Dua Hari Kemudian
Aku melakukan bhajan sore itu, seperti yang dulu setiap hari aku lakukan—pagi, siang dan menyambut petang. Di atas rumput di depan sungai Mahakama, aku sendirian mencoba mengembalikan ketenangan yang sempat tergeser dari jiwaku. Mungkin saja dengan demikian aku bisa mengingat kembali beberapa ingatan dan alasan mengapa aku berada di tempat ini.
Sebelumnya aku mengira hidupku akan diakhiri, sehingga aku hanya berharap pada kehidupanku selanjutnya. Namun aku masih bisa berpijak pada bumi yang subur. Mungkin ini adalah pembalasan atas dosa yang pernah aku lakukan, atas bohong atau pun keraguanku kepada yang tertinggi. Jika pun ini benar, maka siapakah yang telah mengadili kehidupanku ini ; Sani atau Yama, tapi yang pasti salah satu di antara merekalah yang melakukannya, karena keduanya memiliki tanggung jawab atas pembalasan yang pernah manusia lakukan.
……….
Om Bhur Bvah Svah
Tat Savitur Varenyam
Bhargo Devasya Dimahi
Diyoyonah Pracodayat
………
Demikianlah bhajan yang aku lantunkan. Perlahan kubuka kedua mataku, dan tak lama setelah itu surya merendah menyisakan warna kuning kemerahan. Beberapa orang laki-laki yang tadinya membawaku ke sana berdiri di dalam air dengan tubuh tenggelam separuh, mereka menghadap kearah sang surya, merentangkan tangan mereka ke atas membentuk segitiga terbalik, kemudian tunduk menekuk tubuh mereka ke depan dan dengan perlahan jemari tangan mereka menyentuh permukaan air seperti sedang melukiskan sesuatu. Mungkin mereka sedang melakukan penyembahan terhadap Dewa Surya, atau mungkin juga tidak hanya itu. Berulang-ulang gerakan yang sama dilakukan hingga langit benar-benar menjadi gelap.
Aku bangkit, bergerak mendekati tepian sungai. Di dalam kegelapan yang masih memperlihatkan sedikit bayangan remang-remang, beberapa orang yang sebelumnya berada di air, bergerak meninggalkan sungai, ritual pemujaan mereka untuk menyambut petang sudah usai. Mereka semua harus kembali pulang.
Rerumputan sudah menggelap sama seperti langit yang perlahan memunculkan butiran bintang. Aku berpaling kebelakang ketika mendengar suara gesekan pergerakan dengan rerumputan, suara itu berasal dari seorang perempuan berambut panjang hitam terurai, perempuan itu membawa sebuah obor yang terbuat dari bambu, bergerak mendekat kearahku. Tapi aku salah, dia melewatiku dan menghampiri seorang lelaki yang berdiri paling depan dari beberapa orang yang tadinya melakukan ritual.
Aku memperhatikan jemari perempuan tadi, dia memberikan obor yang dibawanya kepada lelaki yang didatanginya, wajahnya terlihat malu-malu, namun dia tidak tersenyum, kemudian dia berpaling dan berlari pelan ke depan sambil melihat kearah kami sesekali. Aku bergerak mengiringi langkah yang lainnya, langkah kami seperti dituntun oleh perempuan tadi, dia berlari di antara kunang-kunang yang mulai bermunculan.
Suara nyanyian mulai terdengar di telingaku, bayangan rumput gelap yang tercipta dari cahaya obor menerangi langkah kami, membuatnya bergoyang mengiringi irama yang ada. Tidak hanya suara yang aku dengar sedang bernyanyi, melainkan udara dan alam di sekitar pun terasa sedang bernyanyi dan menikmati irama yang terbentuk.
Perempuan yang berlari di barisan depan kami tadi, menghilang di balik pepohonan, dia lebih dulu melewati beberapa patung pertanda kami sudah sangat dekat mencapai pemukiman mereka. Patung-patung yang terbuat dari batang pepohonan berdiri di sepanjang langkah kami, mata mereka menatap gelap, namun anehnya patung-patung itu bukanlah patung yang melukiskan jelmaan Dewa, melainkan merupakan benda hina yang mereka ludahi setiap kali mereka melewatinya.
Kobaran api yang cukup besar menyala di tengah-tengah, Para perempuan yang memasuki usia dewasa menari mengelilingi api, bulu burung Enggang yang berwarna hitam putih melambai mengikuti pergerakan jari-jari mereka, bulu burung Enggang seakan menyatu dengan kuku mereka, dengan roh mereka. Karena yang terasa menari tidak hanya tubuh mereka tapi keseluruhan dari jiwa mereka melakukan pergerakan penuh sandi dan makna yang sulit aku artikan.
Suara gendang pun menambah hentakan tari menjadi hidup, dan semua kaum laki-laki duduk berselimpuh di atas tanah menikmati pemadangan indah di mata mereka. Setiap dari perempuan yang kira-kira memasuki usia delapan belas hingga dua puluh tahun itu, tubuh mereka memiliki rajah yang berbeda-beda. Ada yang berbentuk dua lingkaran saling bertemu, ada yang berbentuk lingkaran memutar ke dalam seperti pusaran air dan ada juga yang berbentuk piramida dengan ujung runcing.
Aku duduk di barisan belakang, mencoba menikmati apa yang aku lihat seperti para lelaki lainnya, mataku memperhatikan kesekitar kearah wajah-wajah yang sebelumnya pernah aku lihat, lalu mataku terhenti pada sosok tua yang duduk di atas papan berambut terurai dengan kalung tengkorak kering di lehernya. Aku ingat lelaki tua itu, dia adalah sosok yang membacakan aku mantra di dalam belay—demikianlah mereka menyebut rumah— tempat asap beraroma maskulin. Dia itu seperti sosok terpandang di antara semua orang yang ada di suku itu, dia itu seperti kepala suku penyampai pesan roh nenek moyang sekaligus penentu hukum keadatan.
Mataku tidak hanya mengawasi lelaki tua tadi tapi juga pada perempuan yang duduk di sebelahnya, perempuan muda yang masih terlihat lugu namun ranum, aku mengenali wajahnya, dia adalah perempuan yang membawakan obor kepada kami di tepi sungai ketika surya tenggelam. Kulitnya putih, rambutnya hitam terurai panjang, beberapa bagian tubuhnya disembunyikan oleh kulit binatang buruan, begitu juga dengan beberapa rajah yang dimilikinya.
Perempuan itu adalah perempuan tercantik yang pernah aku lihat di sini, dia mengingatkanku pada cerita Dewi Gangga, Dewi yang turun ke dunia dan menikah dengan seorang Raja. Tapi aku bukanlah seorang Raja, dan bahkan diriku terasa tak pantas memilikinya.
Upacara tarian yang tidak aku mengerti itu diakhiri dengan pemandian para perempuan yang menari di dekat kobaran api tadi, mereka dimandikan satu persatu oleh perempuan tua dengan telinga panjang melebihi bahu, mereka dimandikan dengan air bunga di bawah sinar rembulan yang sedang purnama. Setelah dimandikan, para perempuan tadi dibawa ke dalam belay panjang yang cukup besar yang mereka sebut dengan nama; Lamin.
Lelaki tua yang kuanggap kepala suku tadi dipanggil dengan sebutan Datok, diapergi diiringi oleh beberapa orang, sedangkan perempuan cantik yang tak lepas aku perhatikan, bergerak mengikuti si Datok. Mungkin saja perempuan itu adalah istri atau mungkin sejenis slir, walau usianya terlihat masih terlalu muda untuk itu, namun apa yang tidak mungkin terjadi untuk seorang pemimpin. Aku sedikit tersenyum ketika memikirkan itu.
Daging kijang yang terpanggang dikobaran api, dibagi kesetiap orang, dengan bersama-sama semuanya menikmati makanan penutup mereka. Setelah itu semuanya bubar dan kembali ke belay mereka masing-masing. Aku diantar kesebuah belay kecil yang dihuni oleh dua orang bocah laki-laki, kami tidur di atas rerumputan yang berlapiskan daun pisang. Salah satu dari bocah tadi menyandarkan dirinya di tiang tengah belay, kedua telapak tangannya saling tumpang tindih dan membentuk cengkraman berongga. Di antara kedua jempol tangannya, bibirnya meniup pelan, dia menciptakan suara layaknya sebuah suling bambu, namun suara yang dihasilkannya lebih menyerupai suara burung hantu memanggil kematian.
Aku berpaling membelakanginya mencoba untuk memejamkan mataku, kobaran api di luar belay masih terlihat cahayanya, begitu juga dengan bayangan beberapa orang yang melintas sedang berjaga malam itu. Suara jangkrik baru aku sadari tak pernah berhenti, begitu juga dengan suara burung hantu dan binatang malam lainnya. Aku harus tidur dan aku ingin ketika aku terbangun mimpi ini menghilang begitu saja. Tapi aku tak yakin ini adalah mimpi.
Kisah sebelumnya bisa di baca di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H