Munajat, didalamnya ada semesta harap  sekaligus kecemasan. Kepada yang kuasa, yang memiliki sang pendoa, manusia takluk.
Di balik - sang - Antah, ada kekuasaan besar. Tetapi, ia yang semesta itu, tak pernah menginginkan keseragaman. "kami jadikan kamu berbangsa - bangsa agar saling kenal mengenal".
Dikitab-Nya, Dia memulai percakapan tanpa menakut nakuti " bacalah dengan menyebut nama Tuhan yang maha kasih sayang".
Dibalik panggung yang ramai, yang Ilahi, di disergap tuntutan, "jika tak menunjukkan kekuasaan, Tak ada lagi yang menyembahmu". Monolog, para pemilik penyembah yang benar.
Diatas panggung itu, seoarang ahli teater, meneguhkan kekuasaan manusia, meminjam harap pada yang Ilahi. Sebab, katanya, tanpa kekuasaan ditangan mereka, "yang menyembah tak ada lagi".
Tapi, sepanjang sejarah, penyembahan tak pernah ditemui dalam keramaiaan, ia ditemukan pada tempat yang sunyi : batin.
Lalu siapa yang memastikan berhentinya penyembahan karena urusan kuasa.
Bukan siapa siapa....!!! Â mereka yang menentukan keberimanan karena pilihan politik, dari mulut yang suci, mereka berbicara tanpa takut " ini perang badar". Mereka begitu heroik, sebab yang satu dipimpin sang nabi, dan yang lain dipimpin Abu Jahal. Pemimpin mereka lakasana Nabi.
Ditangan mereka agama itu begitu remeh, Ke Ilahian yang manusiawi dicampakkan. Dan, sang ahli teater, berderai air mata, bermunajat menyemmbah kekuasaan, mereka bermunajat politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H