Lembang, Bandung - Pada 11 Desember 1997, Sebuah kesepakatan negara-negara lahir di Jepang. Kesepakatan ini bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang dirasa akan mengancam kestabilan iklim dunia di masa yang akan datang. Dengan kesepakatan ini, seluruh negara penyumbang gas karbon dioksida bertekat untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, gas dan batu bara. Kesepakatan ini, disebut sebagai Protokol Kyoto. Protokol Kyoto adalah sebuah traktat internasional yang memperpanjang Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB untuk mengurangkan emisi gas rumah kaca. Ia berdasarkan konsensus ilmiah yang menyatakan bahwa pemanasan global disebabkan oleh emisi CO pada atmosfer Bumi.
Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangkan emisi karbon dioksida (CO2) dan enam gas rumah kaca lain, yaitu metana (CH4), dinitrogen monoksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC) , perfluorokarbon (PFC), belerang heksafluorida (SF6), dan nitrogen trifluorida (NF3), atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan perubahan iklim.
Protokol ini dinegosiasikan di Kyoto, Jepang pada bulan Desember 1997, dan dibuka untuk penandatanganan pada 16 Maret 1998, dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004.
Tahukah Anda bahwasanya hal ini sangat diperlukan bagi masa depan? Dampak dari emisi gas rumah kaca ini dapat kita saksikan sekarang. Berdasarkan data dari BMKG menyebutkan, suhu udara rata-rata bulan September 2023 adalah sebesar 27.0 C. Untuk wilayah Indonesia secara keseluruhan, tahun 2016 merupakan tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0.6 C sepanjang periode pengamatan 1981 hingga 2022. Tahun 2022 sendiri menempati urutan ke-13 tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0.2 C, sementara tahun 2020 dan 2019 berada di peringkat kedua dan ketiga dengan nilai anomali sebesar 0.5 C dan 0.4 C.Â
Sebagai perbandingan, informasi suhu rata-rata global yang dirilis World Meteorological Organization (WMO) di laporan terakhirnya pada awal Desember 2020 juga menempatkan tahun 2016 sebagai tahun terpanas (peringkat pertama). Â Lalu, bagaimana kita bisa membiarkan tahun-tahun berikutnya semakin parah sementara yang kita inginkan adalah kehidupan terbaik bagi generasi berikutnya? Mari kita coba untuk menelusuri bagaimana yang sebenarnya terjadi.
Setelah Protokol Kyoto, pada tahun 2015 muncullah Paris Agreement yang memperkuat komitmen dunia mencegah pemansan global. Persetujuan ini mengawal negara-negara untuk mengurangkan emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lain untuk membatasi pemanasan global kepada "cukup di bawah 2,0 derajat Celsius" Berdasarkan survei dari Greenpeace Indonesia, 5 tahun Perjanjian Paris, Indonesia memperburuk krisis iklim. Bagaimana tidak, sampai saat ini saja, degradasi lahan hutan hujan tropis terus meningkat. Ditambah lagi dengan kejadian terbakarnya hutan dan lahan (Karhutla) di Pulau Sumatera semakin tak terkendali. Sebanyak 1816 titik panas sebagai indikasi kebakaran lahan tersebar di 8 provinsi di pulau Indonesia bagian barat itu pada 9 Oktober 2023.Â
Selain kebakaran hutan, pada sektor energi, pembangkitan listrik masih didominasi tenaga batu bara. Menurut The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), pada 2030, penggunaan batu bara dalam pembangkit listrik harus turun sebanyak 80% dari posisi 2010. Sementara Indonesia berencana menambah kapasitas PLTU batu bara baru sebanyak hampir dua kali lipat dari kapasitas beroperasi saat ini, di mana semua PLTU baru tersebut akan dibangun dalam satu dekade (2019-2028) mendatang.Â
Maret 2021, Pemerintah Indonesia berencana mengganti seluruh sumber energi listrik berbahan batubara dengan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) pada periode 2030-2060. Padahal, untuk mencegah kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius penggunaan energi listrik berbahan bakar fosil harus dihentikan pada tahun 2021. Jika kita tidak ingin di tahun 2050 suhu bumi berubah menjadi 50 derajat celcius, maka pencegahannya dapat berupa usaha untuk peralihan sumber energi. Dari yang awalnya BBM menuju ke BEV (Battery Electic Vehicle).
Data dari Our World in Data pada tahun 2020, penggunaan bahan bakar banyak yang bersumber dari minyak bumi sebesar 33,1%, batu bara 27%, sementara untuk gas bumi sebesar 24,3%. Itu dunia, bagaimana dengan Indonesia, negara yang kita cintai ini? Faktanya, Indonesia termasuk ke dalam deretan negara penghasi sumber data energi yang besar terutama bahan bakar minyak yang bersumber dari pertambangan. Alhasil, batu bara adalah penyumbang sumber bahan bakar paling atas dengan 44%, disusul minyak bumi 32%, dan gas bumi 20%. Ini menunjukkan bahwa pemakaian minyak bumi dan batu bara di negara kita melebihi penggunaan dunia. Oleh karena itu, diperlukan peralihan sumber energi.
Dengan diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada November 2022 di Bali, sekaligus memangku presidensi memberikan manfaat yang optimal bagi Indonesia dalam konteks mempercepat transisi energi dari bahan fosil menuju bahan bakar ramah lingkungan dengan mengedepankan prinsip Transisi Energi Berkeadilan yakni transisi energi yang mampu mengatasi tiga tantangan berupa pengangguran, degradasi lingkungan, dan ketimpangan sosial-ekonomi.