Dear Ibu Mertua,
Maret 2016 awal kami saling mengenal. Bertukar cerita dengan amat menyenangkan. Putrimu telah menarik perhatianku walaupun kami berjauhan karena terpisah jarak. Kami menghabiskan waktu hingga malam-malam untuk berbincang tak tentu arah melalui sambungan telepon. Ah, masa-masa itu adalah masa yang selalu rindu untuk kuulangi.
Sayang, ibuku tidak sempat mengenal dan melihat putrimu. Padahal beliau sangat ingin sekali mengenal siapa yang akan menjadi pendampingku kelak. Hanya sebentar lagi, tetapi Tuhan buru-buru membawa ibuku pulang hingga mendengar suara putrimu pun tak sempat. Pada Maret itu juga ibuku berpulang ke pangkuan Bapa di surga.
Mei 2016
Aku memberanikan diri untuk menjadikan putrimu pendampingku dalam sebuah acara penting dalam keluargaku. Di pernikahan kakak, banyak mata memandang kami berdua. Dalam sebuah busana Jawa yang anggun, putrimu mendampingiku dengan elok bijaksana. Kami sungguh berbahagia. Meskipun itu bukan acara kami. Rasanya agak aneh memang karena kami belum lama berkenalan. Tapi semua ingin segera melihat kami berada di peraduan yang berikutnya.
Juli 2016
Pada gilirannya, aku memberanikan diri untuk melamar putrimu. Kami bertunangan. Kata orang itu proses yang cepat. Tapi tidak, pertunangan itu akan menjadi momen persiapan kami menuju jenjang pernikahan. Takada keraguan menggelayut. Itu merupakan keputusan yang mantap walaupun berproses dengan cepat.
Mei 2017
Waktu berjalan cepat. Momen yang kami nanti pun tiba. Momen sekali seumur hidup. Itu adalah momen terbesar bagi kami berdua. Momen ketika kami dipersatukan dalam pernikahan kudus. Keputusan terbesar dalam hidupku adalah meminang anakmu menjadi kekasih hatiku sepanjang hidup. Ribuan orang berdoa untuk kami. Terkhusus doamu, memberikan kami kekuatan untuk melangkah menapaki jalan cinta kami yang baru.