Sumber : http://laverne.edu
Membaca tulisan Pak Axtea yang berjudul "Kejujuran Sumber Kemakmuran Sebuah Negara" yang pada pada paragraf terakhir tulisan tsb. berbunyi "Kiranya, pantas kalau para pendidik di negeri kita terinspirasi oleh pendidikan di negeri Denmark ini dan memberikan kurikulum yang berisi Karakter, Perilaku dan Kejujuran sebagai landasan untuk membangun Indonesia yang kuat dan makmur." saya setuju sepenuhnya, malahan tidak cukup para pendidik secara formal akan tetapi orangtua juga harus lebih banyak mengambil porsi dalam memberikan pendidikan karakter kepada anak-anaknya karena bersama orangtua-lah mereka berinteraksi lebih lama dibanding dengan guru di sekolah. Sebagai ilustrasi rusaknya karakter ini saya ambil contoh bagaimana sebagian anggota masyarakat yang suka bertindak arogan begitu merasa bahwa dirinya lebih superior, entah karena kedudukan, kekayaan, kepintaran atau karena berkelompok. Kita kerap mendengar bagaimana siswa/mahasiswa baru di-bully oleh kakak kelasnya karena masalah sepele yang dibuat-buat, melihat seorang pejabat/hartawan yang bersikap pongah dalam gesture dan tingkah lakunya, dan yang lebih membuat miris kalau melihat iring-iringan motor gede di jalan atau bahkan iringan pengantar jenazah selalu minta prioritas jalan yang sangat sering terjadi sehingga dianggap biasa, padahal semua orang juga mempunyai kepentingan bahkan mungkin lebih penting dari urusan mereka-mereka ini, dalam hal ini bukan saya keberatan memberikan prioritas jalan akan tetapi cara mereka meminta kita berhenti dilakukan dengan cara yang sok penting dan sok kuasa dengan kadang-kadang membentak orang yang sedang berusaha menepikan kendaraanya. Melihat hal di atas saya beranggapan sepertinya mereka ini semua hanya “haus akan pengakuan” ingin diakui eksistensinya dengan demikian sesungguhnya di dalam dasar jiwanya merasa tidak eksis sehingga menghasilkan tindakan-tindakan seperti itu, padahal sikap seperti ini yang mendorong orang melakukan perbuatan tercela dan tidak mencerminkan sebagai orang yang berbudaya. Dalam beberapa kali melakukan perjalanan saya melihat bagaimana perilaku saudara kita yang membuat saya malu sebagai bangsa Indonesia, di Bandara Schiphol pernah melihat antrian yang tampaknya pejabat-pejabat dari Indonesia dengan masing-masing bawaannya menggunakan beberapa kereta dorong akan boarding ke pesawat, sekalipun jelas terbaca bahwa kereta dorong hanya boleh masuk sampai area tertentu tapi mereka terus membawanya masuk ke dalam sehingga diberhentikan oleh petugas (TSA) dan diperintahkan untuk menjinjing barang-barangnya, sesudah ditegur baru mereka menurut akan tetapi kereta dorong itu ditinggal begitu saja berserakan dan tidak mau walau hanya sekedar mendorongnya kepinggir agar tidak menghalangi jalan. Lalu pernah terjadi di sebuah Bazar Indonesia di Los Angeles dengan santainya seorang Ibu-ibu menyerobot antrean karena ingin didahulukan, ketika ditegor oleh sesama pengantre dengan enteng dia menjawab : “Enggak apa-apa nanti saya dilayani sesudah Bapak ini saja”, katanya sambil menunjuk orang-orang di belakangnya yang tadi didahuluinya. Kemudian juga pernah ketika transit di Qatar serombongaan orang yang tampaknya TKI (Tenaga Kerja Indonesia) naik ke pesawat dengan hiruk pikuk dan kebetulan mereka duduk di dekat saya, di perjalananpun masih sangat mengganggu kenyamanan penumpang lain dengan celotehan-celotehannya sehingga flight attendant menawari saya untuk pindah karena pesawat kebetulan agak kosong dan akhirnya saya pindah tempat duduk menjauhi mereka. Kemudian ketika pesawat baru saja mendarat di Jakarta banyak yang langsung berdiri dari tempat duduknya bahkan ada yang menghidupkan Ponselnya padahal pesawat masih taxi di landasan dan belum berhenti, sehingga lagi-lagi flight attendant, yang dari aksennya seperti warga Malaysia atau Singapura, disibukan dengan para TKI ini. Dari ketiga contoh di atas tampak sekali bahwa perilaku mereka tidak memiliki kebanggaan baik sebagai pribadi maupun sebagai sebagai bangsa sehingga tidak heran jadi mengundang cibiran dari bangsa lain termasuk dari saudara kita serumpun dan saya pernah merasakan getahnya. Mengapa kalau melihat perilaku orang-orang di luar sana perilakunya (attitude) lebih baik? bukan saya memandang segala sesuatu yang dari luar itu lebih baik akan tetapi kok rasanya di luar sana setiap orang saling menghargai dan tidak memandang status ataupun strata sosial, dengan orang yang tidak kenal sekalipun saling menyapa mengucapkan salam. Memang ada juga yang tidak demikian akan tetapi sangat jarang menemukan hal seperti ini. Kemudian apa yang salah dengan masyarakat kita? Apakah karena latar belakang pendidikan seseorang? rasanya tidak karena di Indonesia juga banyak yang berpendidikan S3 bahkan kalau sekedar S2 sudah sangat biasa dan banyak yang berprestasi di tingkat internasional, latar belakang agama? tidak juga karena di Indonesia mayoritas beragama, latar belakang ekonomi? malahan orang Indonesia kaya-kaya apapun bisa dibeli, dari segi peradaban/budaya? apalagi karena disaat Indonesia sudah membangun candi Borobudur orang-orang di Eropa sana masih di dalam abad kegelapan. Jawabannya bisa jadi karena tidak adanya rasa malu yang mendorong orang berperilaku demikian, seorang yang terbukti korupsi masih bisa senyum-senyum di depan kamera karena apapun yang terjadi mereka masih yakin akan selalu dihormati orang, tidak salah karena masyarakat kita masih silau dengan kekayaan atau jabatan seseorang, lihat saja perangkat hukumpun juga masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah, masyarakat kita masih menilai martabat seseorang itu dari kedudukan atau kekayaan sehingga menciptakan suasana yang membuat orang ingin seperti mereka dan mati-matian berusaha kalau tidak jadi pejabat maka harus kaya dan kalau bisa meraih keduanya agar dapat menunjukkan keakuannya, dan hal inilah yang mendorong mereka untuk melakukan jalan pintas dan berbuat korup. Teringat akan satu kata-kata bijak yang mengatakan “menjadi orang penting itu baik tetapi lebih penting menjadi orang baik“, salah satu ciri orang baik itu adalah bisa saling menghargai secara tulus dan juga bisa menghargai diri sendiri karena bagaimana orang lain akan menghargai kita kalau kita tidak dapat menghargai diri kita sendiri. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H