Oleh
Achmad faizal
Jika dalam konteks dimensi pergerakan, Marx menggambarkan sejarah dunia sebagai sejarah pertentangan kelas, maka dalam konteks aktornya, Pram menggambarkan sejarah dunia adalah sejarahnya anak muda. Sebagaimana dalam karyanya "Anak Semua Bangsa", Pram berkata, "Sejarah dunia adalah sejarah orang muda, jika angkatan muda mati rasa, matilah semua bangsa". Sungguh, demikianlah kenyataan historis yang selalu tersingkap bahwa dalam setiap lipatan sejarah selalu terselip peran pemuda sebagai dalang perubahannya.
Mari membuka beberapa lipatan sejarah tersebut. Bukankah Konstantinopel takluk ditangan Muhammad Al Fatih, sedang usianya masih 24 tahun. Lalu Mesir punya Hasan Al Banna yang mendirikan Ikhwanul Muslimin, organisasi islam terbesar di dunia yang mampu melebarkan sayapnya di hampir 70 negara, sedang usianya saat itu masih 22 tahun. Di negeri Iran, ada Ali Syariati, seorang aktivis pembaharu islam modern yang mana pengaruhnya diakui tidak hanya oleh dunia barat tetapi juga dunia belahan timur.
Sementara, di bumi pertiwi hadir pula sederat kawula muda visioner yang namanya jarang diketik dalam buku -- buku sejarah anak sekolahan. Ada Tan Malaka sang penggagas pertama konsep Republik Indonesia yang ia tulis saat usianya masih 28 tahun. Ada Semaoen yang memimpin Sarekat Islam Merah, Ada D.N Aidit, Lukman, dan Njoto yang mampu memimpin partai Komunis terbesar di dunia diluar Uni Soviet, sedang usia mereka belum ada yang menginjak angka 32 tahun.
Maka sungguh tak dapat disangsikan jika rentetan pergerakan dan pergolakan nasional yang pernah tercatat oleh titah sejarah bangsa Indonesia diisi dan dihiasi oleh elan vital para pemuda. 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1977/78 dan 1998 adalah lini masa gemilang yang menjadi memori kolektif bagi para pemuda Indonesia yang lahir belakangan. Maka pemuda dikata cerdas tatkala ia mampu memetik buah manis sejarah tersebut dan menjadikannya sebagai asupan bergizi bagi kejumudan berfikir kita dalam mendesain kondisi ideal kehidupan sekarang dan masa yang akan datang.
Sumpah Pemuda dan Warisannya
Socrates - seorang filsuf yunani, pernah menitipkan petuah kepada kita bahwa hidup yang tidak direnungi adalah hidup yang tidak layak tuk dijalani. Oleh karenanya, dengan membiasakan aktivitas reflektif nan kontemplatif terhadap kisah -- kisah para pendahulu kita adalah suplemen tambahan bagi jiwa didalam proses menghayati dan melakoni kehidupan ini.Â
Salah satu kisah gemilang dalam sejarah bangsa Indonesia yang sering disuguhkan akan heroisme para aktornya adalah momen lahirnya sumpah pemuda. Meskipun kisahnya telah usang dimakan usia dan sinema film india, tetapi keluhuran marwah dan gelora semangatnya tetap hidup menginspirasi para aktvis (nikah) muda. Paling tidak ada dua warisan nilai yang patut kita rawat dari momen bersejarah tersebut sekaligus dijadikan sebagai standar nilai yang kiranya sangat relevan untuk memecahkan polemik kebangsaan kita dewasa kini.
Pertama, nilai nasionalisme. Nilai tersebut mengajarkan kita arti penting mencintai negeri ini. Ditengah ketidakberdayaan bangsa ini atas penjajahan dan penjarahan gaya baru (neo-kolonialisme) oleh para cukong, maka sederhana saja, apakah dengan merelakan asing mengeksploitasi sumber daya alam bangsa ini adalah wujud kecintaan kita atas negeri ini ?. Kedua, nilai persatuan. Nilai tersebut mengajarkan kita arti penting melebur identitas kesukuan, etnis dan golongan diatas kepentingan identitas kebangsaan. Rasa primordial yang tinggi dan syak wasangka yang berlebih antar sesama penduduk negeri adalah pintu gerbang menuju kegoyahan NKRI.
Syahdan, proses pemaknaan sumpah pemuda yang lahir pada 28 oktober 1928 silam sebagai kode persatuan bersama perlu untuk terus dilestarikan. Memaknai adalah proses menghayati, bukan sekedar memperingati terlebih terjebak pada acara- acara seremoni. Oleh karenanya, patut disadari jika yang dapat diwariskan oleh momen sumpah pemuda hanyalah gagasan - gagasan kritis, bukan jawaban praktis terhadap sebuah permasalahan yang faktualnya berbeda zaman.