Mohon tunggu...
Linda Alfia
Linda Alfia Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa komunikasi penyiaran islam

Terus berjuang untuk menggapai impian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenang Tragedi Bencana Gempa dan Tsunami Aceh 26 Desember 2004

10 Januari 2020   15:12 Diperbarui: 10 Januari 2020   15:17 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bencana alam bisa terjadi dimana saja dan kapan saja, menimpa ratusan hingga ribuan korban jiwa, menyisakan puing-puing reruntuhan bangunan yang membawa tangis dan sesak saat mengingatnya, hingga menjadikan trauma bagi masyarakat Aceh hingga saat ini, begitulah yang dirasakan oleh korban tsunami di Aceh.

Masyarakat aceh sangat terpukul waktu itu, banyak anak-anak terpisah dengan orang tuanya, kehilangan tempat tinggal, menahan lapar dan dahaga, bahkan kerisis air bersih yang menyebabkan wabah penyakit gangguan pada kulit, seperti gatal-gatal, cacar air dan juga kudis.

Varia Desi adalah salah satu korban tsunami. Ia bercerita ketika tsunami terjadi, saat itu usianya masih 7 tahun, "saat sebelum terjadi tsunami tiba-tiba rumah saya tergoncang sangat kencang, saya kira itu apa, lalau ayah saya memberi tahu kalau itu gempa, kemudian ayah dan mamak mengajak saya untuk bergegas keluar rumah".

Gempa saat itu berkekuatan 9,5 magnetudo dengan kedalaman 25km dan sangat berpotensi tsunami, banyak bangunan-bangunan hancur, sampai jalan beraspal pun retak akibat kencangnya kekuatan gempa.

Varia melanjutkan ceritanya, "ayah dan mamak saya saat itu lari ke rumah nenek, dan mendengar teriakan air laut naik, air laut naik, bahkan ayah belum tahu bahwa itu tsunami, lalu kemudian ayah kembali ke rumah untuk mengamankan berkas-berkas penting. Belum sesampainya di rumah ayah saya melihat pohon karet yang terseret air, bahkan bukan itu saja, rumah, kendaraan, dan puing-puing bekas reruntuhan rumah juga terseret menjadi satu dengan air tsunami, dan ayah bergegas untuk mengajak kami menuju masjid dan langsung berlindung ke tingkat 2, bertujuan agar kami tidak terseret dengan air Tsunami".

Betapa dahsyatnya tsunami yang ada di Aceh waktu itu, sangat banyak memakan korban jiwa, hingga berhamburan mayat-mayat yang terseret jadi satu dengan air tsunami, sungguh itu memilukan bagi mereka yang telah kehilangan anggota keluarganya.

"Selama 1 bulan kami makan seadanya di posko dadakan yang di sediakan oleh warga desa yang tidak terkena air tsunami, setelah itu barulah datang bantuan dari luar daerah, bahkan dari luar negeri juga ikut menyalurkan bantuan untuk bencana tsunami Aceh. Kami diberi baju, beraneka ragam makanan, kebutuhan anak, pendidikan seadanya dari para relawan. Dan setelah beberapa bulan kemudian barulah bisa keluar melihat-lihat suasana kedesa yang lain", ujarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun