Keviralan Gita Savitri Devi naik level berkat labrakan kepada netizen yang menilai dirinya paling benar. Saat itu, unggahan tentang pro LGBTQ+ juga menuai kontra. Beberapa keputusan Gita dalam rumah tangganya bersama Paulus Andreas Partohap Silalahi, juga menjadi topik yang panas hingga sekarang.
Bahkan, Gita semakin berani membuka pikirannya yang seolah-olah mentoleransi berbagai macam ‘larangan masyarakat dan agama'. Keberaniannya, dilatarbelakangi oleh pola pikir yang terbentuk sejak Gita bangkit dari keterpurukan keperempuanannya.Â
Namun, sangat disayangkan jika kamu sebagai netizen turut berkomentar begitu saja tanpa filter dan pengetahuan yang cukup terhadap keduanya. Terutama pada alasan yang melandasi pola pikir Gita. Berikut pola pikir Gita Savitri Devi (Gitasav) yang dapat kamu pelajari secara singkat.
1. Feminis liberal
Penekanan terhadap kebebasan manusia tanpa terkecuali, dengan dalih yang terpenting tidak merugikan orang lain dan lakukan yang ‘baik' menurut individu, menyebabkan feminis liberal seperti Gitasav kerap mentoleransi hampir seluruh aspek kehidupan. Sebenarnya, feminisme memiliki banyak mahzab atau aliran di dalamnya. Salah satunya aliran feminis liberal.
Kritikan-kritikan feminis liberal telah terjadi sejak abad 18 di negara-negara Eropa, yang sangat berpengaruh bagi pemikiran-pemikiran para perempuan Indonesia yang disodori aliran ini. Beberapa pemikiran tersebut adalah menganggap perempuan itu sama. Dengan demikian, pemeluk aliran ini kerap mendukung PSK (Pekerja Seks Komersial), LGBTQ+, dan hampir semua kegiatan perempuan untuk berdikari sembari melepas semua stigma.Â
Di sisi lain, feminis liberal telah memperjuangkan hak-hak perempuan setara dalam pendidikan, politik, dan hukum serta menentang keras patriarkisme terutama subordinasi perempuan dalam rumah tangga.
2. Critical thinkingÂ
Gita seorang perenung (critical thinker) yang berhasil mengambil keputusan-keputusan kontroversial atau setidaknya menguntungkan bagi diri sendiri. Dalam beberapa kasus yang pernah disampaikan, Gita melihat ibunya sebagai perempuan narsistik. Psikologi menilai narsistik sebagai bentuk percaya diri berlebihan yang menimbulkan kurangnya empati pada diri seseorang. Hal ini dilakukan untuk menutupi keadaan mental pelaku yang rapuh.
Selanjutnya, Gita merenungi sifat ibunya yang menutupi banyak hal untuk menunjukan kekuatan dan kekuasaan seorang ibu kepada anaknya. Tidak memberi ruang privasi, menuntut keegoisan kepada anak, dan tidak memiliki alasan kuat untuk memiliki anak merupakan hal yang tidak rasional untuk menjalani hidup sebagai manusia.Â