Pasang surut dalam sebuah hubungan itu biasa. Tidak hanya yang masih dalam tahap pacaran saja. Yang sudah menikah bertahun-tahun pun pasti mengalami. Mengapa demikian? Karena menyatukan isi dua kepala itu bukanlah hal yang sederhana. Semua orang punya ego, semua orang punya pendirian, dan semua orang juga punya keinginan, apalagi berangkat dari latar belakang keluarga yang berbeda.Â
Aryo adalah seorang pria muda yang dibesarkan dalam keluarga yang hangat nan romantis. Ayah dan ibunya adalah pasangan romantis yang selalu menyempatkan diri untuk sekedar menggelar makan malam berdua. Pun ulang tahun setiap anggota keluarga pun selalu dirayakan secara bersama-sama dan memiliki tradisi tukar kado. Ketika berumur 27 tahun, ia memutuskan menikah dengan kekasih pujaan hatinya, wanita yang sudah dipacarinya semenjak dua tahun terakhir. Ia menikah dengan Martha.
Berbeda halnya dengan Aryo, Martha memiliki masa kecil yang jauh berbeda. Orangtuanya bercerai sejak ia berumur 10 tahun. Sebelum bercerai, orangtuanya sering cek-cok yang membuat anak-anak melihat betapa kacaunya rumah tangga mereka. Akhirnya ketika sudah dewasa, Aryo dan Martha memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai perceraian.
Bagi Aryo, pernikahan itu sakral. Tidak akan mungkin berpisah kecuali maut yang memisahkan. Masalah dalam rumah tangga baginya adalah hal yang lumrah. Tidak merusak esensi pernikahan. Emosi, perbedaan pendapat, perbedaan pilihan, serta ego adalah hal yang memang wajar terjadi dalam sebuah hubungan suami-istri. Bagaikan bumbu pernikahan.
Sementara Martha beranggapan bahwa perceraian itu adalah hal yang lumrah bila ada ketidakcocokan dan sepertinya masalah itu terus berlarut-larut hingga seolah-olah sulit dicari titik temunya. Maka ketika ada masalah besar dalam kehidupan pernikahannya dengan Aryo, berkali-kali ia memikirkan kemungkinan untuk bercerai. Sesuatu yang tidak pernah diamini oleh Aryo.
Cerita di atas hanya sebuah ilustrasi untuk menjelaskan kepada kita bahwa perbedaan latar belakang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi cara pandang orang dalam menyikapi sebuah hubungan.Â
Ada latar belakang keluarga, ada pula latar belakang budaya. Beda suku, beda budaya, pasti ada juga perbedaan nilai yang dianut. Perbedaan ini tidak jarang membuat perselisihan antara suami dan istri. Maka dalam sebuah hubungan pernikahan itu diperlukan sebuah kualitas. Kualitas yang akan menentukan keberlangsungan rumah tangga.
Saya meyakini tidak ada satu pasangan pun di seluruh dunia yang merencanakan perceraian pada saat mereka menikah. Tidak ada orang yang ingin bercerai pada saat ia menikah. Saya merangkum beberapa kualitas yang diperlukan dalam membangun sebuah hubungan suami istri.
Pertama, saling menerima kelemahan dan kekurangan pasangan. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang sempurna. Semua orang memiliki kelemahan. Oleh karenanya, pasangan perlu menerima secara lahir batin akan kekurangan pasangannya.Â
Hendaklah yang memiliki kelebihan menutupi kelemahan pasangan. Bukan malah semakin merendahkan karena kelemahannya. Ini adalah esensi bahwa suami istri itu diciptakan untuk saling memperlengkapi.
Seorang istri yang kurang pandai dalam hal masak-memasak hendaknya selalu didukung setiap usahanya untuk menyediakan makanan bagi suaminya. Janganlah dibilang masakannya tidak enak, apalagi sampai tidak dimakan.