Mohon tunggu...
Alfarabi ShidqiAhmadi
Alfarabi ShidqiAhmadi Mohon Tunggu... Guru - ibnu hamid

Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan angkatan 2016

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kesejahteraan Guru, Problematika yang Belum Terselesaikan

25 November 2018   23:02 Diperbarui: 26 November 2018   00:12 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Guru itu sebagai 'akar rumput' pendidikan nasional. Meski seringkali dianggap remeh, perannya sangat penting. Seperti itulah kira-kira apa yang dikatakan bapak menteri Pendidikan & Kebudayaan Indonesia.

Menyelenggarakan Pendidkan yang bermutu menjadi tanggung jawab pemerintah sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, "mencerdaskan kehidupan bangsa." Sebagai bukti bahwa pemerintah telah menjalankan amanat tersebut yaitu dengan adanya kementrian Pendidikan Nasional. Lembaga Negara tersebutlah yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan demi mecerdaskan anak bangsa.

 Slogan yang  sering digencarkan mengenai sosok guru adalah "pahlawan tanpa tanda jasa". Kira-kira jika slogan tersebut benar-benar diterapkan untuk seluruh guru di Indonesia, berapa orang yang akan tetap bertahan mengajar? Di sisi lain, apakah akan terjamin kualitas pendidikannya?

Slogan tersebut kiranya lebih pantas dijadikan pegangan oleh seorang guru itu sendiri, tujuannya agar mendidik sepenuh hati, dalam artian ikhlas. Tapi sebagai penyelenggara pendidikan, mulai dari pihak lembaga itu sendiri sampai Kementrian Pendidikan tak sepatutnya memegang erat slogan tersebut dalam memperlakukan guru.

Kita sama-sama tahu, bahwa seorang guru juga manusia yang butuh hidup bahkan juga harus menghidupi keluarganya. Mereka telah mengorbankan pikiran, tenaga dan waktunya untuk mendidik, maka sudah sepantasnya mereka menerima imbalan dari jerih payah dan dedikasinya tersebut.

Seringkali kita mendengar aliansi atau kelompok buruh berdemo menuntut kenaikan UMR, dan seringkali pula pemerintah mengabulkan permintaan mereka. lebih dari itu, kita sering pula mendengar beberapa lembaga Negara ataupun pejabat Negara yang meminta kenaikan gaji, dan pada ujungnya mereka berhasil merealisasikan keinginannya tersebut. 

Lantas bagaimana dengan guru-guru kita? Bagaimana nasib guru honorer dan non PNS yang sama-sama berjuang mendidik anak bangsa? Bagaimana pula nasib guru di daerah yang penuh dengan keterbatasan?

Pernah suatu ketika saya mendapat kesempatan untuk melakukan observasi di sebuah lembaga pendidikan swasta di daerah kabupaten Malang. Kebetulan lembaga tersebut masih berjuang mengejar ketertinggalan dari sekolah-sekolah lainnya. Ada beberapa guru yang berhasil kami wawancara bebas. Singkatnya, ketika kita Tanya mengapa sekolah ini sulit berkembang, jawabannya adalah masalah finansial. 

Dari situ kita perdalami lagi, sampai akhirnya kami mendapat sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa kesejahteraan guru di situ sangat kurang terjamin. Bahkan beberapa guru bercerita bahwa seringkali gaji mereka menunggak hingga beberapa bulan. 

Di sekolah lain, pernah pula saya bertanya pada beberapa gurunya mengenai kesejahteraan mereka. Alhasil jawabannya tak jauh berbeda. Gaji mereka sangat jauh di bawah buruh pabrik.

Itulah ironi yang menimpa guru-guru kita di negeri ini. Entah apakah buruh pabrik masih 'dianggap' lebih mulia dibanding guru. Padahal, hampir seluruh profesi yang ada saat ini, pasti melalui hasil didikan seorang guru. Dari situ dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa pada hakikatnya penyalur sekaligus penjaga eksistensi pendidikan dan keilmuan adalah guru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun