Mohon tunggu...
Achmad faizal
Achmad faizal Mohon Tunggu... -

Sosiologi Universitas Hasanuddin. Dapat berkorespondensi melalui achmadfaizalxxx@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membedah Realitas Masyarakat Teknologis dengan Pisau Analisis Om Marcuse

2 April 2018   11:27 Diperbarui: 2 April 2018   12:54 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source : www.debat.org

Ciri ketiga dari masyarakat teknologis adalah teknologi semakin mengarahkan dan menentukan arah kehidupan manusia. Misalnya, sebelum mengunggah sesuatu entah foto atau status, kita lebih memikirkan apakah akan mendapatkan like dan komentar yang banyak atau tidak (pertimbangan teknologis), ketimbang memikirkan apa tujuan dan kualitas unggahan kita. Sehingga pada akhirnya aplikasi media sosial lebih mampu menentukan editan foto apa yang akan kita unggah.

Kemudian contoh lain misalnya, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, tubuh dan jiwa kita nyaris dikontrol oleh teknologi bernama HP. Saat kita bangun tidur, hal yang pertama dilakukan adalah cek HP. Mau makan, belajar, rapat, nongkrong juga diselingi main HP dan pada akhirnya sebelum tidur juga main HP. Pola hidup seperti ini nyaris dilakukan oleh siapa saja yang menggunakan smartphone. Entah dia guru besar atupun buruh kasar, mahasiswa ataupun pedagang kaki lima, tatkala berada dihadapan HP, kita semua adalah "budak" nya.

Bahkan pada kondisi tertentu, seseorang dapat mengalami derita psikologis seperti merasa ada yang kurang, hampa dan jenuh jika sedikit saja ia jauh dari HP-nya. Oleh karena itu, sekiranya Abraham Maslow masih hidup, ia akan merivisi teorinya tentang piramida kebutuhan manusia dengan menempatkan smartphone berikut jaringan internet sebagai kebutuhan fisiologis (basic needs) manusia.

Kemudian ciri terakhir dari masyarakat teknologis adalah manusia semakin irasional secara universal. Sekilas pernyataan tersebut nampak ambigu sebab prinsip dasar modernitas adalah semakin modern seseorang (menggunakan teknologi mutakhir) maka semakin rasional corak berfikirnya. Tetapi di situlah letak kritikan Marcuse. Ia menganggap bahwa masyarakat modern yang tercerahkan oleh rasionalitasnya justru terjebak oleh rasionalitasnya sendiri sehingga modernitas hanyalah mitos (irasional) belaka.

Bentuk ambigu dari logika berfikir masyarakat teknologis adalah terjadinya kesatuan antara produktifitas dan destruktifitas, penindasan dan pembebasan, pembangunan dan pengrusakan. Misalnya produksi senjata nuklir dan tuntutan perdamaian atau pengembangan wilayah kota dan penggusuran rumah warga. Maka pada akhirnya yang tergambarkan dari wajah masyarakat teknologis adalah mereka rasional dalam hal detil (menggunakan teknologi mutakhir, efesiensi, pencapaian terukur, maksimalisasi profit) tetapi irasional dalam hal universal (meruntuhkan nilai kemanusiaan, mengganggu keseimbangan alam).

Lalu Apa Solusinya om Marcuse ?

Seperti sebelumnya telah dikatakan bahwa Marcuse sangat pesimis terhadap modernitas dan kemajuan teknologi modern, sehingga Ia menawarkan solusi radikal terhadap persoalan tersebut yakni mengkampanyekan "The Great Refusal" (penolakan secara besar - besaran). Apanya yang ditolak ?. yakni segala bentuk status -- quo atau establishment yang mapan atau minimal melakukan upaya kritik terhadapnya ; Kapitalisme, HAM, Demokrasi, Teknologi dan segala produk modernitas.

Dan satu - satunya kelompok masyarakat yang mampu mengemban misi ini bagi Marcuse adalah para kaum muda, mahasiswa, atau cendekia yang kritis. Melalui kekuatan intelektualitasnya, mereka diharapkan mampu melancarkan serangan kritis. Namun andai saja om Marcuse masih hidup dan menyaksikan bagaimana wajah para pemuda, mahasiswa dan kaum cendekia hari ini, tentu ia semakin pesimis terhadap modernitas.

Bukan karena tidak adanya lagi orang -orang yang kritis, tetapi dalam abad imperium citra hari ini, seringkali kita sulit membedakan mana yang murni kritis dan seolah - olah terlihat kritis. Yang dimaksud seolah -olah kritis adalah jumlah pencitraannya jauh lebih besar daripada perubahan yang diciptakan.

Wallahu a'lam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun