Infrastruktur merupakan salah satu syarat kunci pembangunan ekonomi nasional. Ia berfungsi sebagai katalisator dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi suatu barang dan jasa di suatu negara. Dalam bidang pertanian, ketersediaan infrastruktur yang memadai, secara langsung maupun tidak langsung, akan sangat berpengaruh pada tinggi rendahnya ongkos produksi dan distribusi komoditas pertanian. Infrastruktur yang memadai dapat memperlancar aliran barang dan jasa pertanian. Sebaliknya, kondisi infrastruktur pertanian yang buruk, dapat menyebabkan membengkaknya biaya produksi dan distribusi, sehingga menyebabkan produk-produk pertanian kita sulit bersaing di pasar global.
Tiga catatatan
Setidaknya, dalam empat tahun terakhir pemerintah sudah memiliki beberapa capaian dalam pembangunan infrastruktur pertanian. Hal ini tidak lepas dari kebijakan refocusing alokasi anggaran di Kementerian Pertanian (Kementan). Pada tahun 2014, alokasi anggaran sarana dan prasarana pertanian di Kementan hanya 35 persen. Namun, porsinya meningkat pada tahun-tahun selanjutnya. Puncaknya, pada tahun 2018 anggaran untuk sarana dan prasarana pertanian ini meningkat tajam menjadi 85 persen dari keseluruhan anggaran di Kementan.
Berdasarkan laporan 4 tahun capian Jokowi-JK, selama periode 2015-2017, pemerintah telah berhasil membangun 5.121 unit embung di seluruh Indonesia. Dari total nilai tersebut, sebanyak 2.348 unit dikerjakan oleh Kementan, 1.927 unit oleh Kemdes PDTT, dan sisanya 846 unit dikerjakan oleh Kementerian PUPR. Masih berdasarkan laporan yang sama, selama periode 2015-2018, pemerintah juga telah berhasil membangun 860.015 ha jaringan irigasi baru, dan 2.319.693 hektar rehabilitasi jaringan irigasi lama. Selain itu, sebanyak 17 unit bendungan juga sudah selesai dibangun dan siap digunakan.
Capaian ini tentu saja patut kita apresiasi, karena selain menandakan keseriusan pemerintah dalam membenahi minimnya infrastruktur pertanian (yang selama ini terabaikan), hal ini boleh juga kita artikan sebagai upaya pemerintah untuk menjadikan pertanian Indonesia maju.
Namun demikian, setidaknya ada beberapa catatan yang perlu kita perhatikan bersama. Pertama, untuk menjadikan pertanian Indonesia yang maju, apakah cukup hanya membangun 'infrastruktur fisik' saja, seperti bendungan, embung, dan jaringan irigasi? Padahal kalau kita tarik lebih jauh, selain yang berbentuk fisik, infrastruktur pertanian memiliki beragam dimensi lain seperti infrastruktur benih, dan infrastruktur kelembagaan. Pertanyaannya, sudah sejauh mana kedua infrastruktur lainnya tersebut dibangun oleh pemerintah? Sudah sejauh mana pemerintah memperkuat kelembagaan pertanian dan infrastruktur benih/bibit secara nasional?.
Infrastruktur perbenihan, misalnya, selama ini sangat sulit berkembang karena memang memerlukan investasi yang cukup besar. Tidak banyak pihak yang mau menanamkan investasi di pengusahaan perbenihan / perbibitan. Perlu ada upaya yang serius untuk membangkitkan kelembagaan perbenihan nasional mulai dari pusat sampai daerah, termasuk peningkatan kapasitas kemampuan penangkar benih lokal.
Kedua, dari gegap gempitanya pembangunan infrastruktur fisik pertanian diatas, sejauh mana keterlibatan dan partisipasi masyarakat pertanian dalam pembangunan infrastruktur pertanian tersebut. Partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan, sebagaimana yang telah dialami oleh negara-negara lain, akan membantu menciptakan rasa memiliki masyarakat terhadap setiap infrastruktur yang ada. Stiglitz (2002) mengungkapkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan sebagai a sine  qua  non untuk menciptakan masyarakat dengan modal sosial tinggi.
Partisipasi masyarakat selama ini juga terbukti menjadi salah satu kunci keberlanjutan (sustainability) program-program pembangunan. Jangan sampai, berbagai macam infrastruktur pertanian yang sudah dibangun, terbengkalai begitu saja karena masyarakat merasa tidak memiliki infrastruktur tersebut oleh karena mereka tidak dilibatkan dari awal perencanaan proyek.
Catatan ketiga, sejauh mana infrastruktur-infrastruktur pertanian yang sudah dibangun ini terkoneksi dengan infrastruktur lainnya. Sebagai contoh, apakah pelabuhan-pelabuhan yang dibangun sudah dilengkapi dengan dengan pergudangan berpendingin udara (untuk menjamin kesegaran komoditas pertanian)? Atau apakah embung atau bendungan-bendungan yang dibangun, telah dilengkapi juga dengan laboratorium dan kebun percobaan bagi penelitian atau klinik konsultasi kesehatan tanaman dan hewan, atau di dekatnya adakah balai informasi dan promosi pertanian, balai-balai penyuluhan serta pasar-pasar yang spesifik komoditas?. Jika infrastruktur pertanian yang dibangun bisa terkoneksi satu sama lain, tentu saja sangat menguntungkan bagi para petani kita.
Dua TantanganÂ