Mohon tunggu...
Alief Fikri
Alief Fikri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pengamat Resiliensi

Untuk sekarang, masih menjadi Alief Fikri dengan semua bahan kontemplasinya.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Bertumbuh Hidup di Tanah Tandus atau Mati: Demokratisasi Ide

26 Januari 2024   23:37 Diperbarui: 26 Januari 2024   23:41 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rocky Gerung-Gita Wirjawan (Podcast Endgame)

Kalimat ini bukan permak kata untuk mendramatisir keadaan. Ia hanya konjungsi untuk mengantarkan kesadaran yang terpisah-pisah di setiap orang. Bahwa setiap proses manusia dalam menemui dirinya, mengembangkan potensinya, mengejar ambisinya, atau sekedar hidup begitu saja, adalah perjalanan yang mendebarkan. Dengan cara bagaimanapun insting setiap orang untuk mempertahanan kebutuhannya, termasuk salah satunya menutup kesempatan orang lain dengan membatasi kesempatan itu hanya untuk pot-pot subur saja. 

Disini kita cukup dengan merasa haus, tanpa tersedia air minum yang berasal dari fasilitas. Semua yang memegang fungsional kuasa itu akhirnya tidak untuk kita yang belum cukup pandai dalam menguraikan keadaan. Ketika kita hidup di tanah yang cukup tandus dengan badai yang sesekali mampir meruntuhkan beberapa cabang yang telah menumbuhkan tunasnya. Kambium harus tebal. Rhizome harus tebal dan mengakar dalam. Semua itu dilakukan sekedar untuk bertumbuh di tengah tanah tandus yang tak pernah dihampiri oleh hujan itu. Kesadaran itu yang bertumbuh setelah mendengarkan cukup panjang dialog antar Gita Wirjawan dan Rocky Gerung di salah satu podcastnya. Bisa di tonton di sini. Sebagai manusia dengan instingnya dalam mempertahankan hidupnya, mereka akan melakukan beragam cara dalam menuju pada mengamankan apa yang menjadi kebutuhannya. 

Hanya saja dalam ruang publik, ruang pendidikan, dimana semua memiliki hak untuk memiliki rasa aman dalam mengutarakan ide dan mengaktualisasikan ide-ide yang hadir dalam pikiran-pikiran itu dibunuh dengan fungsional yang belum cukup subur untuk menghidupi mereka, atau orang-orang di sekitarnya yang secara tidak sadar mematikan nalarnya hanya karena waktu diskusi yang terbatas, kata-kata citra yang mengkungkung kebebasan intelektual seseorang, atau dengan sederhananya kita bisa membatasi ide itu hidup subur hanya dengan mengalienasi ide-ide yang jarang muncul dan tak terpikirkan oleh mayoritas sekitarnya. 

Tanah itu tandus. Ide akhirnya hanya menjadi barang rongsokan yang tak berharga di mata-mata kita yang tak bisa melihat itu sebagai hal yang sebenarnya sangat berharga, yang bisa jadi, berawal dari ruang publik sehat itu, terselamatkan ribuan manusia. Jrgen Habermas, filsuf dan sosiolog Jerman, dikenal sebagai salah satu pemikir terkemuka abad ke-20, khususnya melalui kontribusinya dalam memahami dan mengembangkan konsep ruang publik. Teori ruang publiknya menjadi landasan penting dalam pemahaman masyarakat demokratis dan partisipasi warga dalam kehidupan politik.

Pemikiran Habermas, terutama yang terungkap dalam bukunya "The Structural Transformation of the Public Sphere" (1962), mengenai ruang publik memulai pandangan baru tentang bagaimana masyarakat berinteraksi dalam ranah publik. Ia menekankan pentingnya ruang di mana individu dapat berdiskusi secara bebas, tanpa intervensi pemerintah atau kepentingan komersial yang mengaburkan proses demokratis.

Habermas mendefinisikan ruang publik sebagai tempat di mana warga dapat berkumpul dan bertukar ide melalui komunikasi rasional. Ini adalah wadah yang independen, bebas dari pengaruh eksternal yang dapat menghambat dialog bebas dan otentik. Ruang publik, menurutnya, memainkan peran vital dalam memastikan partisipasi warga dalam pengambilan keputusan politik. Meskipun konsep ruang publik Habermas memberikan pandangan ideal tentang partisipasi dan demokrasi, beberapa kritikus menyatakan ketidakmampuannya menanggapi dinamika sosial yang kompleks. Mereka menyoroti kelemahan teorinya dalam menangkap keragaman dan ketidaksetaraan yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks globalisasi dan perkembangan teknologi, konsep ruang publik Habermas menghadapi tantangan baru. Bagaimana peran internet dan media sosial dalam membentuk ruang publik modern? Apakah ruang publik masih bisa dijaga dari dominasi kepentingan komersial dan politik? Pertanyaan-pertanyaan ini memperluas ruang diskusi dan penelitian dalam mengembangkan dan mengaktualisasikan teori Habermas di era kontemporer.

Hari-hari yang berjalan dengan kompleksitas masalah yang ikut hadir dalam meramaikan ketamadunan manusia terus melahirkan langkah-langkah picik baru untuk sekedar membatasi pertumbuhan ruang seseorang untuk mengaktualisasikan apa yang diketahuinya. Perdebatan yang cukup panjang dalam melihat irisan-irisan yang terjadi ketika melihat orang lain bertumbuh dengan kemampuan dirinya, orang-orang yang bertumbuh dengan bantuan orang lain, atau orang-orang yang bertumbuh dengan menginjak kesempatan orang lainnya. Semuanya ada sebagai pelajaran tentang gaya-gaya manusia dalam bertumbuh dan berkembang. 

Ide-ide akan terus hadir dengan kombinasi ataupun rekombinasi dari variabel baru kemajuan zaman. Terlepas apakah demokrasi adalah barang terbaik untuk konstruksi masyarakat dimana ia hadir.

Semoga dimanapun kita bertumbuh, di tanah tandus, ataupun di pot-pot yang subur karena oligarki, kita terus membumikan ruang publik itu bisa diakses oleh semua orang. Sehingga semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk bertumbuh, dan mengubah nasibnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun