Baru-baru ini pemerintah mencanangkan akan mengembangkan sentra industri garam di Nusa Tengara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Di mana kedua daerah tersebut bukan merupakan daerah dengan kebutuhan garam tinggi. Artinya, jika produksi tinggi di daerah ini, maka perlu additional cost berupa biaya pengangkutan ke ke daerah-daerah dengan kebutuhan garam tinggi, seperti di Jawa.
Pertanyaannya adalah apakah biaya pengangkutan ke Jawa akan lebih murah jika dibandingkan impor dari Australia? Kalau ternyata lebih mahal, maka yang terjadi adalah harga garam impor lagi-lagi menjadi lebih murah jika dibandingkan garam lokal. Alhasil, strategi untuk menggenjot produksi garam di daerah lain akan menjadi sia-sia jika ujung-ujungnya impor lagi. Itu sebabnya, perlu ada rencana aksi yang konkret agar biaya angkut dari sentra produksi garam ke daerah-daerah dengan kebutuhan garam tinggi bisa ditekan sebaik mungkin.
Lalu, bisakah kita lepas dari ketergantungan impor garam yang banyak didukung oleh ketiga narasi di atas? Jawabannya tentu saja bisa! Asal ada kemauan dari semua pihak yang berkepentingkan akan garam untuk bisa lepas dari ketergantungan terhadap impor garam.
Penulis adalah Mahasiswa Hokkaido University, Jepang
Fokus pada permasalahan pergaraman di Sampang, Madura
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H