Mohon tunggu...
Asep Yayat
Asep Yayat Mohon Tunggu... -

Lahir dan besar di Bandung. Sejak 1995 "blusukan" di Jakarta, dan bermukim di Depok. Membaca dan menulis jadi kebiasaan sejak remaja. Beberapa kali memenangi lomba mengarang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

ONTOHOD

29 November 2016   20:01 Diperbarui: 29 November 2016   20:34 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setelah cukup lama ditunggu, bus kota itu akhirnya muncul juga. Seolah terengah di tengah riuh lalu-lintas yang terik dipanggang matahari, bus menepi dan kemudian berhenti di depan halte. Saya lihat, bus tak dijejali penumpang seperti saat jam berangkat ataupun bubar kantor.

 "Bulus, Bulus! Lebak Bulus!" teriak kondektur mewartakan jurusan yang dituju.

Saya bergerak cepat naik bus itu lewat pintu depan. Seorang penumpang lain berbuat serupa lewat pintu belakang, tempat kendektur menggelantung.

Di perut bus tak ada penumpang yang berdiri. Saya celingukan mencari-cari tempat duduk yang masih kosong. Ah, kursi di sisi kanan baris keempat dari depan masih menyisakan satu-satunya tempat duduk tanpa penumpang. Hup, saya bergerak gesit. Tak mau terdahului penumpang lain yang tadi naik lewat pintu belakang.

Alhamdulillah tempat duduk itu berhasil saya kuasai. Seorang lelaki bertubuh gempal dan agak kumal tak acuh saja saat saya menjatuhkan pantat di sampingnya. Sementara penumpang yang tadi naik lewat pintu belakang akhirnya berdiri bergelantungan di gang dekat tempat duduk saya. Orang itu tinggi, berkulit bersih, dan bertubuh atletis. Kumis tipis menghias bibirnya yang sedikit menghitam. Sementara rambutnya yang pendek dan klimis disisir ke belakang.

Bus bergerak lagi. Suara mesinnya menderum keras mengalahkan deru lalu-lintas kendaraan di jalan yang kebetulan siang itu tak dihadang kemacetan.

 Di halte berikutnya, empat penumpang naik lewat pintu depan -- dan entah berapa orang lewat pintu belakang. Salah satu yang naik lewat pintu depan adalah seorang wanita muda bertubuh sintal. Dia langsung memilih tempat -- berdiri menggelantung -- di ujung gang depan, dekat tempat duduk sopir.

 Mungkin merasa tak enak hati, atau boleh jadi juga karena halte

tujuannya sudah dekat, pemuda ceking di kursi paling depan berdiri dan memberikan tepat duduknya kepada perempuan sintal itu. Dia sendiri kemudian menggelantung persis di sisi kiri tempat duduknya semula.

 Melihat itu, lelaki gempal di samping saya mendengus sambil berbisik. "Lihat pemuda ceking itu. Dia ngasih tempat duduknya kepada perempuan itu belum tentu karena dia memang gentle," katanya. Jelas bisikan orang itu ditujukan kepada saya.

 "Maksud Anda?" ujar saya tak kuasa menahan heran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun