Mohon tunggu...
Alfian fajarlukmansyah
Alfian fajarlukmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

maba'21

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kewenangan Desa dalam Membuat Peraturan Desa Berdasarkan Asas Desentralisasi

9 Juni 2022   20:03 Diperbarui: 9 Juni 2022   20:08 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Konstitusi negara Indonesia yakni UUD NRI Tahun 1945 telah mengatur bahwa negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang berdasarkan pada hukum. Negara republik berarti bahwa negara Indonesia menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan prinsip-prinsip negara kesatuan. Sementara sebagai negara hukum, maka negara Indonesia menjalankan pemerintahan sesuai dengan perundang-undangan yang diberlakukan saat ini. Negara Indonesia juga menganut kedaulatan rakyat yang dilaksanakan sesuai dengan konstitusi negara. Oleh karena itulah, hukum yang berlaku di Indonesia tidak semata-mata hanya untuk melanggengkan kekuasaan yang ada, melainkan untuk melaksanakan amanat rakyat. Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dilaksanakan untuk melindungi dan menjamin hak-hak rakyat. Sementara hingga saat ini jaminan atas hak-hak kosntitusional belum sepenuhnya bisa diwujudkan. Penyelenggaraan pemerintahan yang terpusat atau praktik pemerintahan sentralisasi diakhir sebagai upaya untuk menjamin hak konstitusional tersebut. Hal ini dikarenakan, sentralisasi pemerintahan dinilai menyebabkan terjadinya kesenjangan pambangunan di daerah. selain itu, sentralisasi pemerintahan dianggap telah menyebabkan potensi daerah yang berbeda-beda tidak dapat meningkatkan daya saingnya. Hal ini berkaitan dengan pengaturan pusat yang menyeragamkan kebijakan, sehingga perhatian akan potensi daerah yang berbeda-beda banyak terabaikan. Dengan demikian, ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi memilih penyelenggaraan pemerintahan berbentuk desentralisasi. Joeniarto (dalam Santoso, 2015:31) mendefinisikan asas desentralisasi sebagai prinsip yang menekankan mengenai pemberian wewenangan dari pemerintahan pusat ke pemerintahan lokal untuk mengurus pemerintahannya sendiri dalam beberapa urusan tertentu, yang umumnya disebut sebagai otonomi atau swatantra. Sementara definisi sedikit berbeda dinyatakan oleh Amrah Muslimin (Santoso, 2015:31) yang menyatakan bahwa desentralisasi merupakan bentuk pelimpahan wewenang atau kekuasaan sesuai dengan teori kewenangan oleh pemerintah negara kepada swantara (badan-badan otonomi di tingkat daerah). Desentralisasi di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan prinsip negara kesatuan yakni pelimpahan kewenangan dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah dengan kedaulatan tetap berada pada pemerintahan pusat itu sendiri. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan karena adanya pelimpahan kewenangan dari pemerintahan pusat berdasarkan atribusi dan delegasi pada kewenangan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah tersebut (Mahdi, 2017). Penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah ini disebut sebagai ''swatantra'' atau lebih dikenal sebagai ''otonomi daerah.'' Secara praktis otonomi daerah dapat dikatakan sebagai adanya pemberian kewenangan daerah untuk melakukan pengelolaan terhadap potensi daerahnya seoptimal mungkin. Otonomi di Indonesia menitikberatkan pada pemerintahan di tingkat Provinsi dan pada tingkat Kabupaten/Kota. Padahal hakikatnya otonomi daerah dimulai dari tingkat pemerintahan terendah, yakni pemerintahan Desa. Hal ini didasarkan pada pemerintahan desa yang jika dilihat secara historis merupakan awal dari masyarakat politik dan pemerintahan. Struktur sosial yang mirip dengan pemerintahan desa, seperti masyarakat adat, dan institusi sosial lain telah terbentuk sejak awal, bahkan pembentukan ini telah terjadi sebelum pemerintahan Indonesia terbentuk. Instutisi sosial mirip desa ini menduduki posisi yang sangat penting dalam mengatur kehidupan bangsa Indonesia sejak dahulu. Desa sebagai institusi sosial dan pemerintahan memiliki keunikannya sendiri, baik pada tradisinya, adat istiadat, dan juga hukumnya sendiri. Hukum yang berlaku pada tingkatan masyarakat desa tersebut merupakan hukum tidak tertulis, namun lebih ditaati oleh masyarakat. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum. Dengan demikian, keseluruhan penyelenggaran pemerintahan dan kehidupan bangsa dilaksanakan berdasarkan peraturan yang berlaku, begitu juga dengan penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan di tingkat daerah. peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan hukum tertulis dan belum mengatur mengenai keseluruhan hal, sehingga perbedaan adat istiadat, budaya, dan lain sebagainya dalam kehidupan belum termasuk di dalamnya. Sementara Indonesia merupakan negara hukum, sehingga peraturan perundang-undangan merupakan instrumen yang sangat penting. Sinaga (2019) dalam penelitiannya yang berjudul ''Politik Legislasi Hukum Tidak Tertulis Dalam Pembangunan Hukum Nasional'' menyatakan bahwa hukum positif memang tidak dapat merangkum dan mengakomodir semua sistem hukum tidak tertulis ini, namun masyarakat masih mempergunakan hukum tidak tertulis tersebut dalam kehidupannya, sehingga kedudukan hukum tersebut harus lebih diperjelas dalam sistem hukum nasional. Pemerintah Indonesia menyadari hukum yang berlaku di masyarakat tersebut dan berusaha untuk menjamin hukum yang berlaku di masyarakat tersebut. Hal ini terlihat dalam UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang mengatur bahwa pemerintahan desa yang dalam hal ini menjadi wewenang kepala desa berwenang untuk membentuk peraturan Desa. Pemerintahan desa dapat membentuk peraturan desa akan tetapi perlu diketahui lebih lanjut mengenai kedudukan peraturan desa tersebut dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga dapat diketahui mengenai kekuatan mengikat peraturan desa tersebut. dengan mengetahui mengenai kekuatan mengikat peraturan desa tersebut, maka dapat diketahui pula mengenai pemberdayaan keberagaman dan perlindungan atas hak tradisional Desa. Selain itu, perlu diketahui pula mengenai kewenangan desa dalam membentuk peraturan perundang-undangan tersebut.

  • Hierarki Peraturan Desa Dalam Peraturan Perundang-Undangan

Pengaturan administrasi negara Indonesia mengatur bahwa desa termasuk dalam subsistem dari pemerintahan daerah. Hal ini diatur dalam Pasal 371 ayat 1 UU Pemda yang menyatakan bahwa pemerintahan desa dapat dibentuk pada pemerintahan kabupaten/kota. Istilah ''dibentuk'' dalam UU Pemda ini mengindikasikan bahwa desa termasuk dalam subsistem pemerintahan kabupaten/kota. Berbeda hal dengan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa NKRI terbagi atas daerah-daerah, bahwa daerah provinsi terbagi atas kabupaten dan kota. Hal ini mengindikasikan bahwa konstitusi menerapkan prinsip otonomi daerah, dikarenakan menggunakan istilah ''terbagi atas daerahdaerah''. Pasal ini juga mengindikasikan bahwa terhadap hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah. bahwa terjadi pembagian kekuasaan secara hierarki dan vertikal (Sapitri, 2020). Otonomi daerah pada hakekatnya adalah prinsip dimana daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan daerahnya sendiri, serta pemerintahannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, urusan pemerintahan yang tidak dilimpahkan kewenangannya oleh pusat kepada daerah tidak menjadi kewenangan pemerintahan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah tersebut. Pada hakikatnya otonomi daerah diadakan dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat serta mewujudkan pemerataan daerah dan mengembangkan kehidupan yang terdapat di suatu daerah dengan demikian dapat menimbulkan manfaat berupa semakin baiknya pelayanan masyarakat daerah, meratanya penduduk serta semakin besarnya potensi masyarakat suatu daerah berkembang dikarenakan dapat mengurusi urusan pemerintahan dan rumah tangganya sendiri (Pakaya, 2016). Salah satu bentuk dari upaya untuk meningkatkan otonomi daerah adalah dengan melakukan otonomi desa. Otonomi desa dilakukan sehingga otonomi daerah benar-benar mampu untuk mewujudkan lokalisme atau kemandirian lokal. Kemandirian lokal berarti bahwa telah terwujud penghargaan atas kearifan lokal dan kemandirian desa sebagai pondasi pemerintahan NKRI. Apabila kemandirian lokal tidak terwujud, maka pemerintahan di atasnya akan mendapatkan beban untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dengan demikian, pemerintahan Desa harus benar-benar bisa mewujudkan kemandirian lokal untuk menopang NKRI. Bentuk dari otonomi adalah kewenangan desa untuk membentuk peraturan desa. Peraturan desa ini bentuk sebagai pengaturan lebih lanjut dari Perda Kab/Kota. Dilihat dari perspektif citra hukum, peraturan desa dibentuk sehingga masyarakat desa lebih memperoleh jaminan hukum dari kearifan lokal yang dimiliki desa dan belum tercover dalam peraturan di atas. Dengan demikian juga dibentuk untuk mewujudkan kepastian hukum dan kemanfaatan kepada masyarakat desa. Sementara jika dilihat dari asas negara berasaskan hukum, maka dapat ditemukan bahwa peraturan desa hanya berlaku terbatas, yakni hanya mengikat pada tertentu saja (Neyasyah, 2019). Setelah dilakukan telaah, dapat dikatakan bahwa tidak disebutkan secara eksplisit mengenai peraturan desa di dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang PPUU. Namun apabila dilakukan telaah lebih lanjut, maka dapat ditemukan bahwa Peraturan desa diatur dalam Pasal 8 UU PPUU, bahwa peraturan perundang-undangan di luar Pasal 7 ayat (1) termasuk pula peraturan yang ditetapkan oleh kepala desa atau yang setingkat. Dalam ketentuan ini, maka dapat dikatakan bahwa peraturan desa tidak dijelaskan secara rinci. Akan tetapi peraturan desa dibentuk oleh Badan Permusyawaratan Desa dan ditetapkan oleh Kepala Desa, sehingga memenuhi ketentuan yang dimaksud dalam Pasal tersebut. Pengaturan desa juga terlihat dalam Pasal 8 ayat 2 UU PPUU yang menyatakan bahwa apabila suatu peraturan perundang-undangan merupakan pelaksana atau merupakan perintah dari peraturan perundang-undangan di atasnya yang diakui keberadaannya, maka peraturan tersebut juga diakui kekuatan hukumnya. Dari sini, maka dapat diketahui bahwa telah terjadi atribusi kewenangan sehingga dapat dibentuk peraturan desa. Atribusi kewenangan sendiri merupakan pemberian kewenangan kepada lembaga negara/pemerintahan untuk membentuk peraturan perundang-undangan berdasarkan pada UUD atau UU. Adapun peraturan desa mendapatkan kewenangan atribusinya dari UU desa. Selain itu, dipertegas dalam Pasal 101 UU PPUU bahwa semua peraturan pelaksana dari UU Desa diakui keberadaannya selama peraturan tersebut tidak bertentangan dengan pengaturan dalam UU PPUU. Dari sini, maka dapat diketahui bahwa peraturan desa memiliki status hukum yang jelas sebagai atribusi kewenangan dari UU Desa.

  • Kewenangan Desa Dalam Membuat Peraturan Desa Berdasarkan Asas

DesentralisasiJoeniarto (dalam Santoso, 2015:31) mendefinisikan asas desentralisasisebagai prinsip yang menekankan mengenai pemberian wewenangan daripemerintahan pusat ke pemerintahan lokal untuk mengurus pemerintahannyasendiri dalam beberapa urusan tertentu, yang umumnya disebut sebagai otonomiatau swatantra. Senada dengan Joeniarto, Koswari menyatakan bahwadesentralisasi merupakan pelimpahan kekuasaan dari pusat kepada pemerintahandaerah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi merupakanpelimpahan kewenangan atauDalam pelaksanaan otonomi daerah terkandung asas desentralisasi yangberorientasi pada beberapa aspek. Aspek tersebut antara lain aspek politik,manajemen pemerintahan, kemasyarakatan, dan ekonomi. Aspek politik beratibahwa masyarakat diikutsertakan dalam penyelenggaraan pemerintahan yangterlihat dalam adanya kemudahan bagi masyarakat untuk memberikan inspirasidan aspirasinya. Kemudian aspek manajemen pemerintahan di mana tindakanpemerintahan dilakukan untuk meningkatkan daya guna penyelenggaranpemerintahan, utamanya dalam menjalankan fungsinya untuk melayanimasyarakat. aspek yang ketiga yakni aspek kemasyarakatan berarti bahwatindakan pemerintahan tersebut dilakukan untuk memberdayakan masyarakat.sementara aspek ekonomi berarti bahwa tindakan pemerintahan dilaksanakanuntuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. melihat pada kandungan asasdesentralisasi, maka kewenangan desa untuk membentuk peraturan desamerupakan hal yang tepat karena telah memenuhi ke-5 aspek dalam maksudpembentukannya.Berdasarkan asas desentralisasi, maka desa juga diberikan kewenanganuntuk mengurus urusan pemerintahannya. Salah satu hal yang menjadikewenangan desa yakni membentuk peraturan desa. Kewenangan desa inidiberikan sebagai bentuk dari otonomi desa. Otonomi desa berarti bahwa desaberwenang untuk menyelenggarakan pemerintahan dan menjalankan urusandaerahnya sendiri. Dengan demikian, materi muatan peraturan desa dibentukuntuk menyelenggarakan pemerintahan desa, yakni untuk membangun desa,memberdayakan desa, dan menjabarkan lebih lanjut peraturan perundangundangan di atasnya (Yurika Maharani, Ibrahim, 2015).Peraturan desa akan ditetapkan setelah melakukan pembahasan dandisepakati bersama dengan Badan permusyawaratan desa. Sementara Peraturankepala desa merupakan peraturan yang dibentuk untuk menjabarkan teknis ataupelaksanaan dari peraturan desa yang bersifat pengaturan. Sementara keputusankepala desa merupakan keputusan yang dibentuk untuk menjabarkan peraturandesa dan kepala desa yang bersifat penetapanPeraturan desa merupakan pengaturan teknis atau operasional. Peraturandesa ini akan lebih operasional jika dalam substansi atau materinya tidak terikatdengan asas legalitas. Hal ini dikarenakan asas legalitas tentu saja tidak dapatmengcover hukum yang hidup di masyarakat atau hukum kebiasaan masyarakatdesa. Namun pengaturan yang demikian perlu dilakukan penelitian mendalahterlebih dahulu terhadap subjek dan objek hukum yang akan diatur dalamperaturan desa. Selain itu, layaknya pembentukan peraturan perundang-undangan,maka diperlukan naskah akademik untuk menjelaskan peraturan desa yang akandibuat sesuai dengan aspek-aspek yang harus dipenuhi dalam peraturanperundang-undangan.Pemrakarsa dari rancangan peraturan desa dilakukan oleh pemerintah desa.Sementara jika yang mengusulkan adalah BPD, maka dilakukan penyerahankepada pemerintah desa terlebih dahulu. Rancangan ini kemudiandimusyawarahkan dengan masyarakat desa. Hal ini harus dilakukan karena syaratwajib dalam pembentukan peraturan desa adalah partisipasi masyarakat untukmemberikan masukan dalam penyusunan rancangan. Masukan dari masyarakatkembali dibahas oleh kepala desa dengan BPD (Pasal 83 PP No. 43 Tahun 2014).Rancangan yang telah dibahas tersebut kemudian ditetapkan oleh Kepala desa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun