Mohon tunggu...
M. Ramadhana Alfaris
M. Ramadhana Alfaris Mohon Tunggu... Dosen di Fakultas Hukum, Universitas Widyagama Malang -

Existentialism Researcher. Dosen di Fakultas Hukum, Universitas Widyagama Malang

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Carut-marut Polemik di Tubuh DPD

7 April 2017   21:10 Diperbarui: 8 April 2017   05:00 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Putusan Makamah Agung yang tengah dilansir dewasa ini tentang masa jabatan pimpinan DPD RI masih menjadi polemik yang cukup sengit di internal DPD sendiri. Faktanya yang terjadi adalah sangat berkaitan erat dengan bagaimana menentukan pimpinan dan juga sistem untuk melihat masa berlaku dari jabatan yang diemban oleh tiga pimpinan di DPD tersebut. Kendati demikian, hal tersebut semakin meruncing ketika adanya ketidakserasian dari Mahkamah Agung pasca putusan hasil tinjauan yudisial itu kemudian dikeluarkan dan banyak sekali dari dua peraturan dalam tata tertib DPD dan juga UU yang dianggap saling bertolak belakang.

Hal yang saling bertolak belakang tersebut ialah peraturan dari DPD RI No. 1/2016 & 2017 tentang tata tertib untuk menentukan pimpinan DPD RI yang dianggap oleh sejumlah senator bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2011. Seperti yang telah dilansir, di mana inti dari peraturan DPD RI No. 1/2016 & 2017 ialah masa jabatan DPD RI dijadikan 2,5 tahun. Jika menilik dari susunan peraturan tersebut tentunya berlaku surut. Kemudian inti dari UU No. 12 Tahun 2011 ialah terkait dengan pembentukan atau pemberlakuan perundang-undangan, kemudian di dalam UU ini secara tegas melarang asas berlaku surut atau retroaktif.

Berangkat dari hal tersebut, melihat dari putusan Mahkamah Agung menunjukkan terdapat beberapa hal yang membatalkan dan saling bertolak belakang, yakni dalam putusan MA No. 20P/HUM/2017 dan sebelumnya juga dalam putusan MA No. 38 Tahun 2016, keduanya secara tegas atau secara prinsip membatalkan peraturan DPD RI No. 1/2016 & 2017 sehingga meminta pimpinan DPD mencabut tata tertib tersebut. Hal demikian dapat dikatakan terdapat ketidakserasian dari Mahkamah Agung ketika telah menganulir tatib tentang masa jabatan 2,5 tahun. Namun pada tanggal 4 April 2017 kemarin ada pelantikan untuk tiga pimpinan yang baru.

Dengan diamnya DPD selama ini, belum pernah melihat perdebatan yang cukup alot seperti sekarang ini di mana sebuah insiden yang kontras terlihat sibuk dalam memikirkan jabatan. Diketahui juga bahwa sebelumnya DPD disibukkan untuk memperkuat kewenangan lembaga. Kritikan-kritikan dan aspirasi yang dilakukan oleh DPD dapat dikatakan bukan merupakan aksi yang spontan terjadi akan tetapi ketika melihat dari proses perubahan tatib tersebut mulai terlihat bahwa sudah disiapkan untuk seorang atau sekelompok orang. Dalam artian, misi dari sekelompok orang tersebut ingin mengambil alih jabatan DPD. Insiden kisruh tersebut seyogianya tidak akan terjadi ketika DPD mengetahui betul bahwa marwahnya adalah masih di daerah.

Jika menilik lebih jauh lagi, di mana ketika kepentingan politik memasuki DPD secara massive, dikhawatirkan DPD tersebut menjadi medan pertempuran untuk mencari jabatan sehingga dapat dikatakan DPD hanya dijadikan asset oleh kepentingan politik dalam mendapatkan kekuasaan. Meskipun pada umumnya bahwa anggota DPD tidak dilarang untuk menjadi anggota Parpol. Artinya jika memang ada kepentingan Parpol, maka akan menjadi kelemahan DPD dan juga berbahaya karena seyogianya DPD menjadi representasi rakyat bukan menjadi representasi Parpol. Jadi alangkah baiknya tidak ada gerakan-gerakan parpol di dalam DPD.

Sejak awal seharusnya mengetahui bahwa ketika masuk sebagai calon anggota DPD itu berarti menjadi wakil perseorangan dan lepas dari kuasa Parpol. Bahkan mirisnya adalah ketika sudah terpilih menjadi anggota DPD, dikemudiannya secara spontan mengaku sebagai bagian dari anggota Parpol tertentu. Masalah integritas ini yang mungkin tidak akan selesai dalam proses perekrutan calon anggota DPD tersebut. Meskipun memang tidak ada aturan secara tegas yang mengatakan bahwa anggota DPD tidak dilarang berasal dari Parpol, akan tetapi haruskah menunggu ada aturan tersebut untuk melakukan sesuatu yang benar. Karena prinsip etis yang fundamental bagi pejabat publik ialah bagaimana kemudian bisa bekerja sesuai dengan jabatan tertentu untuk kepentingan publik dan melayani publik.

Ketika ada beberapa identitas yang melekat pada seseorang maka akan dapat menimbulkan konflik kepentingan pada kasus-kasus tertentu. Jadi jika seorang anggota DPD yang mewakili daerah dan pada saat yang sama juga menjadi anggota Parpol, maka akan ada di saat-saat tertentu di mana ada perbedaan kepentingan antara yang diperjuangkan oleh Parpol dan apa yang diinginkan oleh daerah. Dapat dikatakan kini DPD sudah memiliki tendensi dikuasai oleh Parpol. Jadi DPD saat ini tidak berbeda jauh dengan DPR yang didominasi oleh Parpol.

Mensinyalir juga bahwa masyarakat daerah pun kurang mengetahui kinerja kongkrit yang dilakukan oleh DPD dengan berdalih akan kurangnya kewenangan yang dimiliki DPD. Sehingga stigmatisasi akan terus bermunculan di kalangan masyarakat terkait kinerjanya. Seperti yang diketahui bahwa anggaran besar yang dimiliki oleh DPD harusnya bisa digunakan oleh DPD dengan cara untuk memastikan bahwa masyarakat mengetahui apa yang dikerjakan oleh DPD. Dengan demikian kini DPD merasionalisasikan alasan kurangnya kewenangan tersebut dengan bergabung pada Parpol. Dalam artian, hal tersebut juga merupakan penyerahan diri yang frontal dari anggota DPD karena merasa tidak berdaya, sehingga dengan bergabungnya bersama Parpol DPD akan bisa banyak bicara. Padahal sebaliknya, ketika DPD bergabung pada partai politik maka akan terhambat dalam mengaspirasikan daerah.

Dengan demikian, muncul beberapa asumsi bahwa DPD diusulkan untuk dibubarkan sesuai dengan aturan yang berlaku lantaran kerap kurang maksimal dan terindikasi hegemoni partai politik. Sekiranya harus ada langkah kongkrit untuk perbaikan, seperti menyatukan suara perwakilan daerah yang non partai politik guna melawan perompakan di DPD. Selanjutnya memastikan dalam kewenangan DPD yang terbatas ini masih bisa menjadi lilin di tengah keterbatasan tersebut. Hal tersebut hanya bisa dilakukan jika DPD bebas mewakili dirinya sendiri dan daerah untuk menyuarakan aspirasi daerahnya secara penuh tanpa adanya intervensi dari partai politik. Dengan kata lain unsur daerahlah yang harus dimunculkan bukan egoism.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun