Mohon tunggu...
Alief Fikri
Alief Fikri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pengamat Resiliensi

Untuk sekarang, masih menjadi Alief Fikri dengan semua bahan kontemplasinya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dilema Teknokratisasi: Menembus Batas Langit atau Membumi Turun dari Menara Gading

6 September 2023   22:22 Diperbarui: 6 September 2023   22:25 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
MPMFU JILID II - Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (Dokpri)

Izinkan saya menceritakan tentang penyesalan masuk UIN yang mengantarkan pada pilihan-pilihan yang sama-sama pahit hanya untuk berkembang dan bertumbuh dengan semua darah yang dihabiskan.

Kata penyesalan selalu identik dengan menegasikan suatu tempat atau unsur, padahal sebbenarnya penegasian suatu objek itu terlalu subjektif hanya dengan menilai dari melekatkan kata penyesalan. Neal Roese mengemukakan bahwa seorang ilmuwan di bidang psikologi sosial dan eksperimental, penyesalan adalah emosi negatif yang muncul karena ada proses penarikan kesimpulan atas informasi-informasi yang kontrafaktual. Penyesalan itu karena menghadirkan asumsi dan ekspektasi pada ruang yang keberadaannya sendiri fluktuatif dan tidak tetap.

Sebagai orang yang hidup dalam organisasi sejak 2013, organisasi menjadi cermin yang cukup besar dalam sepak terjang yang menjadi proses belajar untuk bertumbuh dan berkembang saya. Sampai ada candaan saya dengan beberapa pembina tentang adanya perbedaan produk antara produk pendidikan dari sistem kemendikbud dan adanya perbedaan produk pendidikan dari kemenag yang ketika dilihat sekilas memiliki hasilnya masing-masing. Penciptaan rahim dengan menciptakan suatu sistem yang menjadi tonggak untuk menumbuhkan peradaban manusia akan menyesuaikan dengan misi dari konsep dan arah dari jalan pendidikan itu.

Dalam hal ini, kampus sebagai ruang berdikari untuk bertumbuh dan berkembang manusia menjadi salah satu sorotan besar dengan menjembatani anak-anak untuk menemukan jati dirinya. Maupun menjadi alat pragmatis sekalipun.

Hidup terus berjalan. Teknologi semakin maju dan mempengaruhi setiap aspek kehidupan di setiap lapisan masyarakat. Sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan teknologi, apakah pada akhirnya kita manusia diperbudak oleh teknologi atau kita akhirnya menguasai teknologi untuk mendukung ambisi dan cita manusia?

Dalam konteks ini, dilema teknokratisasi adalah sebuah isu yang berkaitan dengan peran dan pengaruh teknologi dalam berbagai aspek kehidupan manusia, khususnya dalam hal pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik. Teknokratisasi dapat diartikan sebagai proses atau fenomena di mana teknologi menjadi faktor dominan atau penentu dalam pengambilan keputusan atau pengelolaan suatu organisasi, negara, atau masyarakat. 

Dilema teknokratisasi muncul karena adanya pro dan kontra terhadap penerapan prinsip-prinsip teknis atau ilmiah dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Di satu sisi, ada yang menganggap bahwa teknokratisasi dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, rasionalitas, dan objektivitas dalam pembangunan. Di sisi lain, ada yang mengkritik bahwa teknokratisasi dapat mengurangi partisipasi, demokrasi, humanisme, dan pluralisme dalam masyarakat.

Dengan narasi itu, saya bisa mengajukan beberapa pertanyaan. 

Apakah narasi teknokratisasi bisa didapatkan oleh semua orang yang hidup dalam organisasi? 

Pertanyaan ini membawa saya pada suatu kesenjangan yang cukup besar. Di sisi produktivitas dan penciptaan sistem yang bisa menjembatani pertumbuhan dan perkembangan manusia pada ruang universitas atau organisasi, hal ini bisa berdampak sangat baik mengingat efektivitas dan efisiensi ini memotong hal-hal tekhnis yang bisa mengakselerasi ruangan itu agar bisa mengkuti tuntutan zaman dan lingkungan. Di sisi lain, hal ini menjadi dilema yang sangat besar bagi manusia yang sudah masuk pada fase penjabaran abstraksi pada hal-hal tekhnis. Kurangnya ruang yang bisa memberikan tangga agar bisa menuju menara gading dan tak adanya ruang yang bisa menjembatani manusia agar bisa menjadi dirinya seutuhnya masih jauh dari kata maksimal untuk meningkatkan kapasitas otak dan memperluas lapang dada manusia dalam menghadapi pelbagai permasalahan zaman.

Hal ini juga bisa berkaca pada teknokratisasi formulasi kebijakan publik. Ini adalah sebuah proses di mana formulasi kebijakan publik dilakukan oleh para ahli atau birokrat yang memiliki pengetahuan dan keterampilan teknis atau ilmiah yang spesifik. Contohnya adalah formulasi kebijakan tentang penanganan pandemi Covid-19 yang melibatkan para dokter, epidemiolog, ahli kesehatan masyarakat, dan lain-lain. Namun, proses ini juga mengandung muatan depolitisasi yang sangat pekat karena dengan sengaja menjauhkan formulasi kebijakan dari keterlibatan masyarakat luas dan memiskinkannya dari debat ideologi dan pertentangan proyek politik yang berbeda2.

Kita dapat melihat bahwa dilema teknokratisasi merupakan sebuah isu yang kompleks dan multidimensi. Oleh karena itu, kita perlu mencari cara-cara untuk menyeimbangkan antara peran dan pengaruh teknologi dengan nilai-nilai sosial, politik, budaya, dan moral dalam masyarakat. Kita juga perlu mengembangkan keterampilan-keterampilan kritis dan reflektif untuk mengevaluasi dampak-dampak positif maupun negatif dari teknokratisasi.

Disksursus ini tentu saja menjadi salah satu langkah besar dimana ketika pada akhirnya saya mempertegas penyesalan saya untuk terus naik tahap pada tingkatan diskursus yang berbedan dan langit yang lebih tinggi, kemudian akhirnya mengurungkan diri sejenak untuk memaknai bahwa disposisi yang menjadi penyesalan ini menjadi rencana Tuhan yang tak bisa saya tolak keadaannya. Manusia yang merencakan, Tuhan yang menentukan. 

Pada akhirnya, hari ini kita dihadapi dengan masifnya perkembangan teknologi tapi tak diikuti dengan pertumbuhan human capital yang bisa menjawab persoalan zaman. Ini hanya soal peran yang diambil. 

Apakah aktualisasi ilmu itu berdasarkan pada tanggung jawab atau hanya sebagai alat untuk menaikkan derajat dan ego masing-masing? Silahkan dijawab sendiri


Panjang Umur Perjuangan. Sehat Selalu Kontemplasi.


Silaturahim di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun