Pecinan, Kembang Jepun, Surabaya Utara, tepatnya di dalam gang Slompretan No. 58, berdiri bangunan sederhana nan autentik dinamakan rumah Perkumpulan Hwe Tiauw Ka. Beberapa yang lain juga mungkin telah mengenali eksistensi perkumpulan ini sebab pernah melakukan penelitian atau sekadar berkunjung, namun, belum tentu semua warga Surabaya yang melewati Jl. Kembang Jepun pernah melewati tempat ini. Mayarakat awam mungkin beranggapan tempat ini sekadar bangunan bernuansa "cina", padahal terdapat warisan budaya yang sudah ratusan tahun dijaga dan dilestarikan di dalamnya. Lantas, siapakah orang-orang di balik pendirian perkumpulan ini, bagaimana mereka mempertahankan tradisi serta memberikan pengaruh terhadap perkembangan kota Surabaya? Dalam kunjungan yang dilaksanakan pada 2 Mei 2024, kelompok kami melakukan observasi dan wawancara langsung dengan Bapak Herman selaku pengurus organisasi untuk mendalami topik ini.
Bagi sebagian orang mungkin masih asing dengan perkumpulan leluhur Tionghoa tertua satu ini, terletak di kawasanPesona rumah Perkumpulan Hwie Tiauw Ka terdapat pada arsitekturnya yang mencerminkan prinsip tradisional Tiongkok. (Khusaini, 2024) dalam Jawa Pos menuliskan, di kawasan itu ada Rumah Abu Han, Abu The, dan Abu Tjoa, kelenteng, tetapi bangunan perkumpulan Hakka yang paling terawat (wawancara dengan Fredy H. Istanto. Dosen Arsitektur Interior Fakultas Industri Kreatif Universitas Ciputra]. Salah satu organisasi ruang khas tradisional Tiongkok adalah courtyard atau ruang terbuka, di rumah perkumpulan ini ruang terbukanya terdapat di sisi kanan dan kiri sebagai penyinaran dan sirkulasi udara. Hal ini sesuai dengan kepercayaan masyarakat Tionghoa terhadap Feng Shui (Widayati dalam Khaliesh, 2014).
Pak Herman sendiri menuturkan, seluruh ornamen di rumah ini sangat dijaga keotentikannya, berbagai proses renovasi dan pengecatan ulang dilakukan dengan mempertahankan motif dan warna asli. Sejak berdiri hingga kini, perkumpulan ini tidak pernah pindah alamat dan menjadi perkumpulan tertua di Indonesia. Kendati demikian, Pak Herman belum bisa memastikan apakah dapat dikatakan sebagai yang tertua pula di Asia Tenggara. Setelah penulis menelusuri, rupanya Kota Palembang-lah yang menjadi tempat pemukiman etnis Cina pertama di Asia Tenggara, yaitu sesaat setelah Kerajaan Sriwijaya runtuh dan jatuh ke tangan etnis Cina (Nuralang, 2002). Hal ini mungkin mengejutkan, namun jika kita menilik ke masa lampau, etnis Tionghoa ternyata sudah mengincar Nusantara sebagai tujuan migrasi mereka untuk penghidupan yang lebih baik.
Golongan sub-etnik yang cukup dominan pada masa itu diantaranya Hokkien, Hakka, Teo-Chiu, dan Kanton, dimana keempat sub-etnis ini pun berasal dari wilayah yang berbeda-beda. Hakka sendiri berasal dari Cina Selatan, provinsi Gungdng Shng (). Hakka disebut sebagai "The guest family ()" sebab mereka datang dari Cina Utara yang bermigrasi ke selatan pada masa jatuhnya Dinasti Han Selatan sekitar 700 tahun yang lalu (Vizal, 2020). Pernyataan ini selaras dengan anggapan bahwa setiap wilayah yang dikunjungi orang Hakka sudah memiliki penduduk asli yang menetap, dari sinilah istilah "tamu" tercetus.
Migrasi etnis Cina terjadi begitu masif setelah terjadinya Perang Candu (1839-1842) dan pemberontakan Tai Ping (1851-1865) yang menyebabkan hancurnya perekonomian di Cina Selatan (Nuralang, 2002). Orang-orang Hakka sendiri pertama kali merantau ke Hindia-Belanda pada abad ke-19, mereka menyebar ke Bangka Belitung, Kalimantan Barat, hingga Jakarta. Ambisi mereka untuk mencari mata pencaharian dengan upah yang banyak dikuatkan dengan peraturan pemerintah kolonial Belanda bahwa orang Cina mempunyai kedudukan lebih tinggi dari orang pribumi, membuat orang Hakka semakin menyebar di beberapa kota besar seperti Medan dan Surabaya. Di Surabaya sendiri mereka bermukim di kawasan Kembang Djepoen, dan dari sinilah asal muasal rumah Perkumpulan Hwie Tiauw Ka berdiri.
Pak Herman menjelaskan dalam wawancaranya, rumah ini dibangun pada tahun 1820 sebagai tempat persinggahan dan penginapan orang Hakka yang merantau. Seperti yang bisa dilihat, lokasi Jl. Slompretan ini sangat dekat dengan Pasar Bong. Dalam bahasa Hokkien, Bong berarti makam Cina, lokasi ini dulunya adalah perkampungan yang dekat dengan komplek makam, maka dari itu rumah Perkumpulan Hwie Tiauw Ka diperuntukkan sebagai tempat pengurusan jenazah. Anggota komunitas ini ada 700 lebih, jika ada anggota keluarga yang tidak mampu, pihak pengurus akan mmebantu segala prosesinya mulai dari peti mati, kremasi, dan persemayaman tanpa biaya, adapun di bagian belakang terdapat arca leluhur, ini adalah cikal bakal para pendahulu. Pak Herman menekankan bahwa komunitas ini tidak berarti terikat agama, politik, atau komersil. Tempat ini bukan kelenteng ataupun tempat ibadah, sementara itu bangunan di depan nya adalah kelenteng yang menyembah dewa atau dewi. Orang-orang Perkumpulan Hwie Tiauw Ka sangat menghormati jasa leluhur yang sudah membopong sumbang bangunan ini. Selanjutnya, Pak Herman menjelaskan mengenai satu dinding dimana terdapat foto mantan-mantan ketua yang sudah mendiang. Ketua perkumpulan disini dipilih setiap 3 tahun dengan masa jabatan maksimum 2 periode.
Masih terkait dengan prosesi penghormatan leluhur, generasi penerus Hakka juga menjalankan beberapa tradisi yang dilaksanakan dua kali dalam setahun yaitu Festival Cheng Beng pada bulan April dan Festival Dongzhi pada bulan Desember. Menurut Pak Herman, tujuan Festival Cheng Beng, atau Qing Ming, adalah untuk menghormati dan mengenang para leluhur yang telah meninggal. Untuk Festival Dongzhi, yang dilakukan di Tiongkok pada musim dingin, disini biasa disebut dengan ronde-an karena orang-orang memasak wedang ronde, ada pula hidangan sup daging kambing, semua ini disajikan agar badan bisa tahan dingin. Terdapat juga perayaan asli etnis Tionghoa lainnya, Imlek dan Bakcang, tetapi di rumah Perkumpulan Hwie Tiauw Ka, mereka tidak dirayakan dalam bentuk upacara resmi, melainkan hanya sekadar kongkow. Bukan seperti Festival Cheng Beng dan Dongzhi, di mana orang membakar sesaji dan uang kertas menggunakan tungku.
Selama berlangsungnya gelombang imigran dari tahun 1850 hingga 1930, etnis Hakka adalah yang paling miskin di antara para perantau etnis Tionghoa (Restiatih dalam Pratiwi, 2015). Orang-orang Hakka ini dikenal dengan etnis yang tergolong ekonomi rendah pada saat mendarat di daratan Surabaya bukan seperti etnis Hokkien yang tergolong ekonomi tinggi karena memiliki predikat pedagang (Pratiwi, 2015). Sehingga meskipun telah berusia 204 tahun, pembangunan rumah perkumpulan ini dahulunya melalui masa sulit, bahkan sempat mangkar karena alasan biaya. Meskipun demikian, tak pernah luntur semangat para generasi penerus dari tahun ke tahun mengingat  pengorbanan nenek moyang untuk meneruskan organisasi di bidang sosial. Untuk meneruskan budaya Hakka, pada tahun 2008 dibuka kursus bahasa Hakka. Divisi Kepemudaan pun dibentuk guna menggalakkan pembinaan generasi penerus. Selain itu, setiap tahun selalu menghimpun muda-mudi untuk berwisata ke Tiongkok atau Taiwan, agar mereka dapat merasakan dan mempelajari budaya Hakka secara langsung (Chandra & Christiana, 2013)
Dalam perkembangannya pula mengalami pasang surut, terlebih pada masa orde lama dan orde baru dimana pemerintah sangat membatasi aktivitas kaum Tionghoa, yang hanya memperbolehkan untuk sembahyang dan menganggap orang-orang perkumpulan ini berstatus WNA. Mengutip (Maghfiroh, 2014), Perkumpulan Hwie Tiauw Ka Surabaya pada tahun 1950 membuka sekolah yang diberi nama Qiao Nan, yang berada di jalan Bakmi Surabaya, yang sekarang berganti nama jalan Samudera Surabaya. Siswa hanya dari kalangan orang Hakka saja. Bangunan sekolah khusus Hakka di Surabaya ini hanya berlangsung selama 8 tahun saja dari tahun 1950 sampai tahun 1958. Sekolah ini ditutup tahun 1958 oleh pemerintah Orde Lama dikarenakan alasan politik. Hal ini dikaitkan dengan sebutan sayap kiri dan kanan. (wawancara Ibu Elisa Christiana, 11 Mei 2013).
Pak Herman memaparkan, selain membantu sesama etnis Hakka, perkumpulan yang memang terbiasa bergerak di bidang sosial ini juga mulai membantu masyarakat sekitar dengan membagikan sembako dan obat-obatan gratis. Selain itu juga menyalurkan sumbangan untuk setiap korban bencana alam sprti gunung meletus dan banjir. Proyeknya yang paling besar adalah menandatangi MoU dengan PMI Surabaya dengan mengadakan donor darah rutin setiap tiga bulan. Contoh sumbangan yang diberikan adalah  Blood Refrigerator (atau disebut jg Blood Bank) yaitu lemari penyimpanan atau pendingin darah yang dikenal bernilai jual mahal. Bentuk dedikasi yang mulia ini pun akhirnya mendapat penghargaan.