Saya tercengang, mata saya harus berhenti menatap beberapa tulisan media termasuk Tempo :Susi menangis ketika mendapat gelar Doktor Honoris causa, di Undip sabtu 3 Desember 2016. Bagaimana tidak, seorang perempuan dengan gelar“pembakar kapal ikan” tak mampu menahan laju air matanya ketika gelar itu disematkan kepadanya. Dalam hati ibu ini, ada luapan perasaan bahagia mungkin juga sedih. Tapi pasti , hanya seorang Susi yang memahami secara sungguh – sungguh suasana batin yang hadir dalam dirinya.
Susi merupa gerak gelombang laut, kadang tenang, kadangpula menjelma, berkecamuk lalu menggulung kapal kapal besar yang memasuki laut Indonesia. Susi membakar kapal – kapal ilegal asing yang menangkap ikan, membakar kapal kapal yang menggunakan pukat harimau, tak jarang dari kepal dari negara sebasar cina.
Sekali waktu ia berkata , kapal yang terbakar akan dijadikan monumen disini, tak boleh ada pencurian ikan. Pekerjaan besar dengan resiko besar, tetapi ia melakon diri dengan gelombang ketenangan.
Sekali waktu perempuan bertato ini berada di Kalimantan Timur dan mendengar ada informasi pencurian ikan oleh kapal asing. Jangan ada yang takut sergah perempuan ini. "Bikin saja operasi gabungan. Bawa lima kapal. Ajak aparat bawa senjata. Jadi satu, turun operasi. Bila tidak demikian, sulit membuat kapal dan nelayan asing itu jera. Akan habis kekayaan laut Indonesia dikuras terus oleh pihak asing. Sementara aparat yang ada tidak melakukan apa-apa".
Seorang Yudi latif melakukan interpertasi soal nilai nilai kebudayaan kepulauaan, tak lepas ia memaknai bagaiman laut adalah jembatan interaksi ke Indonesiaan. Laut membersihakn segalanya. Tanpa “laut “ Indonesia tak ada. Jauh lebih dari itu Susi memaknainya lebih dalam laut adalah harapan membangun ekonomi Indonesia. Karena itu dilaut harus kita yang menang “ sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai.
Wanita ini memang menakutkan, nampak sangar, tak jarang mendapat makian dari beberapa orang. Penampilannya yang nyeleneh, ia kadang tanpil merokok. Kadangpula latar belakang pendidikannya menjadi gunjingan; Susi hanya tamatan SMP. Ketika saya membakar kapal banyak orang mengatakan saya hanya pencitraan, ketika saya tak berbuat saya dibilang menteri yang tak mampu bekerja. Tetapi kita harus benar benar menaruh hormat, dipodium saat gelar Honoris Causa ia dapat, airir matanya menggenang didua sudut matanya airnya menuruni wajahnya.
Susi adalah inspirasi, tangisannya bukan tangisan dari orang yang menunjukkan kekalahannya. Pada anak anak yang tak sempat menyelesaikan sekolah, tetaplah berkarya total, berkomitmen dan integritas tinggi, kredibilitas pertahankan. Intergritas menjadi modal kita menjadi terhormat karena apalah artinya gelar, harta, dan lainnya bila integritas tidak punya dan kita ternista karena tidak punya integritas. Itu saja yang saya punya sebgai warga negara dan manusia Indonesia yang ingin majukan negaranya," terang Susi saat menerima gelar Doktor.
Apa yang ingin ia sampaikan, bahwa kegigihan adalah pengetahuan yang tertinggi. Kedaualatan hanya bisa digapai dengan keseriusan. Ia bukan hanya inspirasi bagi yang tak menyudahi pendidikan dengan gelar tinggi tetapi juga kepada mereka yang sudah memanjangkan namanya dengan gelar akademik.
Susi merupa ibu yang sedang mengasuh anaknya dengan keras dan tenang. Ia sementara menyediakan tempat dimana anak anak bangsa dengan mudah menemukan kehidupannya. Anak anak laut yang ketika merentangkan layar petanda kehidupan akan dijemput.
Dimasa kini sosok wanita ini adalah wujud bumi pertiwi. Mungkin melebih – lebihkan, tetapi kita berada dalam amukan badai lautan, dimana semua berpacu menjadi raja laut, butuh sosok tegas yang dengan tenang meneguhkan posisi layar kapal besar bernama Indonesia.
Dan jangan heran bahwa air mata susi hanya bisa ditemukan pada mereka yang hidup berpacu waktu mengemas diri layaknya mereka yang hidup sepanjang waktu.