Mohon tunggu...
Hajar Alfarisy
Hajar Alfarisy Mohon Tunggu... Petani - Menulis mengabadikan masa depan

Berjalan dalam kadar mengingat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Darwis dan Anak-anak Hujan

4 Januari 2016   20:03 Diperbarui: 4 Januari 2016   20:55 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Siapa yang bergerombol, berlari kecil riang di desa. Meliuk pada sela hujan. Melompat dan sesekali bergeser, kaki menjejak memahat tanah, melukis gemercik air. Tangan dibentang, sesekali wajah menengadah kelangit. Mereka menari bersama hujan, memekik tawa mengarungi desau hujan sore itu.

Seperti para darwis menari semazen, lewat tari dan musik tenggelam dalam lautan esoterik. Begitupula mereka, tenggelam dalam irama gerak dan nyanyian hujan yang eksotis. Tuhan telah menurunkan hujan, tempat menari dibawah langit. Mereka anak anak hujan, yang bersetia memadu kasih dengan isi cawan suci dari langit.

Segala sesuatu dialam ini senantiasa menari dalam harmoni, bernyanyi tanpa lidah, dan mendengar tanpa telinga ya, semua itu adalah berkah tak terhingga dari-Nya begitu tutur darwis masyhur Jalaluddin Rumi.

Bagi anak anak hujan, hujan merupa oase langit, tempat mulia beristrahat sekaligus tempat memintal baju langit. Sebab itu, anak anak menyenanginya. Hujan bukan untuk dihindari melainkan tempat mula berteduh memakai busana langit, tanpa payung diatas kepala, tempat bergembira menatap langit.

Hujan adalah tempat anak anak datang tanpa terpaksa, mengenal selain basah, juga keteduhan. Pada gerak bersama hujan, mereka menanam renung direlung esoterisme. Pula, menjaga hujan tetap ada dalam dimensi eksoterik agar dapat tumbuh menjadi darwis, menari disegala yang berguna.

Hujan itu bukan sekedar, tetapi pelangi kehidupan asali, ruang harmoni bagi sesiapa. Bagi anak anak hujan, segala kenangan tentang hujan jika dilupakan adalah “dosa”. Sebab, menjadi anak anak hujan adalah melatih diri menjadi darwis kecil. Ia mula keber- Tuhanan juga mula kemanusiaan.

Seorang pengembara mengatakan, “berbahagialah karena anak anak hujan”. Ditempat itu, kita yang haus menemukan sungai dari kejauhan melalui riak airnya, dari suara bebatuan yang menggelinding tak teratur sepanjang kedatangan hujan yang terjaga. Anak anak hujan mengerti, mereka mengirim pesan kehidupan bagi diri dan semesta raya.

Mungkin karena itulah, Sapardi Joko Damono dengan intuisinya menulis puisi hujan, “aku menulis surat kala hujan gerimis // ketika dua anak lelaki nakal // bersenda gurau dalam selokan dan langit iri melihatnya // Wahai dik Narti Kuingin engkau menjadi ibu anak anakku”.

Di kota, hujan adalah kutukan. Sebab, ia sering dimurkai oleh tua, muda dan anak anak. Disana, anak anak hujan merupa darwis kecil kala hujan tidak ditemui. Di jalan, di lapangan tak ada anak anak menari menjemput dan mengantar kepergian hujan. Di Kota, mereka mungkin tak tahu hujan datang bukan sekedar turun dan melintasi sungai. Memang hujan datang menenggelamkan kesempatan. Tapi lain sisi, ia datang memuliakan waktu.Ia mula sungai kesejatian. Kini, ketika hujan, selokan di kota bukan lagi tempat indah bermain dua muda mudi seperti kata Sapardi Joko Damono, bukan pula waktu tepat mengatakan wahai dik Narti kuingin engkau menjadi Ibu anak anakku.

Perihal hujan, bagi para darwis kecil di desa melupakan ritus menjemput hujan adalah dosa. Bagi anak kota, melupa hujan adalah pahala. Seorang teknokrat mengatakan, hujan adalah kendala, dimana waktu tak berguna, sebab beton beton hidup dan tertidur dikota ini. Seorang pengembara mengatakan, ada suatu saat dikota, mereka menginginkan kedatangan hujan, namun mereka hanya didatangi oleh keinginan.

Muhammad guru para darwis berujar, “berdoalah kala hujan datang. karena ia adalah waktu terbaik meminta kepada sang Pencipta”. Memang kini, kedatangannya disambut doa, tetapi bukan doa tentang kehidupan manusia. Hujan datang sebagai ancaman dan doa terbaik orang kota agar hujan mengakhiri dirinya membasahi bumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun