Mohon tunggu...
Alief Fikri
Alief Fikri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Endless Serendipity

Panjang Umur Perjuangan Sehat Selalu Kontemplasi

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Dalam Bayangan Tirani Mayoritas: Cerita Pelik dibalik Progresivitas

20 Januari 2025   02:40 Diperbarui: 20 Januari 2025   02:40 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bermula dari kecemasan lalu melahirkan pencarian. Tirani Mayoritas. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Alexis de Tocqueville dalam magnum opusnya "Democracy in America" (1835), Alexis de Tocqueville menggali  dinamika sosial dan politik di Amerika Serikat pada abad ke-19. Ia mencatat bagaimana meskipun negara tersebut menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan, pada kenyataannya, ada bahaya besar yang mengintai di mana ia mengamati bagaimana dalam masyarakat demokratis, meskipun prinsip kebebasan individu dihargai, mayoritas sering kali mendominasi keputusan-keputusan yang akhirnya menghambat mereka yang memiliki pandangan berbeda. Bagi Tocqueville, ini adalah fenomena yang menggambarkan bahaya sosial dari dominasi satu kelompok yang menghalangi kebebasan berekspresi bagi yang minoritas, terutama mereka yang berusaha membawa perubahan. 

Tocqueville mengamati bahwa meskipun masyarakat Amerika mengklaim kebebasan individu sebagai salah satu pilar utama, mereka yang memiliki pandangan berbeda atau yang berusaha mengubah sistem sering kali terpinggirkan. Dalam sebuah demokrasi, di mana kekuasaan seharusnya berada di tangan rakyat, mayoritas justru dapat menjadi kekuatan yang menekan minoritas. Ia menggambarkan bagaimana mayoritas sering kali mengambil keputusan yang tidak mempertimbangkan atau bahkan mengabaikan pandangan yang lebih kecil, tetapi berpotensi membawa perubahan positif.

Ia melukiskan kebebasan dan kesetaraan yang bisa disalahgunakan jika mayoritas menjadi terlalu dominan. Ia mengkhawatirkan bahwa dalam kondisi ini, meskipun individu memiliki kebebasan untuk berbicara, mereka yang tidak sesuai dengan pendapat umum akan merasa terisolasi atau bahkan tercekik oleh tekanan sosial. Menurutnya, meskipun kebebasan demokrasi terlihat seperti kemenangan besar bagi individu, dalam prakteknya, itu bisa berubah menjadi kekuasaan mayoritas yang membungkam suara-suara yang ingin membawa perubahan.

Di abad ke-20, banyak individu yang menjadi simbol perjuangan progresif yang terpinggirkan oleh dominasi mayoritas. Salah satu contoh yang paling mencolok adalah Galileo Galilei, ilmuwan Italia yang menemukan bahwa bumi mengelilingi matahari, sebuah teori yang menentang pandangan Gereja Katolik saat itu yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta. Galileo akhirnya dihukum dengan rumah tahanan seumur hidup, sebuah kisah yang menjadi contoh klasik betapa beratnya perjuangan individu melawan tirani mayoritas.

Namun, perjuangan ini bukan hanya milik masa lalu. Hari ini kita masih menyaksikan tokoh-tokoh yang memiliki pandangan progresif, namun kemudian terpinggirkan karena tidak dapat menemukan kesepakatan dengan mayoritas. Seperti Steve Jobs, yang awalnya terpinggirkan oleh rekan-rekannya sendiri di Apple, hanya untuk akhirnya kembali dan mengubah arah teknologi dengan revolusi iPhone. Tetapi, perubahan besar semacam itu sering kali datang dengan pengorbanan pribadi yang besar, dan tak jarang mereka yang berjuang untuk ide progresif harus menanggung rasa sakit akibat penolakan yang mereka terima.

Kisah seperti ini bukanlah yang pertama kali terjadi, dan tak jarang untuk tingkat mahasiswa, pelajar, atau anak kecil sekalipun merasakan sendiri dampak dari bagaimana pola mayritas ini menjamur---di mana suara mereka yang mengusung perubahan, mempertanyakan status quo, tidak dihargai atau bahkan dimarginalkan oleh mereka yang lebih suka dengan kondisi yang sudah ada. Seperti yang pernah terjadi dalam sebuah gerakan mahasiswa besar, Gerakan Reformasi 1998 di Indonesia, yang didorong oleh kalangan muda yang progresif. Meskipun memiliki semangat besar untuk menggulingkan orde lama, mereka terpaksa menghadapi sistem yang keras dan berlapis, hingga perubahan yang terjadi pun harus mengorbankan banyak pihak.

 Kisah lain yang sangat dramatis adalah kisah Greta Thunberg, seorang aktivis lingkungan muda asal Swedia yang memulai pergerakan "Fridays for Future" untuk menuntut tindakan nyata terhadap perubahan iklim. Ketika pertama kali memulai aksinya dengan duduk di luar parlemen Swedia pada usia 15 tahun, dia hanya seorang gadis muda yang dianggap aneh oleh banyak orang. Namun, berkat keteguhan hatinya, dia akhirnya menjadi ikon global dalam perjuangan melawan perubahan iklim. 

Kejadian-kejadian ini seperti mengingatkan saya pada kota kecil daerah Tangerang Selatan, dimana banyak orang yang berjudi dengan nasib mereka, terjebak pada komodifikasi moral, kemudian menjadi buta pada isu-isu progresif. Berdalilkan harmoni, kemudian akhirnya selalu berujung pada persekusi secara halus, tanpa rasa malu bahwa semua instrumen yang mereka gunakan sekarang adalah hasil keringat dari konsistensi berpikir progresif yang berorientasi pada maslahah. Apakah malu tidak punya tempat? 

Kadang-kadang, kita harus menyadari bahwa perubahan itu bukanlah hal yang mudah, apalagi jika perubahan tersebut bertentangan dengan kebiasaan atau arus utama yang sudah ada. Banyak orang yang berusaha membawa ide-ide baru, tapi seringkali mereka merasa terpinggirkan atau bahkan dianggap tidak realistis oleh mayoritas. Namun, perubahan yang besar sering kali datang dari hal-hal kecil yang dianggap aneh atau bahkan mustahil pada awalnya. Banyak dari kita yang lebih nyaman dengan status quo, dan perubahan sering kali dianggap sebagai ancaman atau risiko yang tak perlu.

Tapi, apakah perubahan selalu menjadi pilihan terbaik? Apakah kita benar-benar membutuhkan perubahan atau kadang-kadang lebih baik mempertahankan apa yang sudah ada? 

Perubahan, meskipun membawa potensi kemajuan, sering kali datang dengan tantangan yang tak terduga. Tidak sedikit orang yang merasa lebih aman dan puas dengan cara-cara lama karena mereka sudah teruji waktu dan terbukti "bekerja." Terkadang, perubahan justru membawa ketidakpastian, dan kita terjebak dalam dilema: apakah kita berani mengubah sesuatu yang sudah nyaman, atau kita memilih untuk tetap berada di zona nyaman meski mungkin tidak berkembang? 

Progresifitas itu penting, karena tanpa adanya perubahan, kita akan terus terjebak di tempat yang sama. Tidak ada salahnya untuk tidak setuju dengan apa yang telah ada, apalagi jika itu sudah tidak lagi relevan dengan kebutuhan zaman. Misalnya, ada banyak ide besar yang awalnya dianggap terlalu ambisius, seperti teori heliosentris Galileo yang bertentangan dengan pandangan gereja atau revolusi digital yang awalnya dianggap akan menggantikan banyak pekerjaan manusia. Namun, akhirnya, ide-ide itu menjadi langkah penting bagi kemajuan bersama. Terkadang, kita perlu berani untuk berpikir di luar kebiasaan, meskipun hal itu membuat kita terlihat berbeda atau bahkan kesepian.

Namun, itu bukan berarti kita harus selalu memilih perubahan. Beberapa perubahan memang bisa merusak tatanan yang sudah ada dan mengubah sesuatu yang mungkin lebih baik jika tetap ada. Ada kalanya, kita harus mengevaluasi dengan cermat apakah perubahan tersebut benar-benar membawa kebaikan, atau malah hanya sebuah pencarian kesempurnaan yang bisa jadi tak ada habisnya. Perubahan sering kali memaksa kita untuk keluar dari zona nyaman kita, dan tidak semua orang siap untuk itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun