Catatan Pengarang
Pada tahun 400 Masehi, berdirilah sebuah kerajaan di Muara Kaman dengan nama Qwitaire Maradapur, dengan seorang Raja bernama Sri Mulawarman Naladewa yang merupakan cucu dari Kundungga—keturunan Warga Sungga yang dulunya memerintah wilayah tersebut (350M). Kerajaan ini merupakan kerajaan tertua di Nusantara sekaligus sebagai Kerajaan Hindu pertama di Nusantara.
Di abad ke-II dan ke-III Masehi agama Hindu telah menyebar di seluruh dunia, hingga suatu hari para penyebar agama itu yang kebanyakan dari mereka adalah para saudagar atau pun pedagang menetap di daerah-daerah hingga terjadilah akultulasi pembauran kebudayaan dan kepercayaan. Para penyebar agama tadi berlayar kesuatu tempat yang belum pernah mereka datangi hingga akhirnya mereka sampai ke sebuah pulau yang mereka sebut dengan nama ; pulau Naladwiva.
Pulau Naladwiva adalah pulau yang masih perawan yang kaya dengan logam serta beragam tumbuh-tumbuhan, di sanalah bangsa Hindu—India—melakukan perhentian hingga berdirilah perkampungan-perkampungan yang kemudian menjadi tujuh Negara di Nusa Emas dan Perak—sebutan lain untuk Kerajaan Qwitaire.
Di Muara Kaman—Ibukota Kerajaan Quwitaire—terdapat sebuah sungai yang di anggap suci layaknya sungai Balaputra, Gangga dan Irwadi di India. Sungai itu bernama Mahakama yang memiliki arti ‘Gairah Cinta Yang Agung’.
Di sungai inilah cerita ini dimulai…….
***
[Jilid Pandu]
Air mengalir cukup deras, dedaunan pohon yang jatuh karena kering mengarungi sungai berhias lumpur pada tepiannya. Kala itu sungai surut, tapi musim belum kemarau, air tidak terlalu deras, sekawanan pesut berenang dan beberapa kali mereka timbul membentuk tarian pertanda musim kawin sudah tiba. Burung Enggang terbang melintasi sungai, mengepakkan sayap mereka yang berwarna hitam putih membawa setiap orang yang memahaminya menuju alam ke-Dewaan, alam atas, tempat hidup jadi abadi.
Dulu ketika aku masih kecil, kedua orang tuaku mengajarkanku tentang kepercayaan. Tuntunan yang akan membawa setiap manusia untuk menemukan pencerahan dalam hidup. Kepercayaan itu berupa sebuah kebenaran abadi dimana yang berkuasa adalah Yang-Maha-Esa tiada duanya.
Dalam kepercayaan itu terdapat lima keyakinan utuh yang harus kami yakinkan dalam hati kami. Lima keyakinan itu kami sebut dengan Pancasradha. Salah satunya adalah Widhi Tattwa, percaya atas Yang-Maha-Esa atau yang biasa disebut oleh orangtuaku dengan sebutan Brahman.
Kini aku tak tahu ada di mana tapi aku masih teguh bahwa Brahman akan menolongku begitu juga terhadap umat manusia. Aku terbaring di atas lumpur dengan gelombang kecil yang perlahan menyentuh tubuh lemahku. Dedaunan membayangiku, melindungiku dari sengatan matahari. Namun aku tak punya daya untuk bergerak, semua persendianku terasa nyeri, begitu juga dengan beberapa luka yang ada di tubuhku.
Aku bisa mengingat kehidupanku dulu, tapi aku sulit mengingat hal yang mengantarkanku ketempat asing yang tidak aku kenali ini. Aku sendirian, terjebak di wilayah hijau yang penuh dengan bahaya. Akan tetapi aku masih yakin bahwa aku masih berada di Pulau Naladwiva tapi entah di bagian mananya.
Selain suara air sungai, pendengaranku dikuasai oleh suara kicauan burung yang liar di dalam hutan, kicauan yang lebih menyerupai suara seseorang membaca Weda atau juga seperti seseorang yang sedang bercerita tentang keadaan alam di sekitarnya. Atau aku bisa mengibaratkannya seperti saat Ibuku dulu bercerita padaku tentang kisah Mahabarata.
Namun aku setengah sadar, sehingga aku mengira semua itu hanyalah mimpi belaka, walau aku tak pernah bisa mengingat kapan aku mulai bermimpi tentang hal itu. Dulu sekali ketika kapal-kapal para pedagang yang mengaku berasal dari India datang ke kampung, aku sangat tertarik ingin menjadi seperti mereka, mengarungi wilayah yang begitu jauh lewat sungai dan samudra seperti yang mereka ceritakan kepada kami. Para pedagang itu melukiskan tingginya pegunungan, luasnya lautan, dan indahnya kedamaian atas kepercayaan yang menata hidup mereka.
Selain mereka datang dengan kisah keindahan tempat mereka berasal, mereka juga membawa cerita luar biasa tentang Mahabarata, seperti yang Ibuku ceritakan. Mereka bilang ceritra itu berasal dari India, ditulis oleh seseorang yang bernama Begawan Byasa dalam Astadasaparwa.
Aku paling suka ketika cerita memasuki kisah tentang Pandawa dan Korawa. Kedua kelompok ini berasal dari leluhur yang sama—Kuru dan Bharata—akan tetapi memiliki sifat yang saling bertentangan. Dari kedua kelompok itu, para Pandawa-lah yang menjadi idolaku, aku ingin seperti mereka, memiliki hati yang tulus dan suci, mencintai kedamaian jiwa yang hakiki.
Aku mencoba untuk bangun dari mimpiku, atau dari jiwaku yang berat dan lemah. Mencoba menekankan kedua telapak tanganku pada lumpur agar ragaku bisa terangkat. Sukmaku terasa melayang ke suatu tempat, mungkin itu ke kehidupanku dulu di masa kecil atau ketempat masa depan berada. Apakah ini benar?. Aku tak percaya. Tapi aku bukan anak dari Widura—saudara Pandu dan Dretarastra—yang memiliki mata batin agar mampu melihat masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Aku bukan Sanjaya, aku hanyalah manusia biasa.
Lagi pula tak mungkin aku berada di alam atas atau alam Dewa untuk menunggureinkarnasiku jika aku masih bisa melihat pepohonan menjatuhkan dedaunan, merasakan angin bertiup, air sungai menyentuh tubuhku, serta burung Enggang terbang melewatiku. Kali ini aku tersadar bahwa aku tidak bermimpi, atau malah buruk dari hal itu. Aku yakin aku masih hidup, di masa yang masih sama dengan kehidupanku yang dulu. Aku harus bangkit sebelum para buaya Mahakama menemukanku dan membawaku untuk makanan anak mereka.
Ketika kedua telapak tanganku menekan lagi lumpur yang sama, tubuhku sedikit terangkat, aku mencoba menjadi kuat dan menyeretku keluar dari dinginnya air sungai. Di lumpur tadi terdapat banyak kotoran cacing, aku melewati mereka dengan wajah tunduk dan suara sedikit menggerang. Rambutku terberai karena basah dan juga kotor karena lumpur, namun aku tidak memperdulikan hal itu, yang aku ingin lakukan saat itu hanyalah terus bergerak maju menuju ketempat surya menyelipkan sinarnya di antara pepohonan, agar aku bisa hangat, agar aku bisa kering dan nyaman.
Tak sempat sampai aku pada biasan sinar surya, aku terhenti tiba-tiba, di kedua indra pendengarku menangkap beberapa suara di antara pepohonan, di antara semak yang merayap. Suara itu bukan suara binatang, melainkan suara langkah kaki yang menginjak ranting pohon rapuh. Apakah itu manusia?. Kuharap aku benar.
Sepasang kaki, lalu beberapa pasang kaki terlihat olehku. Beberapa kaki kokoh itu keluar dari dalam hutan, bergerak mendekatiku. Ingin rasanya aku berucap ‘tolong’ pada mereka namun selain suara menggerang tak ada suara lain yang bisa dikeluarkan oleh mulutku. Apa itu karena aku terlalu banyak terminum air sungai saat tadi aku terdampar ataukah karena hal lain yang tidak bisa aku ingat.
Kaki itu ada lima pasang, mereka berdiri mengelilingiku. Lima pasang kaki untuk lima kehidupan. ‘Pandawa kah itu?’. Aku tak bisa memastikannya. Lalu aku diangkat oleh mereka dan dibopong melintasi hutan yang begitu rindang. Di setiap langkah mereka aku bisa mendengarnya dengan pasti, begitu juga dengan suara hutan yang ramai riuk serangga bernyanyi. Sedangkan di atas pepohonan kulihat beberapa ekor kera dan bekantan meloncat mengiringi.
Saat melihat itu aku teringat tentang kisah Hanoman, lagenda yang bercerita tentang Dewi Anjani yang meminta Siwa untuk menjadi anaknya. Maka Dewa Vayu pun terbang dengan membawa api suci untuk dimasukkan ke dalam rahim Dewi Anjani, dan pada purnama di bulan Chaitra bayi tadi pun lahir dalam wujud seekor kera putih.
Pandanganku kembali gelap, seolah sukmaku lepas dari ragaku, dan aku berdiri di depan sebuah pohon besar yang tinggi menyentuh awan, aku melengak namun aku tak bisa melihat puncak dari pohon tadi. Suara riuh mulai terdengar, mungkin itu suara orang-orang yang berdiri di bawah pohon tadi, suara orang-orang yang berdoa atau memohon ampunan. Ketika aku mencoba melangkah, bola mataku jadi memutih, kabut asap mengepul menutupi semuanya, membawa aku kembali ke dunia. Wajah-wajah mengerikan membuat aku takut namun aku tak bisa lari dari mereka.
Kedua tangan dan kakiku di pegang erat, sangat erat seperti sedang diikat dengan selendang. Tapi tidak seperti selendang para putri Raja dan Permaisuri. Empat seledang itumenarikku, membuat tubuhku merentang di dalam asap yang beraroma maskulin. Aku berusaha dengan keras untuk kembali membuka kedua mataku, melihat apa yang sebenarnya terjadi pada diriku.
Ketika penglihatanku di kembalikan ada banyak wajah yang mengitariku dengan gerakan yang cepat tapi seirama. Wajah-wajah itu menyerupai bayangan, gelap di balik cahaya yang menyelip di antara dinding yang terbuat dari papan dan daun nipah. Semua selendang yang terasa menjerat kaki dan tanganku terlepas seketika, aku berdiri di tengah-tengah dan semua yang ada di sekitarku berhenti bergerak dengan serempak. Mereka semua menatapku tajam. Aku seperti dilahirkan kembali, kembali hidup sebagai manusia.
Aku berputar untuk melihat kesekitar, kearah sekumpulan manusia yang berdiri membentuk lingkaran, mereka duduk dengan kaki tersila ada laki-laki ada juga perempuan di barisan yang berbeda, mereka mengenakan pakaian dari kulit pohon dan kulit binatang buruan, di setiap beberapa bagian tubuh mereka dihiasi dengan rajah yang berbeda-beda. Ada rajah yang berbentuk bunga terong di pundak kiri dan kanan. Ada rajah yang berbentuk anjing di ibu jari, ada rajah berbentuk burung Enggang, telapak kaki harimau, lingkaran, gelombang dan banyak lagi.
Aku berhenti pada satu titik yang menimbulkan suara aneh, suara semacam bisikan yang membuat tubuhku merinding ngeri. Aroma harum dari asap yang mengepul lewat tungku di hadapanku tercium semakin menyengat. Semua yang sebelumnya menatapku tajam beralih kearah sosok yang keluar dari antara mereka. Mereka menggeser perlahan menyisakan ruang untuk sosok tadi lewat.
Tulang-tulang yang sudah kering tergantung menjadi kalung, sedangkan kedua pergelangan tangannya terbelit rotan yang berbentuk bundar menjadi gelang tangan. Saat sosok tadi mengangkat tangannya dan menurunkannya serempak, suara gemericik gelangnya membuat semuanya menunduk hormat.
Aku mundur, tapi tak bisa lari. Suara berat keluar dari mulut lelaki berwajah keras dengan pakaian yang berbeda dari semua orang yang ada di sana. Suara itu mengucapkan sesuatu yang tidak aku mengerti, mungkin itu bahasa yang mereka gunakan untuk berkomunikasi, entah apa yang diucapkannya akan tetapi setelah itu dia memegang kepalaku lalu duduk di atas batu di samping tungku menghadap kearahku.
Entahlah apa yang ingin mereka lakukan kepadaku, mungkin saja hal baik bagiku atau juga hal buruk yang tidak mampu aku bayangkan sebelumnya. Aku sama sekali tak pernah melihat manusia seperti mereka, menurutku mereka adalah orang-orang yang hidup tanpa Tuan, orang-orang bebas penghuni tua Pulau Naladwiva, mungkin keberadaan mereka ada sebelum Pulau ini bernama Naladwiva. Apa yang akan mereka lakukan kepadaku?. Pikirku jadi tidak menentu.
Lanjutannya bisa dibaca di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H