Oleh : Achmad faizal
“Malam telah menunjukkan pukul 20.00 wita dan orang – orang di setiap sudut kota sedang sibuk menyiapkan aneka acara. Mulai dari pelacur hingga tukang cukur, dari balita hingga tua rentah, semua turut gembira menyambut momen pergantian tahun dengan gegap gempita.
Jalan – jalan semakin disesaki oleh kumpulan sampah berikut manusia, sementara di sudut lain, beberapa masjid mengeluarkan suara tausyiah dari sang penceramah sembari bermunajat kepada Tuhan agar di tahun yang akan datang, umat dijauhkan dari segala malapetaka.”
Sungguh malam itu dipenuhi oleh aktivitas paradoks yang saling mengisi dan menghiasi. Saya berkeliling menyusuri beberapa sudut dan lorong kota sembari menyaksikan berbagai aktivitas masyarakat yang tengah sibuk dengan masing – masing acaranya.
Sebenarnya perjalanan saya kali ini bukan tanpa tujuan, melainkan sedang mengantar penumpang ke tempat tujuannya karena berhubung saya adalah driver Grab. Selain itu, sebagai pengamat sosial amatiran, sesekali saya mencoba mendekati realitas yang saya jumpai dengan teori – teori sosial yang sebentar lagi membusuk di kepala saya.
Sesaat saya menyaksikan kelas sosial masyarakat seakan melebur menjadi satu. Musik, alkohol dan beberapa wanita seakan menjadi menu pesta yang patut dinikmati bersama. Selain itu, sampah sisa petasan yang bertebaran dimana mana dan polusi udara yang membuat langit memerah juga tak luput dari pengamatan saya. Tentunya fenomena tersebut bukanlah sesuatu yang baru sebab ia telah menjadi aktivitas tahunan yang membosankan.
Sungguh betapa candunya perayaan tahun baru itu. Barangkali kita telah bosan dengan format acara yang begitu – begitu saja tetapi toh faktanya kita tetap turut merayakannya. Maka mengajukan pertanyaan – pertanyaan sederhana terhadap berbagai aktivitas yang mengalami kekeringan makna bagi saya, kini menjadi penting.
Misal secara ontologis (hakikat), apa yang sebenarnya kita rayakan dari setiap momen pergantian tahun baru ?. Jika yang kita rayakan adalah momen perpindahan waktunya, maka sesungguhnya tak ada yang benar – benar baru. Sebab tahun baru hanya akumulasi waktu dari detik ke menit, menit ke jam, jam ke hari dan begitu seterusnya.
Kemudian, jika yang kita rayakan adalah proses penghayatan atas perpindahan waktunya, maka sekali lagi kita hanya terjebak pada satuan waktu. Sebab memaknai perpindahan waktu tidak perlu menunggu akhir tahun.
Belum lagi jika kita melontarkan pertanyaan – pertanyaan anak kecil semisal, apa relasi objektifnya antara meniup terompet, bakar petasan, bakar jagung, minum sarra’ba, dengan malam pergantian tahun baru ?. Apa hubungannya tahun baru dengan mengadakan pesta sex dan minuman akohol ?.
Sederet pertanyaan tersebut bukan sekedar menyoal hadist tentang tasyabbuh yang kini banyak digaungkan oleh aktivis dakwah yang nampaknya mereka juga tak paham realitas sosiologis persilangan budaya (akulturasi). Tetapi lebih kepada proses mencari esensi dari setiap aktivitas yang kita lakukan. Dan tentunya pertanyaan – pertanyaan anak kecil semacam ini cukup menggelitik bagi orang dewasa yang lebih paham tentang cara menggunakan waktunya.
Nasihat Heidegger Dalam Memaknai Waktu
Ada hal yang menarik tatkala kita berbicara tentang waktu secara filosofis terlebih dengan mengadakan perjumpaan gagasan bersama salah satu filsuf eksistensialis Jerman bernama Martin Heidegger. Dalam karyanya, Being and Time (Ada dan Waktu, 1927), beliau merumuskan 2 tipologi waktu yaitu innerzeitigkeit dan Zeitlichkeit.