Desa Bekonang terletak di Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah. Kira-kira 15 kilometer dari rumah saya di kampung. Kawasan ini sangat "Masyur" sebagai sentra penghasil minuman beralkohol yang terkenal dengan nama Ciu. Karena berasal dari Bekonang maka lebih dikenal ciu Bekonang.Â
Rasanya tidak ada orang disekitaran karesidenan Surakarta yang tidak mengenal ciu Bekonang. Surakarta adalah nama lain dari Kota Solo. Daerah-daerah seputarannya dikenal dengan istilah SUBOSUKAWONOSRATEN (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten).Â
Sewaktu kecil saya sering sekali melewati daerah Bekonang lantaran Bapak saya suka sekali mengajak motoran ke arah Solo Baru. Dari tempat tinggal saya di Karanganyar ke Solo Baru paling dekat lewat kawasan ini. Disana terpampang papan-papan bertuliskan  "Sentra Industri Alkohol".
Bekonang memang sudah sejak lama dijadikan sentra penghasil minuman beralkohol (ciu). Bahkan diyakini sudah sejak jaman Belanda pada tahun 1940. Ada puluhan "pengrajin" turun-temurun disana. Pengrajin-pengrajin tersebut bernaung dalam sebuah paguyuban yang dinamakan Paguyuban Pengrajin Alkohol Bekonang. Dulu setiap lewat, saya sering melihat drum-drum yang dipakai untuk memproduksi ciu.
Ciu merupakan minuman beralkohol yang merupakan hasil fermentasi dan distilasi tetes tebu. Nah, tebu ini diyakini berasal dari pabrik gula PG Tasikmadu yang lokasinya dekat dengan rumah saya. Hanya sekitar 500 meter. Karena ada pabrik gula, daerah tempat saya tinggal banyak lahan ditanami tebu.Â
Tebu-tebu ini ketika masa giling akan diangkut ke pabrik gula untuk diolah. Makanya ada sepur tebu (kereta untuk mengangkut tebu). Tapi itu dulu, sekarang lahan tebu sudah banyak yang beralih menjadi perumahan. Pabrik gula Tasikmadu juga sudah dibuka sebagai tempat wisata walaupun tetap berproduksi. Ssstt...jangan dicontoh ya, dulu anak-anak kecil termasuk saya suka mengambil tebu (baca: nyolong). Kejahilan itu seperti sebuah kebanggaan tersendiri bagi anak-anak pada masa itu.
Kembali ke masalah ciu, seperti yang sudah saya sebutkan diawal bahwa minuman ini begitu populer. Pemuda-pemuda desa kalau sudah mabuk, pasti ciu. Biasanya dalam menenggak ciu itu dioplos dengan minuman bersoda yang banyak dijual ditoko. Menurut info yang beredar, kadar alkohol dalam ciu berada diangka 20-25 persen. Itu berarti didalam Undang-undang minuman beralkohol, minuman ini tergolong dalam golongan C dengan kadar etanol tertinggi (20-55 persen). Saya sendiri sebenarnya tidak merasakan kenikmatan ciu. Rasanya tidak enak, keras dan baunya sangat menyengat. Saya tahu karena pernah mencoba, hehe.. Beda misalnya dengan arak Bali atau tuak Medan. Rasanya lebih bisa "dinikmati".
Lalu perlukah larangan minol dituangkan dalam Undang-undang?
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa kalangan legislatif dalam hal ini DPR telah memasukkan RUU larangan minuman beralkohol kedalam Prolegnas 2020. Artinya bila tidak ada hambatan berarti RUU ini tinggal menunggu waktu untuk disahkan menjadi undang-undang (UU). Secara ringkas RUU ini melarang setiap warga negara untuk memproduksi dan menjual minuman beralkohol. Tidak cukup larangan memproduksi, tetapi juga larangan mengkonsumsi.Â
Sekadar intermezo, RUU ini sempat menjadi bahan becandaan saya dan istri dirumah. Ceritanya istri saya itu dari kecil belum pernah mencicipi minuman beralkohol. Paling banter ya minum cola. Bir dan anggur (wine) belum pernah ia rasakan. Ketika kami menikah, kami berencana untuk sesekali menenggak bir atau wine karena istri begitu penasaran dengan minuman beralkohol.Â