengar sebuah cerita dari seorang pedagang bahwa di ujung timur gurun pasir terdapat sebuah pedesaan tenang, tempat para kara hidup tanpa tekanan dari penguasa.
Marihel mendaki bukit pasir yang sedikit longsor ketika kakinya menginjak tumpukan pasir, dia menyusuri garis atas bukit, melihat ke depan mencari genangan air yang mungkin saja berada di tengah ketandusan. Hawa panas yang sangat menyengat di sana membuat pandangan sedikit bergoyang, padang pasir yang jauh terlihat bergelombang bagaikan lautan air yang perlahan muncul. Marihel berlari menuruni bukit, rasa haus yang mnguasai dirinya membuat dia sejenak kehilangan rasa letihnya, akan tetapi ketika mencapai tempat yang ditujunya, rasa letih itu kembali lagi, tak ada genangan air disana, yang ada hanyalah gersang dan tandus.
Marihel terduduk lesu, keranjang yang masih tersandang dibahunya terasa sangat berat, tangis anaknya masih belum berhenti. Dengan berat hati keranjang tadi diletakkannya di sampingnya, rasa tak tega dengan keadaan anaknya membuat dia tak kuasa menahan air matanya. Dia melengak untuk melihat kearah bukit berikutnya yang ada di hadapannya, berharap disana ada sesuatu yang bisa menyelamatkan hidup mereka berdua. Dan bayangan air dikejauhan muncul lagi di penglihatannya, kali ini dia melihat genangan tadi dengan seksama, akan tetapi memastikan sesuatu dari kejauhan bukanlah hal yang mudah.
Marihel bangkit lagi, perlahan dia berjalan menuju bukit yang tadi dipandanginya, keranjangnya ditinggalnya sementara karena dia sudah tak kuasa lagi memikul berat yang menciptakan bekas di pundaknya. Dengan langkah sempoyongan dia mendaki bukit namun ketika mencapai puncak bukit tak ada apa-apa disana, tak ada genangan air yang tadi dilihatnya, kegersangan masih panjang membentangi penjuru.
Alam kesadarannya mulai terganggu, dia seakan berada di antara sadar dan tidak sadar. Menuruni bukit untuk kembali menghampiri anaknya yang terus menangis. Namun ketika dia mencapai keranjang anaknya, suara seseorang menggema di telinganya, suara seorang laki-laki memanggil-manggil samar, suara itu seperti berasal dari balik bukit yang ada diseberangnya. Dengan harapan kecil itu dia menuju bukit seberang, sesekali dia berhenti untuk mengatur napasnya, namun lagi-lagi dia tertipu, tak ada siapa pun di sana, bahkan suara yang tadi didengarnya lenyap seolah ditelan malam.
Sebanyak tujuh kali Marihel bolak-balik menyebrangi bukit, karena setiap kali dia kembali kearah keranjang anaknya, bayangan genangan air dan bisikan suara seseorang memanggil muncul bagaikan parasit yang terus menyiksa ruang pikirnya. Dia tak bisa berpikir jernih, dia tak tahu harus bagaimana lagi.
Keputusasaan, hal itulah yang dirasakan oleh Marihel, dia mulai memikirkan tentang kematian, tentang rasa sesak yang sebentar lagi akan menguasa ruang napasnya, Dia duduk di samping keranjang dengan kedua kaki menekuk dan tangan mengunci tekukan kakinya. Lebih baik mati seperti ini, daripada disiksa dan dibunuh dengan kejam. Hanya itu hal baik yang bisa dipikirkan oleh Merihel saat itu.
Langit terlihat cerah, butiran pasir tidak bergeming, angin tidak bertiup sedikit pun, hawa panas terasa menguap disekitar, andai saja gurun pasir itu adalah padang api, mungkin sejak lama Marihel dan anaknya sudah menjadi abu. Marihel berbaring di atas pasir, tangis anaknya masih menggema nyaring, namun pendengarannya sudah terbiasa dengan suara tangisan itu sehingga sekitar terasa sunyi penuh hampa.
Lalu tiba-tiba langit seolah berkedip, di bagian timut langit perlahan terlihat langit seolah terbelah dua, seolah ada seseorang yang sedang menarik garis di langit, begitu panjang, begitu pelan. Marihel mengira apa yang dilihatnya hanyalah bayangan semata, sama seperti genangan air yang didatanginya di puncak bukit. Namun semakin lama benda dikejauhan itu perlahan menuju kearahnya, memancar terang walau siang begitu cerah. Garis yang terbentuk dilangit bagaikan ekor panjang yang ujung-ujungnya perlahan menghilang membentuk awan sirus.
Marihel bangkit ketika benda tadi bergerak semakin dekat, dia berdiri sambil memayungi matanya dengan telapak tangannya, menyipitkan mata agar fokus penglihatannya bisa lebih jelas. Semakin lama benda tadi semakin menyilaukan bagaikan matahari. Marihel tidak berkedip sekali pun hingga benda tadi tenggelam di balik bukit pasir dia masih penasaran.
Dia maju dengan tenaga yang tersisa, mendaki bukit pasir lagi untuk bisa melihat benda bercahaya yang berasal dari langit tadi. Dan ketika dia mencapai puncak bukit, benda bercahaya tadi menghujam gurun pasir, menciptakan getaran yang amat keras, di balik bukit tempat Marihel berdiri tercipta kawah besar yang berasap, Marihel yang tak siap dengan getaran tadi terjerebak di puncak bukit, dia terduduk menghadap kawah besar yang perlahan terungkap oleh asap yang mengepul.
Di tengah kawah terdapat bongkahan batu besar yang perlahan retak, binar cahaya hangat masih terpancar, rasa haus Marihel hilang seketika, dia merasa sangat bersemangat saat itu, tubuhnya terasa bugar kembali, apa lagi ketika cahaya hangat yang awalnya menggumpal di pusat kawah menyebar menyiramai sekitar.
Merihel turun menuju kawah pasir, mencoba mendekati bongkahan batu yang sebentar lagi akan pecah. Benda apa yang ada di dalamnya. Itulah yang ingin Marihel ketahui. Namun ketika sudah sangat dekat dengan bongkahan tadi, suara tangis anaknya menggema ditelinganya, dia kembali panik, dia teringat bahwa bayinya sendirian di dalam keranjang. Dengan perasaan panik, Marihel berpaling, dia berlari kembali mendaki bukit. Ketika mencapai puncak bukit, kepanikan itu semakin menjadi, keranjang bayinya tumpah menghadap barat.
“Anakku!.” Teriaknya sambil berlari menuruni bukit.
Marihel tersandung, dia terguling diantara panasnya pasir kuning, cadarnya tersingkap, wajahnya terkuak, namun hal itu tidak membuat dia berhenti, dia kembali bangkit kemudian melanjutkan larinya menuju keranjang bayinya.
Tangis menggema kepenjuru gurun, seolah mengalunkan sebuah melodi yang nyaman di dengar telinga. Dan ketika Marihel sudah mencapai keranjangnya, terkejut dia melihat air membasahi kedua kaki bayinya yang terus menagis menendang-nendang pasir, semakin lama air tadi semakin banyak seolah terdapat mata air di bawahnya.
Marihel mengangkat bayinya, kemudian menggendongnya dengan selendang, dia duduk di hadapan genangan air tadi, mengambil air tadi dengan telapak tangannya, dingin dan menyegarkan terasa di telapak tangannya, dan tanpa menunggu lama, diminumnya air tadi untuk mengobati rasa haus yang menyiksa dahaganya. Setelah dia merasa cukup, dia pun menyusui anaknya, tangis anaknya berhenti mengalun, perlahan terbesit sedikit senyum di bibir Marihel ketika dia menatap wajah anaknya tadi.
Belum lama waktu berlalu genangan air tadi sudah seluas kolam kecil yang jernih memantulkan langit cerah. Mata airnya sangat deras dan mungkin sebentar lagi kolam tadi akan berubah menjadi sungai di tengah gurun pasir yang tandus. Angin mulai terasa berhembus pelan, aroma kesegaran menghiasi penciuman dan ketika dia ingin memasukkan bayinya kembali ke dalam keranjang, tepat di atas bukit yang ada di hadapannya terlihat sesosok yang bergerak dan hidup, menyerupai kara namun bukan kara, berambut panjang hitam terurai, kulitnya halus putih bagaikan sutra, bercahaya memancarkan pesona. Marihel tak bisa berucap sepatah kata pun, dia terdiam karena terpesona, dia terdiam bagaikan patung yang tak bisa merubah bentuk geraknya.
*
Sebelumnya bisa dibaca disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H