Mohon tunggu...
Moch Alfan Miftachul Huda
Moch Alfan Miftachul Huda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Teknik Informatika UIN Maulana Malik Ibrahim Negeri Malang

semangat besar untuk mengeksplorasi dan mengembangkan kemampuan dalam data science, machine learning, dan kecerdasan buatan. Berbekal pengalaman di bidang analisis data dan pemrograman, saya berkomitmen untuk membagikan wawasan, strategi, serta praktik terbaik dalam memanfaatkan data untuk inovasi dan pengambilan keputusan yang lebih cerdas. Di sini, saya ingin berbagi perjalanan saya dalam dunia data—mengubah angka menjadi wawasan, dan tantangan menjadi peluang. Mari bersama-sama membangun masa depan yang digerakkan oleh data di era digital ini

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Privasi dan Keadilan di Era Smart City: Solusi Otonomi Data

11 September 2024   15:21 Diperbarui: 11 September 2024   15:25 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Smart City (Sumber: Freepik.com)

Privasi dan Keadilan di Era Smart City: Solusi Otonomi Data

Seiring berkembangnya kota-kota di dunia, konsep smart city atau kota pintar semakin menjadi sorotan. Kota pintar menawarkan janji efisiensi, keamanan, dan kenyamanan melalui penggunaan teknologi canggih seperti Internet of Things (IoT), komputasi awan, dan big data. Menurut IBM Journal of Research and Development (2010), kota pintar didefinisikan sebagai kota yang mengintegrasikan teknologi informasi dengan infrastruktur fisik dan sosial untuk tujuan optimasi. Di berbagai kota besar dunia, seperti Seoul dan San Francisco, konsep ini telah diimplementasikan dengan sukses, meningkatkan kualitas hidup warga melalui pengelolaan transportasi, energi, dan lingkungan yang lebih efisien (Lee et al., 2014).

Namun, di balik manfaat yang ditawarkan, terdapat tantangan besar yang kerap diabaikan, yaitu penyalahgunaan data pribadi, transgresi ruang oleh korporasi besar, dan fenomena gentrifikasi datafied. Dalam dunia yang semakin terdatafikasi, masyarakat tidak lagi hanya berhadapan dengan isu privasi sederhana, tetapi juga dengan transformasi sosial yang lebih dalam, di mana otonomi individu dan kolektif terancam. Fenomena ini menciptakan perpecahan baru di masyarakat, di mana mereka yang memiliki akses ke teknologi unggul mendapatkan keuntungan lebih besar, sementara kelompok yang kurang terampil dalam teknologi semakin terpinggirkan.

Berdasarkan penelitian Oskar J. Gstrein dalam artikel ilmiah Data Autonomy: Beyond Personal Data Abuse, Sphere Transgression, and Datafied Gentrification in Smart Cities (2024), konsep otonomi data menjadi sangat relevan. Kota pintar yang terlalu bergantung pada pengumpulan dan pemrosesan data tanpa memperhatikan dampak sosialnya bisa mengancam hak-hak fundamental masyarakat, khususnya dalam hal privasi dan keadilan sosial. Pendekatan berbasis nilai seperti otonomi data diperlukan untuk memastikan perkembangan teknologi tetap menghormati martabat manusia.

***

Kota pintar sering kali didorong oleh ambisi teknologi dan janji efisiensi, namun di balik layar, penyalahgunaan data pribadi menjadi ancaman serius. Menurut laporan European Data Protection Law Review (2016), kerangka regulasi yang ada seperti GDPR (General Data Protection Regulation) kerap tidak mampu menahan laju pengumpulan data yang masif oleh proyek kota pintar. Pada 2022, lebih dari 162 negara memiliki undang-undang perlindungan data, namun pelaksanaannya belum mampu melindungi hak-hak privasi secara menyeluruh (Greenleaf, 2023). Misalnya, proyek Sidewalk Labs di Toronto mendapatkan kritik karena ketidaktransparanannya, di mana data warga dikumpulkan tanpa kontrol yang memadai, sehingga akhirnya proyek tersebut dibatalkan pada 2022 (Jacobs, 2022).

Selain itu, konsep transgresi ruang, di mana perusahaan teknologi besar memperluas kekuasaannya ke sektor-sektor lain seperti kesehatan dan keamanan, juga menjadi ancaman serius bagi otonomi publik. Oskar J. Gstrein menyoroti bagaimana perusahaan seperti Google dan Apple, dengan kendali mereka atas infrastruktur digital, telah berhasil mendominasi sektor kesehatan melalui aplikasi pelacakan kontak COVID-19 pada 2020. Sektor kesehatan publik, yang seharusnya diawasi oleh otoritas pemerintah, kini menjadi ladang pengumpulan data bagi perusahaan-perusahaan ini, mengaburkan batas antara kepentingan publik dan korporasi (Sharon, 2021). Pada tahun 2021, 78% aplikasi pelacakan dioperasikan melalui infrastruktur milik Apple dan Google, memperkuat dominasi mereka (Gstrein, 2021).

Fenomena gentrifikasi datafied juga tidak bisa diabaikan. Menurut penelitian terbaru, gentrifikasi digital mengakibatkan pergeseran populasi berdasarkan akses dan literasi teknologi. Di beberapa kota pintar, kawasan-kawasan yang dipantau dan dianalisis secara real-time oleh sensor digital menunjukkan peningkatan harga properti yang signifikan, menyebabkan eksodus warga yang kurang berdaya secara ekonomi dan digital (Finio, 2022). Pada tahun 2022, survei di Amerika menunjukkan bahwa harga properti di kawasan yang dipromosikan sebagai smart neighborhoods meningkat hingga 25% dibandingkan dengan kawasan non-teknologi (Finio, 2022). Peningkatan ini menciptakan ketimpangan baru dalam masyarakat, yang di satu sisi memperkaya kelompok tertentu, namun meminggirkan yang lain.

Dengan latar belakang ini, Gstrein memperkenalkan konsep "otonomi data" sebagai solusi untuk menangani tantangan ini. Otonomi data menggabungkan perlindungan data individu dengan prinsip martabat manusia, di mana setiap individu memiliki kontrol penuh atas data mereka, bahkan dalam lingkungan kota yang sangat terdigitalisasi. Konsep ini menekankan pentingnya hak informasi yang seimbang antara individu dan kelompok, memastikan bahwa teknologi tidak memonopoli hak asasi manusia.

***

Konsep otonomi data yang diperkenalkan oleh Oskar J. Gstrein memberikan landasan etis yang kuat bagi pengembangan kota pintar. Kota-kota yang semakin terdigitalisasi memerlukan kerangka regulasi yang tidak hanya melindungi data pribadi tetapi juga menjaga keseimbangan kekuasaan antara korporasi besar dan masyarakat. Dengan meningkatnya ketergantungan pada teknologi, penting bagi pembuat kebijakan untuk memastikan bahwa pengumpulan data tidak merampas otonomi individu maupun kolektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun