Mohon tunggu...
Alfian Helmi
Alfian Helmi Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Sedang nyantren di Hokkaido University, Jepang. Cinta Indonesia :-)

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama FEATURED

Menggugat Narasi Impor Garam

8 September 2016   12:31 Diperbarui: 2 Agustus 2017   07:22 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama ini, setidaknya ada tiga narasi utama yang dibangun oleh para pecandu impor garam untuk tetap bisa melancarkan bisnisnya. Pertama, produksi garam dalam negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan garam nasional. Kedua, kualitas garam dalam negeri tidak sabaik garam impor yang memiliki kadar NaCl setidaknya 97 persen. Ketiga, dengan spesifikasi yang sama, harga garam dalam negeri lebih mahal jika dibandingkan dengan garam impor yang sudah termasuk biaya transportasi.

Ketiga narasi ini sudah puluhan tahun kita “terima” tanpa ada upaya serius untuk menyelesaikannya. Solusi yang selama ini ditawarkan hanya jalan pintas, impor lagi. Sebagai konsekuensinya, negeri ini mengidap ketergantungan yang akut terhadap garam impor.

Ada tiga catatan penting berkaitan dengan ketiga narasi tersebut.

Pertama, perihal produksi garam dalam negeri yang tidak mampu mencukupi kebutuhan garam nasional. Faktanya, hingga saat ini, kedua instansi pemerintah, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag), memiliki data produksi garam yang berbeda. Sebagai contoh di Cirebon, angka produksi garam oleh Dinas Perikanan lebih besar dari data yang diluncurkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Cirebon. Kejadian serupa juga ada di Sampang, di mana catatan produksi garam masing-masing instansi berbeda-beda. Itu artinya, klaim volume produksi dan estimasi kebutuhan garam oleh pemerintah secara nasional bisa dikatakan belum akurat, sebab tidak didukung oleh data yang benar.

Ketidakakuratan tersebut juga sangat jelas terlihat pada data yang dirilis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan pada periode 2011-2014. Pada tahun 2011, total produksi garam dalam negeri berada pada kisaran 1,1 juta ton, lalu kemudian di tahun 2012 naik menjadi 2,1 juta ton. Pada tahun 2013 turun lagi menjadi 1,1 juta ton dan tahun 2014 naik lagi menjadi 2,2 juta ton. Produksi garam tiba-tiba naik 100 persen, lalu kemudian turun lagi secara drastis, seperti roller coaster. Padahal, lahan garam yang ada tidak bertambah dan tidak ada anomali cuaca yang dapat menyebabkan produksi garam turun.

Selain data produksi, data konsumsi pun tak kalah anehnya. Konsumsi garam rumah tangga yang berada pada kisaran 700 ribu ton pada periode 2011-2013, lalu kemudian merosot menjadi 511.390 ton pada 2014. Kekacauan data ini telah terjadi bertahun-tahun, dan berakibat fatal pada kebijakan pergaraman yang salah kaprah.

Narasi kedua, berkaitan dengan kualitas garam. Kualitas garam yang dibutuhkan oleh industri tidak hanya terbatas pada NaCl yang tinggi (minimal 97 persen). Akan tetapi, masih ada syarat batas maksimal kandungan logam berat seperti kalsium dan magnesium yang tidak boleh melebihi 400 ppm untuk industri aneka pangan. Sedangkan untuk industri chlor alkali plan (soda kostik) menetapkan ambang batas maksimal 200 ppm serta kadar air yang rendah, sementara itu garam untuk industri farmasi yang digunakan untuk memproduksi infuse dan cairan pembersih darah harus mengandung NaCl 99,9-100 persen.

Pertanyaannya adalah apakah para petani garam kita sanggup untuk memproduksi garam dengan kualitas industri tersebut? Jawabannya tentu saja sanggup! Para petani garam bukannya tidak sanggup untuk membuat garam dengan kualitas industri, tetapi karena kualitas garam yang mereka hasilkan sering kali dimainkan oleh para tengkulak pemburu rente, maka mereka lebih memilih untuk memproduksi lebih banyak garam ketimbang memperhatikan kualitas garamnya. Sebagai contoh, petani garam yang memproduksi garam jenis KW-2, namun dibeli oleh tengkulak dengan harga KW-3. Petani garam tidak mengetahui kualifikasi teknis mutu garam industri dan hanya berperan sebagai penerima harga (price taker).

Di sisi lain, PT. Garam yang merupakan BUMN yang bergerak dalam bidang pergaraman juga sampai saat ini masih memproduksi garam yang kualitasnya sama dengan petani garam lokal. Sehingga yang terjadi di lapangan adalah, para petani garam dan PT. Garam saling berebut pasar garam. Padahal seharusnya, PT Garam yang disokong oleh kekuatan modal negara bias menjadi mitra para petani garam dalam memproduksi garam dengan kualitas industri.

Ketiga, perihal harga garam impor yang lebih murah dibandingkan garam lokal. Pertanyaannya adalah mengapa harga garam impor bisa lebih murah? Padahal biaya transportasi sudah termasuk di dalamnya. Jawabannya tentu saja banyak faktor. Selanjutnya, kenapa harga garam lokal lebih mahal? Hal ini dikarenakan garam memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap ongkos angkut.

Sebagai contoh, petani garam di Sampang Madura, rata-rata mengeluarkan biaya sekitar Rp 85.000,00 sampai dengan Rp 150.000,00 per ton untuk biaya pengangkutan dari meja garam ke jalan raya (agar bisa diangkut oleh truk). Sedangkan garam mereka dibeli dengan harga Rp 300.000,00 sampai Rp 400.000,00 per ton. Itu artinya, hampir 50% ongkos produksi habis hanya untuk biaya pengangkutan. Infrastruktur yang buruk dan ketiadaan fasilitas produksi yang memadai menjadi salah satu penyebab tingginya ongkos produksi garam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun