Mohon tunggu...
Loganue Saputra Jr
Loganue Saputra Jr Mohon Tunggu... pegawai negeri -

"Seri Langit Terbelah Dua merupakan efik cerita awal kehidupan manusia di dunia, berawal dari pengusiran dari Surga hingga kepada perang besar yang membawa dunia menuju kiamat"

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Desember 1945

18 Juni 2011   14:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:23 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

__________________________

Desember, 1945

50 m dari Desa Bedeng delapan

Perkebunan Teh Kayu Aro, Jambi

“Hidup itu sulit jika tidak ada keyakinan yang berawal dari harapan. Dan aku selalu yakin dengan kenyataan yang menari-nari di dalam angan harapku. Apa yang aku yakini adalah jawaban dari semua kunci ke-penasaranku terhadap bukti-bukti yang terus ku cari. Untuk sebuah obat rindu, untuk sebuah obat hati yang telah lama memilu, untuk sebuah janji dan sebuah intuisi yang aku rasakan.”

Rona cahaya mentari seakan mulai berdiri di balik hijaunya perkebunan teh. Menyilaukan dedaunan teh yang baru saja terbangun dari dinginnya malam bersambut subuh dengan hiasan embun turun membasahi bagian atas daun. Dan dengan jari-jari halus yang di miliki oleh Arabella, kain tipis gorden bercorakan bunga-bunga kecil di singkapnya pelan pada arah yang saling berlawanan.

Mentari terlihat.

Hangat dan memberikan semangat.

Buku yang ada di atas meja kayu di samping jendela, ditutup bersamaan dengan beberapa lembar surat buram, surat itu tidak lagi serapi dulu, tulisan yang tergores di dalamnya juga tidak rapi dan malah acak-acakan. Tapi di balik itu semua tersimpan kenangan manis tentang cinta yang masih ada hingga hari ini. Arabella merangkul buku bersampul coklat tadi sambil melangkah keluar kamar dan beberapa saat kemudian dia sudah berjalan di antara dedaunan teh yang mengharumi setiap udara yang dihirup oleh indra penciumannya.

Seolah ada pembentang samudra yang terpapar di hadapannya. Samudra yang telah membuat dirinya terpisah dari belahan jiwa yang entah berada di mana pada saat itu.

Para pekerja yang sedang mengurus setiap detil dari daun-daun teh yang pastinya harus menjadi sangat berkualitas, terhenti dan mengalihkan perhatian mereka kearah sosok Arabella yang melintas di antara dedaunan yang ranum dan hijau. Sejak tahun 1925 perkebunan teh yang memiliki luas 3.020 hektar di ketinggian 1.400 sampai 1.600 meter ini merupakan milik Namblodse Venotschaal Handle Vereniging Amsterdam atau biasa di singkat NV HVA—NV HVA adalah perusahan yang diprakasai oleh Belanda—hingga pada tahun 1928 NV HVA berakhir. Masa-masa itu adalah masa terberat yang harus di lalui oleh keluarga Arabella, di mana hidup dalam kenyamanan yang selalu di rajami oleh kegelisahan, dan setelah tahun-tahun itu berlalu pun orang-orang Belanda masih sering datang dengan nada kasar yang sangat tidak bersahabat.

Pada tahun 1928 jugakabar tentang semangat untuk menuju kemerdekaan sudah tersiar. Di mana bendera Merah Putih di akui sebagai lambang Negara dan Lagu Indonesia Raya yang di ciptakan oleh W.R. Supratman sebagai lagu kebangsaan.

Semua itu memunculkan harapan.

Bagi Arabella, bagi cinta dan angan-anganya.

Arabella masih saja melangkah, melewati jalan yang mulai menanjak. Abdi yang membawa keranjang membantu ibunya memetik teh, melihat pergerakan Arabella yang sangat cepat. Abdi menyerahkan keranjang tadi pada Ibunya kemudian mengejar pergerakan Arabella, sambil memanggil-manggil penuh semangat.

Hingga akhirnya langkah Arabella berhenti di ikuti oleh Abdi yang terlihat ngos-ngosan berdiri di sebelahnya.

“Ada apa, kenapa tergesa-gesa?,” tanya Abdi penasaran.

“Aku sedang menunggu!,” jawab Arabella sambil memeperhatikan kesekitar lalu kearah jalan yang jauh.

“Mengapa harus setiap hari menunggu—apakah dia akan datang menemui Mbak?.”

“Ya—dia sudah berjanji, dia pernah bilang jika waktunya tiba nanti, maka dia akan hadir di antara dedaunan teh yang mengharum, agar aku bisa menatapnya dalam kerinduan aku harus berada di tempat yang tinggi dan bisa melihat kearah jalan—kau sudah tahu berita tentang kemerdekaan yang di cetuskan oleh Presiden Soekarno lewat Proklamasi kemerdekaan, 4 bulan yang lalu tepatnya tanggal 17 Agustus yang lalu. Kau tahu apa artinya itu?,” kali ini tatapan Arabella beralih pada wajah Abdi yang terlihat kusam dengan kerut heran di antara kedua keningnya.

“Apa artinya mbak?.”

“Perang sudah berakhir. Saatnya dia kembali untuk menemui mbak seperti jajinya dulu—bukanlah kau juga ingin melihatnya secara nyata?,” Arabella tersenyum sedikit.

Perlahan Abdi memegang jemari tangan kiri Arabella yang lepas dalam kehampaan. “Saya selalu penasaran dengannya—,” Abdi memandangi luasnya perkebunan teh yang terpapar luas, seluas mata bisa memandang. “Mbak, ayo, ajari saya membaca, biar saya bisa membaca lembaran kertas yang selalu mbak bawa kemana pun mbak pergi—mbak berjanjikan akan meminjamkannya?.”

Dalam sinaran cakrawala yang menghangat, wajah mereka berdua diterpa oleh biasan lembut dari sang surya, menyembunyikan bayangan mereka berdua ke belakang, ke atas dedaunan teh yang menua.

*

Pintu kamar di ketuk beberapa kali. Arabella yang duduk di depan jendela menerawang ke masa lalu di mana kaki-kaki mungilnya dulu sering berlari mengitari jalan becek yang mengakibatkan baju longgar hingga mata kakinya di penuhi dengan lumpur. Apalagi jika musim hujan sudah datang. Curah hujan yang memang cukup tinggi membuat dedaunan teh tidak henti-hentinya basah berhiaskan butiran air yang hinggap membentuk lapisan transparan.

Arabella terlepas dari lamunannya. Langkah kaki putih bersihnya itu mendekat kearah pintu kamarnya yang tertutup rapat. Sambil menyapu kesedihannya yang hampir tumpah dari kedua bola matanya, perlahan pintu kayu di bukanya. Suara denyitan yang tercipta terhenti ketika Arabella menyisakan separuh celah dari pintu yang masih di tahannya.

“Boleh Ibu masuk?,” pertanyaan itu terdengar memohon.

Tanpa bicara Arabella mengangguk kemudian berjalan menuju kearah jendela, bersandar sambil memandang kearah Ibunya yang perlahan duduk di atas tempat tidur.

“Bella, Ibu tahu bahwa kamu masih menunggunya. Tapi berita terakhir itu sudah sangat jelas. Ibu hanya takut jika kamu terus seperti ini, kapan waktunya kamu memikirkan kehidupanmu, Ibu hanya—,” kata-kata sang Ibu terhenti, Arabella memotong dengan nada yang cukup tegas.

“Robbi pasti kembali menepati janjinya. Bela sangat yakin itu—saat ini dia sedang berusaha agar bisa kembali ke sini.”

“Tapi, sampai kapan?,” nada Ibu Asih itu terdengar sedih melihat keadaan yang dialami oleh anaknya.

“Mengapa semua orang berusaha untuk mengatakan bahwa Bela tidak punya harapan atas Robbi. Bela tidak mau menyalahkan masa lalu yang berjalan begitu menyakitkan dan tak bisa terlupakan. Ibu dan Ayah kan yang menginginkan Bela seperti ini. Bela Juga punya hak untuk memiliki perasaan ingin memiliki seutuhnya cinta Bela, cinta yang dulunya Ibu dan Ayah hancurkan.”

Kali ini Ibu Asih tidak lagi membuka mulut. Sulit bagi sang Ibu untuk meluluhkan hati bela yang larut dalam harapan semu. Kegelisahan yang sudah lama bergejolak di hati sang Ibu samakin hari semakin parah. Kesalahan di masa lalu itu sulit untuk di hapuskan, dan mungkin tidak akan pernah bisa terhapuskan.[]

________________________

NB : Di saat badai sudah berlalu . . .

http://alfiannoorjr.blogspot.com/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun