Suara langkah kaki di luar belay membuat aku terbangun, dua orang bocah yang sebelumnya berada di belay yang sama tempat aku berada, kini sudah tidak terlihat lagi. Aku bangun dengan kepala agak berat, aku bersandar pada tiang belay untuk menghilangkan rasa berat di kepala, kemudian bangkit perlahan dengan kedua tangan masih berpegangan pada tiang. Pintu yang terbuat dari kulit pohon kudorong keluar, cahaya matahari menyirami jiwaku seutuhnya dan pagiku disambut oleh pemandangan hijau yang lebat mengelilingi pemukiman.
Seakan alam menjaga semua orang yang hidup di sini, merangkul mereka dalam jantung hutan yang membawa ketenangan. Aku bergerak memperhatikan pemukiman yang sepi. Kemana semua orang pergi?. Aku menghampiri bak kayu berbentuk persegi yang berisi penuh air, kubasuh wajahku agar diriku bisa kembali segar, namun hanya sempat beberapa kali kusapukan air tadi ke wajahku, suara tawa mengalihkan perhatianku.
Suara itu berasal dari dua orang bocah yang kemudian berlari ke belakang belay, aku mengejar mereka namun mereka sangat cepat berlari, mereka menerobos semak, meloncati lubang dangkal yang berisikan genangan air, aku terpeleset di lubang itu, lumpur menciprat ke wajah dan tubuhku. Dua bocah tadi berhenti untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja dan ketika mereka melihat aku kembali bangkit, mereka berdua tertawa sambil kembali berlari menerobos ilalang tinggi yang membuat tubuh mereka tidak terlihat jelas.
Aku kembali mengikuti mereka, namun kali ini aku tidak berlari, aku tahu mereka berdua pasti sedang mengawasiku bagaikan seekor singa terhadap mangsanya, aku berpura-pura santai mengibasi ilalang dengan tanganku dan setelah aku sangat dekat dengan mereka yang bersembunyi di sebelah kiri dari tempat aku berada, aku mengejutkan mereka. Mereka berdua terloncat sambil tertawa menatapku. Aku tersenyum, namun belum sempat aku menanyakan sesuatu pada dua bocah tadi, suara seorang perempuan memanggil mereka, membuat aku menoleh ke belakang.
“Rumbun…Segah…” panggilnya tanpa memperdulikanku.
Dua Bocah tadi berlari mendekati perempuan yang membuat aku tak bisa melarikan pandanganku dari wajahnya. Saat mereka berbincang dengan suara pelan dan beberapa kali menoleh kearahku seakan sedang membicarakanku, aku baru menyadari bahwa dua bocah itu adalah dua bocah yang berada satu belay denganku. Mereka berdua mengingatkanku pada sosok Nakula dan Sadewa, saudara kembar, putra dari Dewi Madri, mereka juga dianggap sebagai putra Dewa Aswin. Wajah mereka berdua benar-benar mirip, bahkan aku sulit untuk membedakan keduanya jika aku berjumpa dengan salah satu dari mereka.
Rumbun dan Segah berlari kembali ke pemukiman sedangkan perempuan tadi bergerak mendekatiku. Kedua tangannya merentang, membirkan para ilalang menyentuh bagian tubuhnya.Dia berhenti tepat di hadapanku dalam jarak yang sangat dekat, mungkin hanya sejengkal jarak kami berada, sebab aku bisa menciuma bau melati dari tubuhnya.
Dia menumpuhkan kedua telapak tangannya ke dada sambil mengucapkan sebuah kata. “Jenta.” Kemudian dia memegang telapak tanganku dan mengangkatnya hingga ke dadaku. Aku tak mengerti apa yang dimaksudnya, dia pun mengulangi lagi gerakan dan kata-katanya.
“Namamu Jenta?,” tanyaku dengan kening berkerut.
Dia mengulanginya lagi, dan ketika telapak tanganku diletakkannya ke dadaku aku pun menyebuitkan namaku. “Pandu,” ucapku pelan. Dia pun tersenyum lalu berputar menyentuh rerumputan ilalang yang sejak tadi terus bergoyang.
Rambut hitamnya terurai mengikuti pergerakannya, pundaknya yang putih tersapu lembut oleh kibasan rambutnya. Dia menuntunku ke sebuah tempat dimana ilalang dan bunga sepatu tumbuh secara liar, dia memetik salah satu bunga sepatu tadi dan memberikannya kepadaku. “Kembang” ucapnya pelan.
Aku mengangguk dan menerimanya lalu kuselipkan bunga tadi di antara rambut dan telinganya. “Cantik,” ucapku pula sambil menatap matanya yang tajam berwarna kecoklatan. “Kau benar-benar terlihat cantik,” kemudian kuelus pipinya dengan perlahan.
Dia mengikuti pergerakanku, dipegangnya wajahku yang sudah ditumbuhi kumis dan jambang. Mataku, hidungku lalu bibirku. Seakan dia sedang membaca wajahku, seperti Ibuku dulu saat dia usai mengajariku membaca Weda. Mungkin Ibuku ingin agar dia selalu bisa mengingatku, agar dia bisa melihatku dalam imajinasinya lewat indra perabanya. Dia tak bisa melihat dengan matanya tapi dia bisa melakukannya dengan batinya. Begitu juga saat dia membaca weda lewat tulisan timbul yang dibuatkan oleh Ayahku.
Ketika aku memberanikan diri untuk menyentuh keningnya dia mundur selangkah, berpaling dan berlari meninggalkanku. Aku tak mengerti mengapa dia pergi begitu saja, namun saat dia sadar aku tak mengejarnya, dia berhenti dan berpaling kearahku sambil melambai dan tersenyum. Aku mengikutinya namun dalam jarak yang cukup jauh, dia membawaku ke pinggir sungai tempat para laki-laki sedang mencari ikan dengan tombak mereka. Dia memperhatikan dengan seksama, begitu juga denganku yang berdiri di belakangnya.
Sejak saat itulah aku mulai banyak belajar tentang mereka, tentang bahasa mereka, tentang cara mereka bertahan hidup, cara mereka mensyukuri apa yang mereka miliki. Aku juga tahu siapa sebenarnya Jenta, dia adalah anak Datok, anak perempuan satu-satunya dan paling disayangi. Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali melihatnya. Mungkin inilah yang orang sebut cinta pada pandangan pertama. Cinta itu memang kadang sangat membingungkan, di suatu waktu ada dua orang yang sudah lama mengenal akan tetapi cinta tak pernah tumbuh di antara mereka, tapi ada juga hanya dengan sekali melihat, cinta membuat manusia mabuk kepayang.
Orang-orang di suku ini hidup dengan cara memanfaatkan alam, oleh karena itu mereka selalu memiliki ritual untuk pemujaan terhadap apa saja yang mereka anggap telah menyelamatkan hidup mereka. Mereka berburu dan memetik sayauran di dalam hutan, mereka tidak bercocok tanam, saat berburu mereka hanya menggunakan jebakan seadanya, serta menggunakan tombak atau panah. Setiap ujung tombak dan ujung panah, mereka selalu melumurinya dengan getah pohon Ipuh atau dalam bahasa mereka, mereka sebut Ipo.Getah pohon Ipuh sangat beracun, selain bisa membunuh hewan buruan, racun getah Ipuh juga bisa membunuh manusia, oleh sebab itu pelumuran getah hanya boleh dilakukan kaum tertua dari kelompok keluarga masing-masing dari mereka.
Jenta juga membawaku ke sebuah pelatar panggung kecil tempat para perempuan berkumpul, kebanyakan dari mereka adalah para perempuan yang masih muda, mereka bersama-sama di atas panggung tadi membuat tikar dari purun. Mereka membagi tugas tanpa ada rasa iri, ada empat sampai lima orang asik menganyam sedangkan sisanya lagi menjemur purun yang masih basah, ada juga yang sedang menumbuk purun yang sudah kering di atas batang kayu ulin dengan batu yang mereka dapatkan dari hulu sungai yang dangkal.
Sedangkan untuk para perempuan tertua membakar ikan serta merebus dedaunan untuk makan siang itu. Mereka membungkus beberapa ekor ikan dengan daun pisang lalu mengikatnya dengan tali yang terbuat dari purun, meletakannya di atas bara api hingga bagian dari daun pisang tadi layu dan sedikit menghitam.
Para perempuan di suku itu selalu tersenyum malu-malu bila melihat aku duduk di antara mereka. Mungkin mereka mentertawakanku karena tak ada laki-laki yang melakukan hal itu di sana. Para laki-laki harus berburu atau paling tidak memperbaiki belay yang rusak. Dan setelah makan siang biasanya para laki-laki berkumpul di salah satu belay yang cukup besar membuat tombak, busur dan anak panah, serta suling bambu kecil yang mereka gunakan untuk menirukan suara burung, agar memancing burung mendekat kearah jebakan yang mereka pasang.
Setiap kali melakukan sesuatu, orang-orang di sini selalu memperlakukan apa yang mereka lakukan dengan aturan yang mereka yakini, mereka membuat banyak hal yang kecil menjadi sangat bermakna, mungkin itu adalah sebuah penghargaan yang mereka berikan untuk setiap hal yang mereka anggap memiliki nyawa dan makna yang mendalam. Mereka sadar bahwa di dalam kehidupan terdapat hukum timbal-balik, layaknya alam kepada mereka dan mereka kepada alam. Karena setiap kehidupan di sekitar mereka berhak memiliki kesempatan yang sama dengan apa yang mereka dapatkan.
Mungkin hal itu sama seperti yang pernah diajarkan kepadaku tentang keyakinan bahwa setiap makhluk memiliki jiwa mereka masing-masing ; Atma Tattwa, dimikianlah di dalam weda di sebutkan. Setiap jiwa merupakan percikan yang berasal dari Yang-Maha-Kuasa. Oleh karena itu jiwa bersifat abadi dan selalu mengalami proses reinkarnasi terus menerus di raga manusia yang bersifat maya. Dan apa bila sudah mencapai ketahap moksa maka reinkarnasi akan berakhir. Hal itu juga yang mendasari bahwa sesama makhluk hidup harus saling menghargai, karena segala yang ada di dunia ini berasal dari percikanYang-Maha-Kuasa miliki. Menghargai semua itu sama halnya dengan menghargai Yang-Maha-Kuasa.
Tak terasa sudah dua belas hari aku berada di tempat asing ini dan sudah selama itu juga aku banyak belajar segala hal tentang orang-orang yang tinggal di sini. Jika pada saat pertama aku berada di sini aku hanya melihat-lihat, kali ini aku mengikuti mereka melakukan rutinitas, aku ikut berburu seperti para laki-laki lainnya, aku mengikuti ritual yang mereka lakukan, untuk bersikap sopan pada mereka tanpa menggeser sedikit pun keyakinanku atas agama yang aku miliki. Pada dasarnya segala kepercayaan, baik itu agama atau pun seperti yang mereka miliki, mengajarkan manusia untuk melakukan kebaikan, jadi untuk apa menghindari melakukan hal baik, jika hal seperti itu bisa aku lakukan dengan niat menyembah Yang-Maha-Esa seperti yang aku yakini.
Mereka tidak pelit untuk membagi apa yang mereka ketahui tentang alam, mereka mengajarkan aku banyak hal yang sebelumnya tidak pernah aku ketahui, mereka lebih banyak menjelaskan sesuatu dari tindakan daripada menggunakan ucapan yang memang terkadang sering kali orang-orang—bukan mereka—lakukan tanpa bukti yang nyata. Mereka menyadarkanku akan kenyataan. Aku mulai merasakan sebuah hal yang sudah lama aku cari di dalam hidupku, walau aku tak pernah tahu apa yang sebenarnya aku cari. Rasa tentram itu tidak hanya terasa di hati tapi juga pikiran serta tindakan.
Selain mereka tak pelit untuk memberi, mereka semua juga tak sombong untuk mendengarkan, mereka bisa menerima apa yang aku miliki, apa yang aku ajarkan kepada mereka, contohnya seperti; cara berburu ikan dengan jebakan yang memanfaatkan arus air, atau suatu cara baru yang harus mereka lakukan untuk mulai melakukan cocok tanam. Aku mulai membuat kebun kecil di belakang belay tempat aku tinggal bersama Rumbun dan Segah, menanam beberapa sayuran yang bisa mereka dapatkan di dalam hutan. Kadang mereka bertanya. “Mengapa harus menanam jika di hutan sudah disediakan?”. Dan setelah aku jelaskan bahwa dengan menanam sendiri sayuran-sayuran itu maka kualitas sayuran yang didapat jauh lebih baik dan juga lebih mudah tanpa harus mengitari hutan berhari-hari untuk mencari. Setelah itu pun ada banyak kebun kecil di belakang belay dengan bermacam-macam tumbuh-tumbuhan.
Aku diberi mereka yang terbaik, maka aku juga harus memberikan mereka semua hal-hal terbaik yang aku tahu. Dan itulah hakikat dari hidup, saling memberi dan membantu, karena manusia hidup saling membutuhkan.
Sebelumnya bisa di baca di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H