Mohon tunggu...
Hajar Alfarisy
Hajar Alfarisy Mohon Tunggu... Petani - Menulis mengabadikan masa depan

Berjalan dalam kadar mengingat

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Dimana Sajadahku Itu

6 Maret 2016   20:18 Diperbarui: 7 Maret 2016   11:17 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="http://stat.ks.kidsklik.com"]

Maret yang terserak, Sore itu sendu, senja datang ditempat lain. Air hujan menyusuri lekukan tanah berdebu. Jalanan berpasir batu batu menyucikan dirinya. Nainawa bergeser, ada yang dia ingat. ia terburu buru, matanya menatap laci laci, sesigap ia menarik buku yang berdebu. dia menatapnya dengan mata yang lain, dari sampulnya tertulis dibawah haribaan sang kekasih.

Apa yang menakutkan diriku, aku melintasi keadaan menyeramkan, ucap Nainawa lirih. Dunia telah remuk, zaman telah dijatuhi kutukan terberat, manusia apa aku ini. Ia membuka buku bersampul hijau itu, jari tangannya memindah dari lembar ke lembar. ia berhenti ketika ia menemui kata ‘sejak kapan engkau memiliki sesuatu’ .

Sinar menyusuri celah celah dinding, membentuk garis lurus dan seperti ada debu debu kecil yang beterbangan. Ia membuka matanya, energinya sepertinya banyak hilang. Apa yang terjadi denganku semalam. ia teringat dengan tulisan “ sejak kapan engkau memiliki sesuatu” pikiran itu mengahantuinya, hingga subuh ia baru bia memejamkan mata. Apa yang terjadi denganku.

Pintu kamarnya terbuka, seorang wanita paruh baya mendatanginya, bangun sudah siang ucap perempuan itu. Nainawa masih menikmati temapt tidurnya. Lalu ibunya melanjutkan cepat bangun kakekmu telah meninggal. seperti ada beban yang menimpalinya. dunia seakan remuk, waktu seakan berhenti. memang Nainawa dikenal dekat dengan kakeknya. air mata menuruni cekungan matanya.

Langit mendung ada yang pergi, pesan alam datang ia diayakini masyarakat dikampung Nainawa sebagai pesan alam kepergian yang terakhir di dunia. Nainawa terpekur, didekat bunga kamboja ia duduk sebagai orang yang mengasihi. Ia bertanya tentang kepergian yang lain ini. Nainawa menoleh kesamping ternyata ia yang tinggal sendiri “ Tiba tiba ia melihat tulisan “ sejak kapan engkau memiliki sesuatu “ tergores semrawutan dikulit pohon beringin besar. Siapa yang menulisnya. ia tertegun sejenak.

Malam telah larut, kala itu langi masih menggemuruh, tiba tiba kakeknya datang “ apa yang kau pikirkan “ tidak ke” sebutnya, sebenarnya aku hendak bertanya padamu tentang suatu hal yang membuatku tak bisa tidur semalam.

Apa itu ?sahut kakeknya yang nampak tak sakit lagi

Nainawa“Sore kemarin, aku tiba tiba tersentak, aku tak mengerti. Keadaan itu tak berwaktu, seperti dunia remuk, zaman telah dikutuk dan akan hancur, lalu aku berlari kedalam mencari sesuatu yang tak aku pernah lakukan. aku mencari buku yang kakek berikan”.

Lalu apa yang membuatmu tak tertidur, ?

Aku berhenti tersentak kek’ saat membaca tuliasan sejak kapan engkau memilki sesuatu ? itu pula yang ingin kutanyakan padamu. sahut Nainawa

Kakek Nainawa tersenyum, dahinya yang mengeriput tertarik kencang bersama dengan keningnya keatas. Aku akan menjawabnya dengan pertanyaan padamu

Nainawa, mengapa engkau menangisi ku siang tadi, ? Tanya kakenya

Nainawa “Kerena engkau kakekku, dan aku merasa butuh denganmu sejak aku telah mampu mengerti tentang kasih sayang kakek denganku”.

Nainawa, kenapa engkau tidak bisa tidur saat engkau membaca tulisan sejak kapan engkau memilki sesuatu dibuku dibawah haribaan sang kekasih yang aku titipkan padamu.

aku tak mengerti soal itu kek,

Baiklah semoga engkau mengerti ucap kakenya, “engkau menangisiku karena aku kau anggap sebagai orang yang kau kasihi, menjadi bagian dari dirimu yang penting. Aku bukan milikmu sebenarnya karena aku akan pergi. Masing masing dari kita memiliki diri kita masing masing, tangisilah dirimu sebelum pergi seperti diriku, sebab kita ini tak memiliki apa apa. kau menduga memiliki kakekmu ini hanya sebatas didunia ini. bangunkanlah dirimu didunia ini, engkau tak memiliki apa apa, bedoalah dengan ini sebab itu engkau pantas untuk memita, itu saja pesanku.

Nainawa terbangun tiba tiba --- ia lalu berjalan dalam kegelapan malam, tangannya meraba raba, seperti orang buta yang kehilangan tongkat yang sebentar lagi menemui jurang yang ada dihadapannya.

Dimana sajadahku itu, bisiknya pelan, air mata menuruni cekungan matanya. Ia masih ingat dimana sajadah lama ia simpan meskipun matanya tak melihat ia berjalan dalam tuntunan jiwanya. lalu ia menyepi dalam kesunyian malam. menghiba dalam munajatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun