Meski begitu, aku toh manusia biasa. Aku bukan dewa atau malaikat yang bisa menerima kondisi apa pun. Nah, dalam mengurus emak ini, kadang aku tak bisa mengelaki perasaan lelah, kecewa, mangkel, jengkel, atau bahkan marah. Itu terutama manakala emak berulah aneh-aneh. Misalnya emak seperti sengaja buang hajat di celana gara-gara aku tak mengabulkan permintaannya dibelikan es krim. Kataku, es krim tidak baik buat kesehatan orang tua seperti emak -- antara lain bisa bikin mencret-mencret. Eh, beberapa saat kemudian emak melepas hajat mencret di celana. Seolah-olah emak ingin mengatakan bahwa tanpa makan es krim pun orang bisa mencret dan kedodoran beol di celana.
Di lain waktu, emak mengomel-ngomel gara-gara aku telat menyiapkan sarapan untuknya. Seolah-olah aku tak menaruh perhatian lagi kepada emak. Padahal soalnya semata tukang bubur langganan terlambat lewat.
Emak juga suka berantem dengan anakku yang notabene masih bocah. Berantem rebutan remote televisi. Dua anakku ingin menonton film kartun, sementara emak tak ingin menikmati tayangan reality show yang menghiba-hiba itu. Dua-duanya tidak mau mengalah. Nah, kalau dengan sehalus dan sebijak mungkin aku memilih berpihak kepada anakku, emak ngambek. Dia lantas mengurung diri di kamar sampai pagi menjelang. Mogok makan. Juga seperti sengaja ngompol di tempat tidur. Â
Pernah pula emak beberapa kali membuat aku sakit hati. Ya, sakit hati. Emak diam-diam pergi ke tetangga, lalu mengata-ngatai aku sebagai anak yang menelantarkan orangtua. Kepada tetangga, emak juga meminta makan. Dia beralasan, hari itu aku tidak memberi emak makan gara-gara semalam emak ngompol di kasur. Emak juga berceloteh bahwa aku tidak pernah memberi makan secara layak. Makanan yang kusuguhkan, katanya, selalu makanan sisa yang sudah basi.
Di lain kesempatan, emak juga berceloteh kepada tetangga bahwa aku menghendaki emak cepat mati. Emak berdalih bahwa aku tak pernah mau tahu manakala emak terbaring sakit. Jangankan membawa emak ke dokter atau rumah sakit, katanya, bahkan sekadar membelikan obat warung pun tidak.
Aku benar-benar syok dan sakit hati mendengar info seperti itu dari tetangga. Tapi aku yakin, tetangga tak percaya begitu saja terhadap omongan emak. Mereka tentu melihat sendiri bagaimana selama ini aku memperlakukan emak begitu baik dan telaten. Sama sekali aku jauh dari gambaran anak durhaka. Mereka juga pasti tahu dan mafhum bahwa kelakuan manusia tua dan pikun memang suka membual. Biasanya karena dia kecewa lantaran keinginannya yang kurang patut tidak dikabulkan.
Meski begitu, aku tetap dongkol setengah mati. Juga sakit hati. Ocehan bohong emak kepada tetangga benar-benar membuat aku seolah anak yang sungguh tidak berbakti. Seolah-olah aku anak yang telah begitu tega menelantarkan orangtua yang sudah uzur.
               ***
Aku pernah beberapa kali curhat kepada suami ihwal kedongkolan dan sakit hatiku oleh ulah emak ini. Namun dengan lemah-lembut, suami meminta aku agar bersabar dan tawakal. Menurut dia, perasaan itu harus dilawan oleh keikhlasan merawat emak yang suah uzur. Perasaan itu, katanya, adalah ujian. Mungkin ujian dari Allah SWT, mungkin juga ujian dari emak sendiri. Ujian yang akan membuat amalku merawat orangtua benar-benar beroleh keridhaan Allah.
Pernah pula aku curhat sekaligus meminta kepada Teh Susan, kakakku nomor tiga, agar menyambat emak untuk tinggal sementara bersama keluarganya. Sekadar agar aku bisa rehat sejenak dari keruwetan dan kelelahan mengurus emak. Tapi Teh Susan cuma angkat bahu. Dia beralasan tidak punya cukup waktu buat mengurus emak. Untuk mengelola butik khusus muslimah saja dia mengaku sudah kekurangan waktu.
Kakakku nomor dua, Kang Budi, juga mengelak mengambil alih sementara tanggung jawab mengurus emak ini. "Tak mungkin bisa kami merawat emak di sini. Mau ditaruh di mana? Buat kami sekeluarga saja, rumah ini sudah sesak. Tolong pahami," kata Kang Budi. Beranak lima plus seorang istri, kehidupan Kang Budi memang pas-pasan saja. Jadi, Kang Budi memang sangat beralasan mengelak menampung emak.