Sesuai dengan singkatan dari OPEC itu sendiri (Organization of Petroleum Exporting Country), maka sudah tentu terbayang di benak bahwa negara-negara anggotanya adalah negara yang melakukan ekspor minyak bumi ke negara lain. Logikanya, ekspor terhadap suatu komoditas atau hasil bumi dapat dilakukan ketika memang kebutuhan suatu negara terhadap hasil bumi tersebut telah mencukupi bahkan melebihi kebutuhan domestik. Maka, ekspor pun dilakukan dengan tujuan menambah devisa negara.
Keputusan pemerintah rezim SBY pada 2007 silam untuk mengundurkan diri dari keanggotaan OPEC dapat dianggap tepat, jika dilihat pada alasannya, yakni berdasarkan fakta bahwa Indonesia bukan lagi negara pengekspor minyak, bahkan hasil riset dan studi ilmiah menunjukan bahwa cadangan minyak bumi saat ini juga berpotensi tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Berangkat dari hal itulah, maka pemerintah resmi keluar dari keanggotaan OPEC, serta segala hak dan kewajiban yang melekat sebelumnya menjadi tak berlaku lagi.
Namun baru-baru ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Gubernur Indonesia untuk OPEC Widhayawan Prawiraatmadja, mengambil langkah untuk kembali lagi ke dalam keanggotaan OPEC. Alasan yang dikemukakan juga membingungkan, yaitu untuk mengamankan sumber impor minyak mentah ke dalam negeri. Karena melalui PT Pertamina (Persero) saja, indonesia harus mengimpor 300 juta barel minyak mentah dan produk bahan bakar minyak (BBM) pada tahun ini.
Tentu hal tersebut tidak sejalan dengan visi negara-negara anggota OPEC yang memang adalah negara pengekspor, bukan pengimpor. Jika untuk mencari produsen dan penjual, tak perlu pemerintah kembali ke pangkuan OPEC. Alasan Tenaga Ahli Tim Harga Minyak Mentah Kementerian ESDM Maizar Rahman, agar indonesia mendapat harga yang lebih murah jika kembali ke OPEC -walaupun bukan sebagai eksportir- dianggap sebagai alasan yang spekulatif.
Menurut Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi Fahmy Radhi, anggota OPEC sendiri tidak memiliki dominasi dalam hal pengaturan harga. Selain itu, di setiap forum OPEC, hampir tidak pernah membahas tentang kebijakan impor. Hal itu tentu rasional karena memang OPEC adalah naungan bagi negara-negara eksportir minyak, bukan importir.
Setelah melakukan evaluasi, Anggota Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha, mengatakan bahwa konsekuensi kembalinya Indonesia menjadi anggota OPEC juga mengharuskan pemerintah kembali menunaikan kewajiban seperti anggota-anggota lain, yakni membayar iuran sebesar 2 juta euro/tahun atau sebanding dengan Rp 30 miliar/tahun.
Dari kaca mata awam, saya melihat kewajiban tersebut sangat merugikan, karena di sisi lain pemerintah tidak mendapatkan hak-hak sebagaimana diperoleh oleh negara-negara anggota laim yang memang masih aktif sebagai eksportir. Jika beberapa tahun silam, ketika Indonesia masih memiliki cadangan minyak bumi yang cukup untuk melakukan ekspor, maka kewajiban membayar iuran itu merupakan hal yang lumrah, karena ketika bergabung di OPEC, maka pemerintah tak akan kesulitan mencari calon pembeli dengan harga yang diharapkan. Hal itu telah diatur sedemikian rupa sehingga harga minyak yang dihasilkan oleh setiap negara anggota OPEC akan dihargai sama rata dan negara-negara anggota hanya perlu memasok ke OPEC, selebihnya untuk pemasaran dan penjualan adalah menjadi fasilitas/timbal-balik bagi anggota yang telah menggelontorkan dana untuk membayar iuran per tahun.
Lalu, sekarang pemerintah memaksa kembali masuk keanggotaan OPEC tanpa menyandang status eksportir, sehingga dapat dipastikan kita hanya akan membayar iuran wajib keanggotaan tanpa mendapat timbal-balik, hanya dengan secerca harapan dari para birokrat di Kementerian ESDM untuk mendapat harga yang lebih murah. Tentu kita hanya bisa berharap para anggota dewan yang mulia dapat mengawasi setiap kebijakan luar negeri pemerintah, seperti OPEC atau TPP atau sejenisnya. Jangan sampai pada kenyataannya kita hanya mendapatkan kerugian dari keikutsertaan tersebut hanya karena sifat "ikut-ikutan"!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H