Mohon tunggu...
Loganue Saputra Jr
Loganue Saputra Jr Mohon Tunggu... pegawai negeri -

"Seri Langit Terbelah Dua merupakan efik cerita awal kehidupan manusia di dunia, berawal dari pengusiran dari Surga hingga kepada perang besar yang membawa dunia menuju kiamat"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Langit Terbelah Dua] di Sebuah Malam

11 Desember 2014   15:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:32 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : http://fc04.deviantart.net/

[caption id="" align="aligncenter" width="564" caption="Sumber Gambar : http://fc04.deviantart.net/"][/caption]

“Tak ada yang abadi di DuNia ini,

Selain apa-apa yang berasal dari Surga yang indah

Dan dari Neraka yang terkutuk”

06 / Di Sebuah Malam

Sudah tiga hari waktu berlalu setelah pasukan utusan kerajaan dikirim untuk mencari bintang jatuh yang dilihat Haon. Tak ada kabar berita sama-sekali, baik tentang bintang jatuh atau pun tentang pasukan yang dikirimnya itu. Beberapa ekor merpati sudah dicoba untuk menyampaikan pesan, namun tak seekor pun dari merpati tadi yang mendapatkan balasan, bahkan kembali ke Istana.

“Apa yang terjadi?,” Haon bertanya-tanya tanpa jawaban.

Layaknya sebuah pertanyaan yang memerlukan sebuah jawaban, Haon pun memutuskan untuk pergi langsung menyusul pasukan yang dikirmnya tiga hari lalu. Dia berangkat bersama Dork dan 20 pasukan berkuda, menyusuri jejak tanpa tanda yang tidak memiliki kepastian tentang kebenarannya.

Ranting pepohonan seolah menunjukkan arah jalan yang benar, dedaunan kering yang gugur seolah menghitung waktu yang terus berdetak. Lalu sampailah mereka kesebuah aliran sungai yang deras berhias bebatuan, menyebrangi sungai tadi lewat jembatan kayu tua yang masih kokoh meski rayap sudah memakannya, bagaikan lembaran buku tua yang using.

Matahari sudah mulai naik semakin tinggi, langit biru cerah dan awan hanya tipis berlalu tersapu angin. Haon melengak ke angkasa, meyakinkan bahwa cuaca akan terus cerah, kuda putih yang ditunggangnya masih belum lelah untuk bergerak, di pacunya santai hampir beriringan dengan Dork, mengitari jalan setapak di antara rerumputan yang mulai mengering, diikuti oleh 20 pasukan yang nyaris tak terdengar suara mereka karena tenggelam oleh suara langkah sepatu kuda.

Namun trik matahari membuat Haon merasa haus dan ingin beristirahat, dia mengangkat tangan kananya memberi isyarat pada semua pasukannya untuk menghentikan kuda dan beristirahat di bawah sebuah pohon beringin tua yang tumbuh di samping sungai yang deras. Kawanan kuda diikat saling terhubung, beberapa orang yang haus dan lapar mulai membuka bekal makanan mereka, sedangkan Haon, dia langsung duduk bersandar dibawah pohon beringin tadi. Entah kenapa matanya jadi sangat mengantuk kala itu, dan tak lama dia bersandar di pohon beringin tadi, dia pun tertidur dengan sangat lelap. Dan di dalam tidur tadi terselip sebuah mimpi.

Sebuah suara bisikan menyelinap di telinga Haon, bisikan yang tidak bisa diukur keras suaranya, yang tidak bisa dicari darimana asalnya, tapi jika didengar dengan seksama bisikan itu lebih menyerupai seperti suara seseorang yang sedang melantunkan nyanyian merdu.

Haon tunduk ke bawah melihat daratan yang dipijaknya, namun dia terkejut ketika mendapati pantulan jiwanya berdiri lurus tepat dibawahnya bagaikan sebuah cermin. Di atas kepalanya tergambar langit biru dengan awan putih yang berat sedikit berwarna gelap, dia kembali meluruskan pandangannya, menatap lurus kearah jarak yang tidak bisa terjangkau olehnya. Di tengah lautan yang tenang dan sepi. Hal itulah yang terlintas di dalam pikiran Haon, dia menyadari bahwa dia berdiri di atas air yang tenang, namun dia juga tahu bahwa hal itu merupakan hal yang mustahil untuk dilakukan.

Perlahan bayangan yang ada dibawahnya menghilang karena air laut yang jernih dan biru berubah menjadi keruh kecoklatan, angin yang tiba-tiba datang dari belakang menerpa jiwa Haon dengan sangat deras, akan tetapi sedikit pun dia tidak melayang, meski pun jubah yang dikenakannya berkibar mengikuti arah angin.

Semua suara mati tiba-tiba, lingkungan sekitar berubah menjadi ruangan yang hampa, seluruh tubuh Haon terasa dingin. Saat dia mencoba melihat kesekitar, baru disadarinya bahwa dia sedang tenggelam, gelembung udara keluar dari mulutnya ketika dia mencoba untuk berteriak dan berenang ke permukaan yang benderang oleh sinar matahari. Namun meski pun demikian, dia tidak merasa sulit untuk bernapas, dia seakan berada di alam terbuka dengan aroma cemara yang menghiasi indra penciumannya. Dia berhenti berenang ke permukaan, memutar tubuhnya untuk bisa melihat ke bawah, di bawah sangat gelap dan dalam, seolah ada bayangan yang menguasai kedalaman tadi. Lalu perlahan beberapa bayangan tadi bergerak ke atas, kaku namun terangkat menuju permukaan. Itu bukan bayangan, itu adalah mayat para Kara. Batin Haon berkata.

Haon menjadi panik, dia kembali berenang menuju permukaan, namun permukaan terlalu jauh untuk dicapainya, hingga akhirnya sebuah bayangan besar menghentikan geraknya, bayangan yang menutupi matahari, yang datang seolah jatuh dari langit, terhempas ke permukaan laut yang dalam, menciptakan gelombang yang membelah kekedua sisi bayangan tadi.

Tubuh Haon menjadi kaku, kedua tangan dan kakinya terentang tak berdaya, dia tenggelam semakin dalam menuju kegelapan yang tidak berujung, melewati ratusan jasad Kara yang perlahan terangkat menuju permukaan, tak bergerak, tak bernyawa.

Suara kawanan jangkrik tiba-tiba saja muncul di telinga Haon, membuat dia tersadar dari mimpi yang begitu aneh. Ketika dia terbangun langit sudah berhias bintang, dedaunan pohon beringin seolah tersingkap memperlihatkan bahwa bintang sejak tadi terus mengawasinya.

Kemana orang-orang. Itulah pertanyaan pertama yang terlintasi di kepala Haon.

Dia bangkit dengan cepat, memerhatikan sekitar yang sudah gelap, tak ada seekor kuda pun yang terlihat atau bahkan prajurit yang sebelumnya bersama dengannya, demikian juga dengan Dork yang seharusnya berada di dekatnya. Kemana semuanya, kegelapan telah menelan segalanya, menghilang bagaikan asap yang bercampur dengan udara.

Haon menarik pedang lalu memasang kuda-kuda sambil mengawasi sekitar, perasaan was-wasnya muncul dengan tiba-tiba, seakan marabahaya tercium disekitarnya. Lalu suara teriakan di dalam hutan membuatnya berpaling cepat dengan posisi masih siaga, menghadap kearah suara tadi, yang melengking menyeramkan. Haon berlari kearah suara tadi, menahan berat tubuhnya agar langkahnya tidak terlalu terdengar jelas, walau dedaunan kering di hutan yang terinjak menciptakan bisikan tentang keberadaannya.

Di tengah rongga antar pepohonan, langit malam terlihat cerah, Haon melengak ke arah dedaunan pohon yang seolah menyatu, terlihat ada sebuah pergerakan di sana, suara dedaunan saling sentuh karena ranting pohon bergoyang tiba-tiba. Pergerakan tadi berputar mengitari Haon, membuat Haon harus mengawasi semua penjuru.

Api tiba-tiba saja menyala, membakar dedaunan yang tadinya bergoyang, membentuk cincin api besar di tengah hutan. Sekitar menjadi terang, segala yang tadinya tersembunyi di dalam kegelapan kini menjadi jelas bagaikan siang. Tepat di bawah kaki Haon, diatas dedaunan kering yang diinjaknya, darah segar bercecer bagaikan air hujan yang membasahi penjuru setelah mereda.

Detak jantung Haon semakin kencang, rasa takut mulai muncul di dalam jiwanya, namun hal itu tidak membuat dia ceroboh lalu menjadi lengah. Dia bergerak perlahan mencoba melihat sekitar dengan bantuan cahaya api yang terus memakan dedaunan pohon, lalu sebuah kepala terlempar dari dalam gelap, berputar dengan darah yang masih muncrat kearah Haon, kepala terpenggal tadi terhenti tepat didepan langkah kaki Haon, Haon mundur selangkah dan masih menggenggam pedangnya dengan sangat erat.

Nyala api mulai meredup, sekitar hutan yang awalnya terang kini mulai menjadi remang-remang, semakin gelap maka semakin sulit bagi Haon untuk memastikan siapa yang sedang dihadapinya itu. Namun belum sempat padam kobaran api tadi, suara langkah kaki cepat di atas dedaunan terlintas di pendengaran Haon, suara langkah itu tepat berada di belakangnya, cepat, bringas dan penuh ambisi.

Haon memutar tubuhnya dengan cepat untuk melihat kebelakang, kemudian mengangkat pedangnya, melindungi kuda-kudanya. Pedang dengan nyala api menerjang kearah Haon, namun serangan itu sempat terhalang, kedua pedang tadi saling gesek, membentuk percikan api yang menyembur bagaikan kembang api. Haon menggeser tubuhnya kesamping dengan posisi pedang mendorong kedepan, serangan mendadak dari Purda berhasil dimentahkannya. Dan dicelah sempit dari serangan tadi, terbuka sedikit kesempatan bagi Haon untuk melancarkan tendangan agar jarak mereka menjadi semakin menjauh.

Purda terlempar kesamping dan berusaha menyeimbangkan tubuhnya. Namun pedang yang dipegangnya terlalu berat untuk ditahannya, dia terjerebak ke tanah, akan tetapi dengan cepat kembali bangkit dan bersembunyi di dalam kegelapan. Haon harus semakin waspada karena sekitar semakin gelap dan hal itu sangat menguntungkan Purda untuk melakukan serangan berikutnya.

Haon berlari kearah yang berlawanan, menerjang padang belukar, melewati pepohonan yang seolah mengawasinya. Bisa dirasakan oleh Haon, Purda terus bergerak mengejarnya, dan semakin lama jarak mereka terasa semakin dekat.

Gemuruh air terjun terdengar memecah hening malam yang berhias suara jangkrik, sungai yang menyambut air terjun tadi mengalir cukup deras walau pun dangkal, cahaya rembulan sedikit membantu Haon untuk melihat kesekitar, darah dan cabikan daging berserakan tak tentu arah, bekas kemah terbakar hanya menjadi saksi bahwa disana pernah terjadi hal yang sangat mengerikan.

“Dork!,” panggil Haon pada sosok yang terlihat siaga di pinggir sungai.

Baju jirah besi yang dikenakannya, mengkilat memantulkan cahaya rembulan. Dork berpaling kearah Haon kemudian menghampiri sang Raja yang terlihat kelelahan.

“Purda membantai pasukan kita satu-persatu demikian juga dengan pasukan yang kita kirim sebelumnya.” Ucap Dork dengan suara yang pelan.

“Aku sudah melihatnya, dia menjadi sangat kuat dan mengerikan.” Haon diam sejenak mengambil napas. “Kita harus segera pergi dari sini sebelum dia menemukan kita.”

*

Sebelumnya bisa di baca di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun