Mohon tunggu...
Loganue Saputra Jr
Loganue Saputra Jr Mohon Tunggu... pegawai negeri -

"Seri Langit Terbelah Dua merupakan efik cerita awal kehidupan manusia di dunia, berawal dari pengusiran dari Surga hingga kepada perang besar yang membawa dunia menuju kiamat"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Mahakama] 08 Swarga dan Naraka

7 April 2014   14:02 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:58 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Jauh di ujung langit, di antara pepohonan yang kami lewati. Awan hitam terlihat mengutuk bumi dengan kilatan petir yang menghujam cepat. Langkah para kuda tidak dihentikan meski cuaca yang ada di hadapan kami sangatlah buruk, hembusan angin dari utara terasa melewati kami, menyentuh jubah-jubah mereka, menembus kain compang-camping yang aku kenakan. Kaki dan tanganku sudah cukup lama terasa keram, namun sekali pun tidak pernah aku keluhkan. Aku tidak ingin memohon kepada mereka untuk melepaskan jerat kayu yang mengunciku di dalam kerangkeng. Aku tidak ingin hal itu hanya akan membuat Ganendra merasa senang dengan penderitaanku.

Ketika kami melewai daerah hutan, hujan mulai rintik, suara gemuruh langit menggema di atas kepala kami. Ganendra tidak menghentikan perjalanan untuk berteduh, dia malah memimpin perjalanan dengan mempercepat langkah kuda melawan tetesan hujan yang semakin lebat. Angin dan hujan menyatu semakin menguat membuat jarak pandang ke depan menjadi pendek, laksana air bah yang datang dan menyapu pergerakan kami, seperi pada masa Satya Yuga di masa pemerintahan Maharaja Manu.

Namun Ganendra tidak juga goyah dan berhenti di lereng tebing untuk berteduh, dia terlihat kokoh dan pantang menyerah seperti bahtera yang diamanatkan oleh Dewa Wisnu dalam wujud Matsya kepada Sang Raja yang suci bijaksana.

Aku menyipitkan mataku, mencoba melihat ke depan menembus tetesan hujan, di kejauhan terlihat pintu gerbang besar yang terbuat dari kayu, membentang panjang mengitari lereng yang terjal. Ganendra memimpin di depan, lurus menuju gerbang tadi, melesat dengan kecepatan yang cukup tinggi, gerobak kayu tempat aku berada terhentak-hentak di atas permukaan tanah yang tidak rata, dua ekor kuda yang menarik gerobak mencoba dikendalikan oleh lelaki besar yang sangat piawai menjadi kusir. Dan ketika sudah sangat dekat dengan pintu gerbang, pergerakan kami pun mulai melambat.

Ganendra berhenti di depan gerbang, kemudian berteriak nyaring atas nama Raja, suaranya yang lantang mampu menembus hujan yang ribut bersahut-sahutan. Dan tak lama setelah itu pintu gerbang dibuka dari dalam lewat katrol yang tersambung ke tuas di bagian samping pintu, saat gerobak kembali bergerak melewati gerbang, aku bisa melihat wajah-wajah lusuh bercampur lumpur yang berdiri di antara tumpukan bebatuan legam. Kini aku tersadarkan dimana aku berada, ternyata tempat yang dulu hanya pernah aku dengar lewat cerita, orang-orang itu kini terpampang nyata di hadapanku, tempat yang akan menemani waktuku dan mungkin juga akan menjadi saksi kehidupan terakhirku, sebelum aku menemui kematian.

Selagi kecil aku pernah bertanya pada Ibuku tentang kematian, tentang ruang yang ditakuti banyak orang, tentang langkah yang akan ditapaki manusia sebelum mereka mengalami reinkarnasi. Lalu Ibuku menjelaskan tentang empat belas dunia selain dunia yang kami tinggali saat ini. Empat belas dunia itu sebuah wilayah khusus yang akan menjadi tempat persinggahan sementara bagi jiwa yang telah meninggalkan raganya. Keempat belas dunia tadi dibagi menjadi dua bagian, tujuh dunia atas dan tujuh dunia bawah.

Dan saat Ibuku bercerita tentang swarga dan naraka, aku pun bertanya lagi tentang Ayahku, dimana dia berada apakah dia ada di swarga atau naraka, namun Ibuku tidak memberikan jawaban, dia malah menjelaskan bahwa segala kebaikan akan singgah di swarga dan segala keburukan akan singgah di naraka. Lalu aku menyimpulkan bahwa Ayahku pasti berada di swarga dan suatu saat mungkin aku juga akan berada di tempat yang sama, berjumpa dengannya sebelum kami bersama-sama mengalami reinkarnasi.

Sebelum aku dikeluarkan dari gerobak dan diseret menuju ruang pengurungan, mataku mengitari wilayah luas yang mampu aku lihat saat itu ‘kesuraman tanpa masa depan’ itulah yang tergambar jelas, dan di dalam hati aku mulai meragu bahwa aroma swarga ada di tempat ini karena yang aku lihat seperti dunia kematian yang pahit dan penuh dengan dosa serta nuansa naraka.

Setelah Ganendra berbicara dengan seorang lelaki jangkung berambut ikal, bernama Yadawayang tidak lain adalah pimpinan di tempat itu. Ganendra pun turun dari kudanya dan bergerak mendekat kearahku bersama Yadawa. Empat orang pengawal yang berada di belakang Yadawa, mengeluarkanku dan mendorongku beberapa kali hingga aku terjerebak di atas lumpur, aku pun diseret mengikuti langkah sang pemimpin untuk memasuki sebuah gua remang-remang yang diterangi oleh obor bambu, bau lembab menusuk penciumanku, semakin ke dalam suara hujan semakin mengecil dan ketika aku diseret menuruni puluhan anak tangga kedua kakiku mulai mati rasa, langkahku melemah dan tidak bisa mengikuti dua langkah yang menyeretku agar aku terus berjalan, hingga akhirnya tubuhku pun diangkat dengan kedua kakiku terseret di atas puluhan anak tangga.

Lorong mulai menyempit, di kedua sisi terdapat ruang-ruang jeruji yang kosong. Yadawa membuka salah satu pintu jeruji kemudian membiarkan aku diseret ke dalamnya dan dilemparkan ke atas tanah yang berlapiskan dedaunan kering. Ganendra menatapku penuh kebencian, dibalik jeruji yang kokoh itu dia berucap kasar,

“Disinlah pembalasan pahit yang harus kau terima.” Dia berpaling dan pergi bersama Yadawa dan empat orang pengawal yang tadi menyeretku.

Semakin lama langkah mereka semakin mengabur hingga akhirnya gema yang merambat di lorong goa sirna menyisakan kesepian yang mendalam. Kini aroma kematian menyebar di sekitarku, merangkulku namun belum siap untuk menjemputku seutuhnya. Aku meringkuk, memeluk kedua lututku sembari menggosok dadaku dengan telapak tanganku agar rasa hangat bisa membuat tubuhku berhenti mengigil. Sejak saat itu cukup lama aku tak lagi berjumpa dengan Ganendra, aku berharap rasa dendamnya sirna dengan berjalannya waktu yang terus berpacu.[]

Jilid Pandu Selesai

Sebelumnya bisa dibaca di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun