Mohon tunggu...
Meirri Alfianto
Meirri Alfianto Mohon Tunggu... Insinyur - Seorang Ayah yang memaknai hidup adalah kesempatan untuk berbagi

Ajining diri dumunung aneng lathi (kualitas diri seseorang tercermin melalui ucapannya). Saya orang teknik yang cinta dengan dunia literasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dear Perantau, Sempatkanlah Pulang, Barangkali Itu Momen Terakhirmu Bertemu Orangtua

2 September 2020   06:14 Diperbarui: 2 September 2020   06:34 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kondisi ibu semakin menurun tajam hingga ia sudah tidak bisa berjalan. Tahun 2015 ia mengalami glukoma. Suatu kondisi penyakit yang membuatnya tidak bisa melihat lagi. Awalnya temaram hingga mata tak bisa melihat sepenuhnya. Walaupun sudah sangat lemah dan beberapa kali hampir menyerah menahan rasa sakit, namun saya menilai ia pribadi yang berusaha selalu tegar dan bersemangat. 

Ia masih sanggup jam dua malam ngesot  (jalan dengan posisi duduk di lantai) dari tempat tidur menuju ke toilet untuk buang air sendiri karena tak mau merepotkan orang lain. Kami terus menyemangatinya. Ketika mulai down, kami mengingatkan ibu tentang anak-anaknya. Anaknya hanya saya dan kakak saya. Kebetulan kakak waktu itu akan segera menikah. Jadi ibu sudah dekat dengan harinya. Maka tinggal saya saja. "Opo ibu ora kepengen nekani nikahanku. Mosok mung nekani nikahane mbak Septi.."

"Apa ibu tak ingin datang ke nikahanku kelak. Masak hanya mendatangi nikahannya mbak Septi..." Begitu kata saya menyemangati.

Januari 2016, tak ada libur tak ada hari besar entah kenapa saya ingin pulang. Saya tak mengabari bahwa saya akan pulang seperti biasanya karena saya ingin memberikan surprise untuk ibu. 

Dan benar ibu begitu gembira melihat saya datang. Kami menyempatkan keliling Jawa Timur berkunjung ke rumah-rumah saudara sekaligus refreshing keluarga. Hanya tiga hari lalu saya kembali ke perantauan. Tak disangka, itulah momen terakhir saya bertemu dan memeluk ibu.

Maret 2016, saya ditelepon. Ibu kembali masuk ke rumah sakit dr.Oen, Solo. Kali ini kondisinya sangat parah. Ibu sudah tidak sadarkan diri. Saya langsung terbang ke Solo dengan penerbangan yang paling pagi. Tak seperti biasanya ketika ibu begitu sumringah menyambut saya datang, hari itu ia hanya terbujur di ruang ICU. Kondisinya sudah tak sadar. Dokter menyampaikan bahwa beliau mengalami pecah pembuluh darah di otak. Darah itu sudah memenuhi organ bagian dalam kepala. 

Seluruh organ sudah tidak berfungsi. Hanya jantung saja yang masih berdetak. Kami keluarga diminta mengikhlaskan saja karena kondisi ini sudah tidak tertolong. Bila dibiarkan hanya akan membuat pasien menderita. Keluarga masih ingin agar diusahakan yang terbaik. Kami tak henti berdoa meminta kebaikan hati Sang Khalik. Namun tetap hingga hari ke-5 tak ada kemajuan. Naik tidak, turun pun tidak. Tak ada pergerakan sama sekali. Akhirnya dengan berat hati keluarga mengikhlaskan. 

Biarlah semua terjadi menurut kehendak Illahi. Ibu pernah mengatakan bahwa dulu Mbah Kakung dirawat di rumah sakit. Mbah Kakung akhirnya pergi setelah anak terakhirnya mengikhlaskan kepergiannya. Maka sore itu, Bapak, saya, dan kakak berdoa bersama didepan ibu yang sudah tak lagi sadar. Saya adalah anak Ragil (anak terakhir). 

Saya cium telapak kaki ibu sebagai tanda bakti dan kerelaan bila ibu memang sudah tak kuat lagi. Dan benar, setelah itu kondisinya berangsur menurun. Tekanan darah dan detak jantung perlahan menurun. Ibu sepertinya tahu bahwa keluarganya sudah rela bila ia harus pergi. Pukul 00.10 tanggal 21 Maret 2016 dokter ICU meminta saya, kakak, dan bapak untuk masuk kamar ICU. Dokter mengatakan sebentar lagi ibu sudah tidak ada. Lima menit kami didalam. Setelah berhenti berdoa dan mengucapkan salam perpisahan, 

"Sugeng tindak Bu.. Sugeng nderek Gusti" (Selamat jalan Bu, Selamat mengikut Tuhan). Itu momen yang tidak bisa saya lupakan seumur hidup saya. Lalu detak jantungnya terputus. Dokter menyatakan dihadapan kami.

Pukul 00.15 Ibu meninggal dunia. Ia meninggal di usia 56 tahun. Meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Rupanya ia berlaku adil untuk kedua anaknya. Tak satupun pernikahan anaknya yang ia datangi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun