Resesi: Perekonomian yang memburuk terlihat dari Produk Domestik Bruto (PDB) negatif, pengangguran meningkat, dan pertumbuhan ekonomi riil negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Kabar resesi gelap telah mendunia dan membanjiri banyak portal berita. Mulai diperkuat dengan argumen para ahli, menteri, dan influencer yang semakin memperciut nyali masyarakat dalam perputaran ekonomi. Masyarakat semakin kritis dalam berbelanja terutama di era pandemi Covid-19 yang belum rampung, ditambah dengan iklim politik negara yang semakin mencekam.
Hal ini pun memunculkan banyak korban Putus Hubungan Kerja (PHK) yang viral dilakukan oleh perusahaan start-up. Dengan demikian, angka pengangguran dan kemiskinan meningkat.
Lalu, kok bisa 2023 dianggap resesi gelap?
1.Harga Melambung
Pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina cukup memberi impak yang besar bagi inflasi. Begitu pula lockdown di Cina yang menganggu jalur perdagangan internasional. Lantaran, Cina sebagai salah satu pemasok ekonomi global dikabarkan akan melakukan lockdown kembali. Dengan berkurangnya suplai barang, tetapi permintaan barang naik, maka akan menyebabkan harga melambung secara signifikan.Â
Melangsir dari laporan proyeksi ekonomi global International Monetary Fund (IMF) pada Selasa (11/10/22), diprediksi bahwa 2023 perekonomian global akan dalam kuartal negatif. Hal ini juga sudah dirasakan masyarakat Indonesia seperti melambungnya harga BBM.
2.Investasi menurun
Investasi di tengah resesi akan membuat para investor berpikir ulang dan memilih dananya dialokasikan dengan aman. Investor dapat cenderung memilih menyimpan dana cash di tabungan pribadi atau memilih aset jangka panjang seperti emas maupun berinvestasi pada UMKM.
Namun, di tengah resesi gelap, Indonesia menjadi terang akibat penguatan nilai rupiah dan menggapai rekor penarik investor tertinggi.Â