Menurutku 30 tahun adalah usia yang istimewa. Begitu juga seperti usia 20, 40, dan seterusnya. Mengapa? Karena kita memasuki angka yang baru yang genap, meninggalkan  angka-angka sebelumnya. Tapi apalah arti sebuah angka, bukan?
Bulan ini aku memasuki usia 30, kepala 3 katanya. Selamat tinggal usia 20-an. Selamat datang usia 30. Aku ingin hal yang spesial. Aku sudah menyiapkannya jauh-jauh hari. Aku memesan kue, memesan pernak pernik untuk dekorasiku. Ya, aku yang menyiapkannya sendiri. Aku tak ingin berharap kepada orang di sekitarku, bahkan ke suamiku sendiri. Aku takut kecewa berharap banyak kepada mereka. Jadi, biar aku saja yang menyiapkan semuanya. Jika mereka menyiapkan sesuatu untukku tentu aku akan tetap menerimanya dengan senang hati.
Beberapa jam sebelum hari ulang tahunku, aku bertugas seperti biasa, merawat orang yang sakit. Ruangan di rumah sakit penuh, banyak sekali yang sakit. Kasihan sekali mereka dan keluarganya. Semoga mereka segera diberi kesehatan.
Syukurlah aku sendiri sedang sehat, seperti mendapatkan mukjizat, sehat di antara banyak orang yang sakit. Mungkin ini juga salah satu hadiah dari Tuhan untukku menjelang usiaku yang ke-30. Terima kasih banyak Tuhan.
Setelah selesai bertugas, aku langsung pulang ke rumah. Hari itu rasanya lelah sekali. Tapi aku tetap semangat untuk menyiapkan ulang tahunku sendiri. Oya, suamiku tidak ada. Dia pergi. Katanya ada lembur. Untunglah sejak awal aku sudah memutuskan untuk menyiapkan semuanya sendiri tanpa bergantung dan berharap kepada siapapun. Sepertinya ini awal yang baik untuk menyambut 30 tahunku.
Ketika akan mulai mendekorasi, tiba-tiba pemberitahuan penting dari pekerjaan muncul di ponselku yang mengharuskanku untuk membuka laptop. Baiklah, aku selesaikan dulu tugas ini, baru lanjut mendekor, kataku.
Aku buka laptop, lalu kubuka aplikasi whatsapp. Ternyata masih whatsapp suamiku, mungkin ia lupa mengeluarkannya. Aku tak langsung mengeluarkannya, ada bisikan di hatiku untuk membaca pesan terbaru. Nama kontaknya seperti nama lelaki. Namun, ketika aku buka ternyata ia seorang wanita. Isi pesannya, mereka membuat janji untuk bertemu di suatu tempat. Tanganku langsung gemetar, dadaku terasa sesak. Aku coba menenangkan diri, aku atur nafasku, aku minum, aku basuh mukaku. Lalu aku coba lihat sekali lagi pesan itu. Aku tidak sedang bermimpi, ini nyata, ini kenyataan.
Tak pikir panjang, aku langsung menuju tempat itu. Sesampai di sana, di tempat parkir, ada helm milik suamiku. Aku beranikan diri untuk masuk. Aku cari suamiku di sana. Ternyata benar, ia ada di sana dengan beberapa temannya, berkaraoke ditemani perempuan-perempuan, bermesraan.
Mereka semua kaget dengan kedatanganku. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku kesulitan bernafas. Dadaku terasa sesak. Suamiku mengajakku keluar. Ia berusaha menjelaskan. Aku sudah tidak bisa mendengar dan bicara apa-apa.Â
Ternyata aku pingsan.