Telah lama rasanya saya tidak menulis kembali di kompasiana,  khsusunya mengenai bulutangkis. Banyaknya aktivitas yang harus  dikerjakan membuat saya belum ada waktu luang untuk menulis  tentang bulutangkis. Akhirnya hari ini saya ada waktu luang untuk  kembali menulis. Pertama saya mengucapkan terima kasih  khusunya setelah saya diajak untuk bergabung menjadi bagian  keluarga besar Fanspage Bulutangkis Lovers. Menjadi bagian dari  fanspage terbesar bulutangkis di Indonesia adalah apresiasi yang  luar biasa bagi saya.
Pada tulisan kali ini saya sedikit memberikan opini perihal nasib tunggal putri bulutangkis Indonesia. Setelah sektor tunggal putri belum juga menunjukkan taringnya sepanjang hampir satu tahun ini, kecuali di kejuaraan Indonesia Granprix Gold 2014 lalu yang berhasil menempatkan All Indonesia Final, namun perlu diberi catatan kejuaran tersebut tidak banyak dihadiri pemain asing, bahkan yang masuk babak finalpun adalah pemain yang berlatih di klub (pemain profesional). Pergantian pelatih dari Liang Chusia tahun lalu dengan Marleve Mainaky seolah belum mampu meningkatkan prestasi tunggal putri kita. Alih-alih mengharapkan senior yang masih babak belur di turnamen Internasional, di sektor juniorpun juga masih belum menunjukkan prestasi yang membanggakan.
Hal ini sangat kontras jika kita membandingkan tunggal putri Indonesia dari negara lain, tak usah lah kita membandingkan dengan Tiongkok, Korea, ataupun Jepang. Bahkan kini tunggal putri kita sudah disalip oleh negara minor bulutangkis seperti Kanada, Amerika Serikat, bahkan Spanyol. Entah, apa yang sebnarnya terjadi di tunggal putri kita, bibitkah yang kurang, sistem kepelatihan kan yang salah, atau pemain kita yang kurang bagus.
Tapi jujur, sektor tunggal putri kita sudah bukan menjadi kekuatan utama bulutangkis dunia. Kita boleh berbangga punya Susi Susanti, Mia Audiana, tapi itu hanya catatan masa lampau yang hanya bisa dikenang. Kini setelah 20 tahun berlalu belum nampak Susi Susanti atau Mia Audina lagi. Padahal Ratchanok Inthanon yang hanya dilatih oleh Susi Susanti tiga bulan sudah bisa menjadi juara dunia tunggal putri 2013. Lebih miris lagi, Carolina Marin dari Spanyol yang baru berlatih di Cipayung dua bulan sudah pula menjadi juara tunggal putri 2014. Lantas apa yang salah, bukankah pemain kita berlatih dan mendapat arahan, masukan dari Susi Susanti. Bukankah program latihan Marin juga sama dengan program latihan tunggal putri kita. Kalau bicara stok pemain, Spanyol dan Thailand tentu sangat jauh, tidak ada mekanisme pertandingan lokal seperti Sirnas di Spanyol dan Thailand, klub bulutangkis juga tak sebanyak di indonesia. Lantas, kalau kita bicara bahwa stok kita kurang, apa ribuan orang yang ingin mendaftar di beasiswa PB Djarum masih kurang. Lantas, kemana Tunggal Putri Indonesia ?
Entahlah, ini hanya opini saya. Saya masih menunggu dan terus menunggu untuk lahirnya tunggal putri yang ‘monster’ dari Indonesia. Akan terus menunggu.
Silahkan Berdiskusi
#SalamKejayaanBulutangkisIndonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H