Tak absah rasanya jika telah berhijrah tanpa mengunggah foto diri dengan berbusana syar'i. Ada semacam tuntutan psikologis yang harus segera dipenuhi agar "aku yang berhijrah" dapat diketahui oleh teman sejawat. Kemudian tak maksimal raganya, jika tak membeli produk busana muslim keluaran terbaru. Seolah - olah hendak menegaskan bahwa terdapat tuntutan spiritual antara "aku yang berhijrah" dengan pakaian syar'i terbaru.
Syahdan, tak jarang kita berpapasan dengan perkumpulan ibu - ibu yang telah berbusana syar'i namun hanya diisi oleh pembicaraan dangkal tentang model hijab apa yang terbaru, gamis apa yang cocok dengan warna ini, itu dan seterusnya. Nyaris nihil kita bertemu dengan perkumpulan ibu - ibu berhijab yang sedang membahas sesuatu yang visioner, katakanlah merumuskan cara mendidik anak yang asketis misalnya. Maka bersyukurlah bagi individu yang hijrah dan tetap berada dikoridor yang benar.
Hijrah tata laku memang membutuhkan proses waktu yang panjang sebab ia menyangkut transformasi kesadaran yang berkelindan dengan nilai - nilai yang hendak dilembagakan kedalam kehidupan. Orang - orang yang terbiasa membuang sampah sembarangan misalnya tidak sekonyong konyong langsung berubah menjadi pribadi yang cinta kebersihan, meskipun ia telah menggunakan gamis dan kopiah setiap hari. Orang - orang yang terbiasa marah sejak kecil misalnya tidak ujub langsung berubah menjadi pribadi yang ramah. Semuanya butuh proses.
Maka sebagai catatan akhir, perubahan diri (hijrah) yang subtansial daripada eksistensial sepatutnya lebih dikedepankan. Apa guna telah berpakaian syar'i jika koleganya tidak aman dari lidahnya ?. Apa guna telah berpakaian syar'i jika ia asing dengan tetangganya yang ditimpa musibah ?. Bukankah Gus Dur pernah berpesan kepada kita bahwa "jika kau bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak bertanya apa agamamu".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H