Mohon tunggu...
Loganue Saputra Jr
Loganue Saputra Jr Mohon Tunggu... pegawai negeri -

"Seri Langit Terbelah Dua merupakan efik cerita awal kehidupan manusia di dunia, berawal dari pengusiran dari Surga hingga kepada perang besar yang membawa dunia menuju kiamat"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Blood of the King] Mangkatnya Raja (1 dari 6)

21 April 2014   13:30 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:24 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Jutaan deru langkah kuda merajam sukma

Surai menyingkap tabir dunia

Buas dalam pedang mati bersimbah nyawa

Kegelapan redupi cahaya

Dalam petang jiwa hati membara

Kebajikan menelan derita

Hingga malam tak terasa bermakna

Tapaki ketakutan, bunuh bayang-bayang

Sinari dunia dengan kemenangan

Musnahkan kegelapan yang menelan kebajikan

Yang gugur jadi kenangan, jadi pahlawan

______________________________

Ada kalanya musim tidak lagi pernah bisa ditebak. Bahkan alam menjadi sepi untuk bersuara seperti biasanya, menyuarakan bisikan angin dan tata letak bintang di malam buta. Dedaunan rontok bukan lagi bermakna musim gugur akan segera tiba, panas matahari yang membakar kulit bukan lagi bermakna musim panas melintasi garis katulistiwa. Bahkan hujan, salju, serta badai sekali pun datang bergantian tanpa lagi bisa diprediksikan. Begitu juga halnya dengan kematian, datang bisa mendesak, pergi menyisakan kepiluan. Tapi semua itu adalah rahasia yang dimiliki alam untuk bisa bergerak dan bertahan dalam seleksi kehidupan.

Delapan langkah kaki bergerak dengan selaras, menahan berat peti besar seukuran orang dewasa yang berlapiskan emas dan ukiran perjalanan para kesatria. Setiap dari langkah kaki mereka berdenting lonceng penuh duka yang dipercayai memanggil roh untuk menjumpai Dewa keabadian. Papan jembatan berdenyit ketika derap kaki mereka melintasi jembatan yang berada di atas sungai Louis, sungai yang memiliki nama sama dengan Raja penguasa tanah Draconis.

Iring-iringan penuh haru itu membentuk deretan panjang kepiluan, banyak dari mereka tak segan untuk menangis walau tanpa suara, mungkin suara batin merekalah yang lebih nyaring berteriak memecah langit biru yang berlukis awan putih.

Tak jauh di seberang jembatan sebelah barat, terlihat sebuah bangunan tua yang terbuat dari tumpukan bebatuan yang membentuk piramida. Tembok tinggi yang mengeliling bangunan tadi membuat daerah itu terasa diasingkan, terasa memiliki nilai spiritual yang tinggi. Ukiran makhluk kuno yang agung menghiasi dinding tembok dan pintu gerbang yang sudah terbuka lebar. Beberapa orang lelaki dengan tubuh tertutup kain kuning berdiri di depan pintu gerbang, membacakan doa-doa pemujaan terhadap Dewa keabadian yang ada di langit dan di bumi.

Setelah melewati pintu gerbang semua langkah berhenti serempak, kecuali delapan langkah yang membawa peti emas menuju pintu batu piramida yang megah. Delapan langkah yang terus maju sedikit memelan itu, menginjak kelopak bunga mawar yang merah bagaikan darah, menghiasi jalan lurus bagaikan sebuah karpet alam yang begitu harum. Hingga akhirnya delapan langkah tadi memasuki pintu batu piramida yang agak gelap.

Di dalam piramida tadi ada banyak peti yang sama berjejer panjang dengan urutan paling tua, peti-peti lama itu sudah dibungkus dengan kain berwarna kuning berlapis debu. Kini peti baru yang akhirnya diturunkan dengan perlahan dan diletakkan di samping peti terakhir yang juga ditutup dengan kain kuning. Setelah semua itu sudah diperlakukan dengan semestinya, peti-peti bisu bernilaikan sejarah panjang kehidupan para Raja itu pun akhirnya ditinggalkan, ditutup dari indahnya dunia.

Pintu batu digeser menutup piramida, delapan langkah pengantar peti kembali dengan langkah yang sedikit dipercepat dari sebelumnya. Kemudian pintu gerbang pun ditutup, disegel dengan gembok besi yang membelit pada tuas pintu gerbang.

Acara pengantaran jasad Raja berakhir, semua yang ada kini sudah berpaling kembali, mencipta langkah pulang dengan hati yang masih mengenang kebaikan sang Raja. Sosok Raja yang selalu dekat dengan rakyatnya, Raja yang selalu bersikap adil atas banyak masalah yang menimpa rakyat-rakyatnya, walau pun sebenarnya sangat sulit menciptakan keadilan yang memiliki banyak penilaian berbeda di kepala setiap rakyatnya.

Kain putih transparan melambai ditiup oleh angin, menyingkap rambut coklat Ratu Catherine yang terikat rapi. Matanya memang masih merah karena bersedih, tapi wajahnya terlihat kuat dan tegar menghadapai kehilangan yang dirasakannya. Di samping sebelah kanannya melangkah seorang lelaki yang lebih tua darinya, beriringan sambil merangkul lengan kanan Ratu Catherine.

Lelaki penuh wibawa dengan pakaian berlapis besi dan jubah merah hati yang terseret di tanah itu adalah seorang Raja. Raja dari timur yang baru beberapa hari datang dari utara untuk melakukan perjalanan pencarian wilayah baru. Raja Robert , penguasa Kerajaan Thron, dialah sosok lelaki yang berada di samping Ratu Catherien saat itu.

Para pengawal dan orang kepercayaan kerajaan berjalan mengikuti langkah Ratu, bergerak kembali menuju Istana megah berlapis batu bata yang berwarna kelabu di seberang jembatan.

“Apa yang akan kau lakukan selanjutnya, apa kau harus memimpin?,” tanya Raja Robert setengah berbisik.

“Tidak ada pilihan lain, semuanya harus berjalan seperti semestinya, ada banyak orang kepercayaan kerajaan yang akan membantu menghadapi ini semua. Mungkin aku hanya bisa berharap pada anak yang ada di dalam kandunganku ini. Jika dia adalah laki-laki, maka Dewa memang mentakdirkannya untuk menjadi Raja selanjutnya.” Jawab Ratu Catherien sambil memegang perutnya yang sudah cukup besar.

“Semoga saja kau bisa sebijak Louis. Tak pernah aku temui sebelumnya orang seperti dia, yang selalu mengambil langkah tidak terduga untuk setiap keputusan adilnya, rela berkorban demi sebuah tanggung jawab seperti yang sering dikatakannya.” Raja Robert berhenti sejenak. “Jika ingin menjadi penguasa maka buatlah apa yang kita kuasai itu berada di titik damai dan sejahtera, jangan hanya menuai penderitaan yang berujung malapetaka. Mungkin itu kata-kata yang pernah diucapkannya padaku sebelum kepergianku menuju utara.”

Ratu Catherien pun menoleh kearah Raja Robert. “Aku tak pernah menyangka semuanya akan secepat ini!. Padahal beberapa hari yang lalu dia ingin mengajakku mengunjungi makam para Raja terdahulu.”

Dan dia memang mengunjunginya,” sambung Raja Robert lagi.

“Kapan kau akan kembali ke Thron?, Erja sering kali mengirimi Louis surat lewat para merpati, menanyakan tentang kekembalianmu dari utara.”

“Mungkin beberapa hari ke depan, lagi pula aku juga sudah tak sabar melihat anak keduaku yang tak sempat kulihat pasca kepergianku ke utara.”

Kini langkah mereka memasuki koridor Istana, beberapa orang pengawal memecah diri dan tidak lagi mengikuti langkah Ratu Catherien. Kini hanya Raja Robert, Ratu Catherien, Joan Wagner—orang kepercayaan Ratu—dan Brown—Panglima perang.

Ratu Catherien memberi isyarat pada dua sosok yang masih mengikuti langkahnya untuk memisah. Dan ketika yang tersisa hanya dirinya dan Raja Robert, Ratu Catherien pun berucap.

“Kau masih ingat dengan perempuan yang pernah kau temui di Desa Hoar sebelum kepergianmu ke utara?. Dia sudah meninggal dunia.” Ratu Catherien diam menunggu respon dari Raja Robert

“Dewa sudah mengambilnya kembali—,” tanggapan Raja Robert tidak seperti yang diharapkan oleh Ratu Catherien.

“Dia meninggal karena melahirkan seorang anak laki-laki tak ber-Ayah. Seorang anak laki-laki yang kini memiliki status anak haram.”

Raja Robert menatap Ratu Catherien dengan tatapan penuh curiga. “Malang sekali nasibnya!.”

“Tapi menurutku dia beruntung karena tahu bahwa dia memiliki Ayah yang masih hidup dan bahkan seorang Raja,” nada Ratu Catherien terdengar dingin.

“Jika bagi beberapa Raja memiliki seorang anak haram adalah sebuah aib, maka bagiku memiliki seorang anak utusan Dewa yang berasal dari darahku sendiri merupakan berkah yang tidak bisa aku tolak.” Langkah Raja Robert sedikit memelan ketika menaiki anak tangga menuju tingkatan rendah yang mengelilingi koridor. “Status menjadi anak haram bukanlah hal yang mudah bukan?.”

Ratu Catherien melangkah paling depan tanpa berpaling kearah Raja Robert yang masih mengikuti langkahnya dari belakang. “Iya, kadang status itu membuat kita dipandang lemah dan hina di mata orang-orang. Tapi waktu akan membawa sebuah perubahan pada kehidupan yang menjalaninya dengan sabar. Aku berharap anak haram itu bisa bertemu dengan Ayahnya dan dirawat bersama anak-anak dari Ayahnya.”

“Dia akan menjadi anak yang kuat,” Raja Robert berhenti melangkah, dia membiarkan Ratu Catherien terus bergerak maju menuju lorong terang terpapar cahaya matahariyang masukmenembus jendela kaca berlukiskan naga bersisik emas.

~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun