Cahaya lampu mulai meredup, malam telah menyempurnakan dirinya. Bayang – bayang mulai menghilang. Langit malam itu ditutupi awan hitam, air bersembunyi dibaliknya. Guntur sesekali terdengar diiringi kelebatan kilatan cahaya, Lalu air lelangit turun menyucikan bumi. Di lembah suf kampung Nainawa tersiar kabar datangnya seorang yang aneh.
Magrib yang ganjil telah berlalu. Nainawa mengerjakan shalat Isya ketika kegelapan menutupi bumi secara sempurna. Nainawa menyelesaikan shalatnya. Setelah itu, ia mendawamkan zikirnya beberapa saat.
Seperti biasanya, Nainawa tak menutup pintu rumahnya, ia membiarkan angin masuk kedalam rumahnya yang telah tua. Tangga rumah dari bambu berbunyi, sesosok lelaki paruh baya menaiki tangga rumah itu. Kakinya menginjak hati hati, menahan keseimbangan agar tak terjatuh. Malam itu Nainawa kedatangan tamu asing yang ramai dibicarakan orang kampunya.
Neya menghampiri Nainawa “ Nak ada orang yang mencarimu” ucap ibunya. Nainawa lalu bergeser, ia menemui tamu yang datang seperti angin, bebas memasuki rumahnya tanpa pemberitahuan apapun sebelumnya. Neya ibu nainawa beanjak menyediakan dua cangkir kopi, satu untuk Nainawa dan satunya untuk lelalaki tua, sang tamu asing.
“Minum kopinya pak ?” ucap Nainawa membuka pembicaraan.
Angin berhembus sepoi, lelaki itu memerhatikan Nainawa, lalu mengangguk, tanda ia mengerti apa yang disampaikan Nainawa. Tamu yang aneh, ia diam saja, lalu menikmati kopi tanpa menyampaikan maksud kedatangannya sebagaimana tamu biasa.
"Apa yang membuat anda datang kemari, sepertinya kebutuhanmu adalah meminum kopi saja, engkau hanya mencicipi kopi, sampai lupa kalau anda seorang tamu". Tanya Nainawa
Lelaki tua, menatap Nainawa, sambil mendehem pelan, lalu ia berkata.
“Aku memang penikmat kopi” jawab lelaki bereprawakan kurus itu.
‘Menjengkelkan, jawaban singkat yang tak berguna’guman Nainawa dalam hati
Langit telah mengakhiri hujan yang deras, rerintik hujan kini membawa pada kepekaan jiwa yang mendalam. Pendengaran lebih jelas dari keadaan sebelumnya.