Mohon tunggu...
Hajar Alfarisy
Hajar Alfarisy Mohon Tunggu... Petani - Menulis mengabadikan masa depan

Berjalan dalam kadar mengingat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nainawa dan Segeranya Kebaikan

24 Agustus 2016   14:21 Diperbarui: 24 Agustus 2016   14:29 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa bulan, hujan telah menyepi dari lembah suf kampung Nainawa.  Dedaunan memilih menggugurkan diri sebelum waktunya. Yang bertahan adalah siapa yang mampu mencari jalan yang telah ditakdirkan untuk mampu menyelamatkan  diri masing – masing. Nainawa melamun diteras rumah. Kakinya dilipat, sikunya menumpu pada paha kanannya lalu jemarinya menopang dagunya. Matanya menatap kosong. beberapa waktu lagi waktu untuk melunasi utangnya akan berakhir, namun uangnya belum cukup. “Adakalanya penjara bukanlah jeruji besi tetapi perasaan yang ditambatkan pada keresahan” bisiknya pelan.

Malam telah menyembunyikan cahaya diluar diri manusia, tetapi ia menampakkan cahaya dalam setiap jiwa manusia. Nainawa memutuskan untuk menyampaikan bahwa ia memang belum bisa melunasi utangnya “cara terbaik adalah menyampaikan tentang kekurangan ketimbang memikirkan hal hal yang pasti tidak bisa terjadi “ pikir Nainwa.

Jam delapan malam pemuda berambut lurus sebahu itu beranjak pergi, ia menemui zen  untuk mengutarakan maksudnya. "Ada apa Nainawa" tanya zen setelah mempersilahkan Nainawa duduk. “ Sebenarnya belum saatnya menyampaikan ini, tetapi saya harus menyampaikannya karena jangan sampai bapak menunggu sesuatu yang belum bisa kupastikan, aku belum bisa membayar utang yang aku pinjam untuk pengobatan orang tuaku. Mata nainawa menatap dalam–dalam, seperti menaruh iba dalam tatapannya. Tidak apa – apa ucap zen, aku belum butuh sekarang nanti aku akan mendatangimu kalau aku memang butuh ucap zen mengerti dengan keadaan nainawa.

Nainawa berpamit sekaligus berterimakasih pada kesahajaan Zen. Dalam perjalanan ia berpapasan dengan lelaki tua. Entah mengapa Nainawa menceritakan apa yang dialaminya, tanpa bertanya siapa lelaki tua itu. Memang, kadangkala orang yang terbebas dari beban yang beberapa hari telah mengganggu pikirannya akan bertindak tak bisa, seperti itu pula yang dirasakan Nainawa. 

Nak ketahuilah setiap yang kau alami adalah pelajaran bagi dirimu, bagi siapa yang berutang ia memiliki tugas membalas kebaikan itu, menyegerakannya adalah kebaikan dan menundanya adalah keburukan bagimu, bahkan kadangkala apa yang kau lakukan itu menjadi beban bagi orang yang telah mengurangi bebanmu. Betapa banyak orang yang menunda melunasi utangnya ketika ia telah mampu, lalu karena ia menundanya ia kemudian tak mampu diwaktu yang ia telah rencanakan.

Bintang dilangit bertaburan, memang kata orang malam itu bima sakti akan muncul bertaburan. Angin dingin menusuk pada musim kemarau dilembah suf. Nainawa asik mendengar petuah orang yang tak dikenalinya. 

“Apakah engkau tau bahwa kebaikannya telah menuntun jiwamu menemui zen” ucap lelaki tua itu sesekali ia menatap Nainawa. "Ketahulah Nainawa kebaikan yang paling banyak dan tak mungkin dilunasi adalah kebaikan Tuhan pada dirimu. Jika karena kebaikan manusia engkau bersegera atasnya. Lalu dengan alasan apa kau menunda memilih menemui-Nya. Betapa banyak manusia karena angan-angannya mengatakan aku akan berbuat baik nanti, tetapi karena itupula ia tidak melaksanakannya. bahkan orang tua telah bungkuk karena angan angan seperti ini. Utang terhadap manusia dibutuhkan oleh manusia tetapi bagi Tuhan itu tak terjadi . Dengarlah Nainawa, bahkan pembicaraan ini karena ingatannya pada hamba-Nya.

Nainawa tertegun, waktu terasa begitu singkat ia melupakan derap langkah kakinya. Ia telah sampai didepan rumahnya. Nainawa membisu, ia menatap laki-laki aneh yang baru dikenalinya. Belum sempat ia bertanya lelaki tua itu melanjutkan pernyataannya, bergegaslah masuk kedalam rumahmu, tempat dimana engkau hidup. Kehidupan ini tidak cukup dengan bertanya saja. Kemudian lelaki tua itu meneruskan perjalanannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun