Bicara soal politik tidak bisa lepas dari bicara rakyat, rakyat menjadi variabel utama, menjadi subjek dan objek, sebagai subjek rakyatlah yang menentukan pilihan atau sebagai penentu, dan sebagai objek rakyatlah yang akan menjadi sasaran bagi terwujudnya kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan, seringkali cara pandang seperti ini kurang disematkan kuat dalam personal seorang politikus, ini tidak ver, meski begitu banyak waktu, tenaga, fikiran, dan biaya yang dikeluarkan, ketika seseorang memutuskan untuk masuk dalam kancah politik, penyematan kuat bahwa rakyat adalah adalah segalanya adalah final dan mengikat, dan ini artinya seorang politikus bekerja, mengabdi, berjuang, dan mendedikasikan tenaga dan fikiranya hanya untuk rakyat, dengan meminjam istilah Gusdur "membela yang Benar".
Dalam demokrasi seorang politikus memang harus melewati banyak ujian dan tantangan yang dihadapi, mengikuti regulasi dan aturan yang sudah ditetapkan dalam kontestasi, meski demikian seorang politikus berlahan akan dapat mengikuti dan beradaptasi terhadap apa yang menjadi ketentuannya, meski demikian masing-masing politikus memiliki kemampuan dan ketrampilan yangÂ
berbeda antara satu dan lainnya, semua itu tergantung personal masing-masing termasuk nasip dan masa depannya, namun sepanjang rakyatlah yang menjadi variabel utama, maka disinilah yang menjadi titik kekuatannya, dan bila kurang kuat menyematkannya disini pulalah titik lemahnya.
Sepintas apa yang dikatakan Kyai Abdurahman Wahid (Gusdur) dengan istilah "membela yang benar " terasa seperti istilah biasa-biasa saja, namun setelah ditelusuri dan dianalisa secara mendalam dalam kontek demokrasi dan politik, jauh memiliki arti dan makna yang sangat mendalam, yaitu bahwa manusia itu memiliki sumber kekuatan akal dan nafsu, seseeorang yang mendayagunakan akal dan fikirannya dengan baik dan sebaik-baiknya sejatinya itulah manusia, dan sebaliknya apabila manusia lebih mendayagunakan nafsunya untuk keserakahan maka inilah ciri binanatang, dan bukan manusia.
Adalah tidak aneh jika kemudian yang terjadi dalam era demokrasi kita akan lahir istilah-istilah yang tidak enak didengar, seperti "binatang politik", tentu ini tidak kita kehendaki bersama, jika kemudian istilah "binatang politik" disematkan kepada seseorang, tentu ini tidak sesuai fitrah manusia itu sendiri, oleh karena itu marwah sebagai politikus haruslah dijaga, dirawat, sesuai fitrah kemanusiannya, selalu membela yang benar.
Terminologi penyebutan "binatang politik" ketika disematkan kepada seseorang tentu akan menjadi demensi buruk dan menjatuhkan seseorang kedalam jurang yang semakin dalam, dan tentu ini akan menjadi batu sandungan yang semakin sulit seseorang untuk mencapai tujuannya, disisi lain akan menjadikan arena perpolitikan kita semakin kental bernuansa prakmatis semata, seperti memperoleh apa, kira-kira kapan, dan bagaimana caranya,padahal jauh dari itu ruang-ruang dalam demokratisasi itu lebih mengusung paltform yang mensejahterakan, membawa kemakmuran, dan keadilan, yang dalam banyak hal membutuhkan interkoneksitas interaktif berdmensi kemanusian.
Dalam kancah dan potret perpolitikan kita khususnya menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden, para elit dan masyarakat hendaknya mampu membawa dan menciptakan kepada suatu keadaan yang membawa kepada masa depan yang lebih mencerahkan, dan bukan kepada keadaan yang suram, karena apapun rakyatlah yang menentukan itu semua, membela kandidat siapapun tentu sudah menjadi pilihan pribadi masing-masing seseorang, namun juga tidak dibenarkan dengan melakukan cara-cara yang tidak dibenarkan, karena apapun itu rakyatlah yang menentukan.
Aturan dan ketetapan yang sudah diputuskan hendaklah menjadi bagian penting yang harus diikuti, sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang ada, sesuai koridor hukum dan etik, bukan malah sebaliknya. kita berharap semoga pelaksanaan pemilihan umum dapat berlangsung dengan tertib aman, tentram, dan menghasilkan yang terbaik untuk bangsa dan negara, membawa kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan,amin.Â