Dipandang dari sudut teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiyah, karena itu Islam juga bersifat transenden. Tetapi apabila dipandang dari sudut sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Islam dalam realitas sosial tidak sekedar sejumlah doktrin yang bersifat universal, melainkan juga mengejawantahkan diri dalam institusi-institusi sosial yaang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi serta terkait dengan dinamika ruang dan waktu. Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa ajaran Islam yang terdiri atas doktrin atau ajaran yang universal pada tingkat sosial tidak dapat menghindarkan diri dari perubahan.
Menilik sejarah Islam Indonesia, dapat dilihat bahwa Islam masuk dan menyebar ke Indonesia tanpa ada ketegangan dan konflik. Islam dengan mudah diterima oleh masyarakat sebagai sebuah agama yang membawa kedamaian, sekalipun di kala itu masyarakat sudah mempunyai sistem kepercayaan tersendiri, baik berupa animisme maupun agama Hindu dan Budha. Di Indonesia terdapat berbagai macam ras, suku, bahasa, kebudayaan, agama dan kepercayaan. Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” merupakan ungkapan yang tepat untuk menjelaskan realitas sekaligus harapan bangsa ini.
Meskipun Indonesia merupakan salah satu negara yang muslimnya mayoritas di dunia, namun bisa dikatakan paling sedikit mendapat pengaruh arabisasi dibandingkan dengan negara-negara muslim besar lainnya. Selain itu dalam proses Islamisasi di nusantara, penyebaran agama dan kebudayaan Islam tidak menghilangkan kebudayaan lokal dan tidak menggunakan kekuatan militer dalam upaya proses Islamisasi. Hal itu disebabkan karena proses Islamisasi dilakukan dengan penetrasi secara damai melalui jalur perdagangan, kesenian, perkawinan, dan pendidikan.
Koneksi antara agama, seni dan budaya bukan hal yang aneh di Indonesia, mengingat hal itu juga muncul sejak awal pertumbuhan agama Islam di kawasan ini, bersamaan dengan artefak-artefak kebudayaan yang ditinggalkannya yang hingga kini masih dilestarikan dengan baik, seperti ornamen dan arsitektur masjid, batu nisan, ornamen batik, peralatan upacara keagamaan dan media penyebaran agama. Telah banyak yang menyebut keberhasilan Islam diterima masyarakat Indonesia sebagai akibat dari akulturasia agama, kebudayaan, dan seni.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, penulis ingin menguraikan permasalan yang akan difokuskan pada bagaimana pergumulan dan akulturasi Islam dalam budaya lokal serta hubungan antara ajaran agama dan budaya lokal yang melingkupinya.
•Wayang dalam Wacana Budaya
Kehadiran cerita wayang dapat dilihat dari berbagai perspektif tergantung dari mana kita akan melihatnya dan semuanya tampak menarik. Budaya perwayangan merupakan salah satu wujud keunggulan lokal yang kini telah meng-internasional yang memiliki sejumlah keunikan yang dapat dilihat dari berbagai perspektif, misalnya perspektif bahasa, sastra, budaya, sejara, pemikiran, dan pertunjukan. Pembicaraan di bawah akan melihat wayang dari perspektif budaya.
Dalam perspektif budaya wayang merupakan sinkretisme (penyesuaian) dari berbagai budaya yang mempengaruhinya. Hal itu menunjukkan bahwa budaya perwayangan bersifat pluralistik dan elektik sebagai akibat budaya jawa yang terbuka dan toleransi terhadap berbagai budaya lain. Pada zaman prasejarah nenek moyang masih berkeyakinan animisme dan dinamisme. Mereka percaya pada kekuatan roh yang disebut Hyang, maka roh itu kemudian dipuja untuk diminta restu dan pertolongannya dalam sebuah upacara yang diadakan dalam bentuk “pentas bayangan” ketika malam hari oleh orang sakti yang diberi juluk Syaman, karena ketika malam hari roh-roh mengembara. Pentas bayangan ini kemudian menjadi pertunjukan wayang yang dilakukan oleh seorang dalang.
Masuknya kebuyaan Hindu ke Jawa membawa pengaruh pada pentas bayangan dan cerita wayang. Kitab Mahabharata dan Ramayana mulai dikenal sejak ditulis kedalam bahasa Jawa kuno yang bercampur dengan bahasa Sanskerta pada masa pemerintahan Dyah Balitung Raja Mataram 1 (892-910). Orang Jawa yang sudah mempunyai kepercayaan terhadah Tuhan yang Maha Esa menerima pengaruh Hindu karena berprinsip toleransi agama, maka kemudian terjadi fusi kepercayaan. Pertunjukan wayang yang semula menceritakan mitos nenek moyang berganti ke epos Mahabharata dan Ramayana karena ada kesamaan, yaitu memuja para dewa apalagi dewa pada kedua epos itu lebih konkret sehingga mudah dirasakan. Kemudian, orang Jawa mengadopsi dewa dan pahlawan India itu dan mencampurnya dengan mitos kuno tentang asal usul dan kepahlawanan para nenek moyang, maka kemudian terjadilah akulturasi Hindu ke Jawa dan proses Jawanisasi budaya Hindu. Cerita wayang yang merupakan fusi Jawa-Hindu inilah yang kemudian ditulis dan dikenal khalayak sebagai sumber cerita wayang dan belakangan ini sering disebut sebagai wiracarita Mahabharata dan Ramayana versi Jawa.
•Islam dan Akulturasi Budaya Lokal
Islam hadir bukan di tengah-tengah masyarakat hampa budaya, melainkan Ia hadir menemukan adat-istiadat yang berkembang dan berlaku di tengah masyarakat yang plural. Adat istiadat yang baik dipertahankan oleh Islam, sementara adat istiadat yang tidak baik ditolak olehnya. Namun demikian terdapat pula adat istiadat yang mengandung sisi baik dan buruk. Adat seperti inilah yang diluruskan oleh Islam. Misalnya, sistem anak angkat dimasa jahiliyah diluruskan dengan membolehkan mengangkat anak, tetapi statusnya tidak sama persis dengan anak kandung sehingga tidak berhak menerima warisan, walaupun ayah angkat diperbolehkan memberikan wasiat kepadanya selama tidak lebih dari sepertiga jumlah hartanya.
Islam dan budaya mempunyai independensi masing-masing. Independensi antara agama dan budaya ini bisa dibandingkan dengan independensi antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Agama Islam bersumberkan wahyu dan memiliki norma sendiri. Karena bersifat normatif, maka ia cenderung permanen sedangkan budaya adalah buatan manusia, sehingga dapat berkembang seiring perkembangan zaman dan cenderung selalu berubah. Dari hal inilah Abdurrahman Wahid memberikan istilah “Pribumisasi Islam” pada tahun 1980-an yang dimaksudkan sebagai upaya produktif untuk menjadikan Islam sebagai sistem ajaran yang membumi. Pribumisasi Islam menekankan pada wilayah metodologis yang berkenaan dengan upaya mempertemukan antara wahyu dengan kebudayaan lokal. Hal tersebut dapat dipandang sebagai proses operasionalisasi untuk memberikan makna yang lebih fungsional antara nilai-nilai sakral dan yang profan. Agama dan budaya memiliki keterikatan dan saling bersentuhan bahkan saling mengisi untuk memberikan makna yang lebih fungsional sehingga Islam tidak kehilangan relevansinya dengan tuntutan lokal di tempat masyarakat pemeluknya hidup.
Islam yang dipribumisasikan atau yang biasa kita kenal dengan Islam nusantara disebut sebagai suatu entitas, karena memiliki karakter yang khas yang membedakan Islam di negara lain karena perbedaan sejarah, geografis, dan budaya yang dipijaknya. Selain itu, Islam yang datang ke nusantara ini memiliki strategi dan kesiapan tersendiri antara lain: pertama, Islam datang dengan mempertimbangkan tradisi. Tradisi yang berseberangan tidak dilawan, tetapi diapresiasi kemudian dijadikan sarana pengembangan Islam. Kedua, Islam datang tidak mengusik agama atau kepercayaan apapun, sehingga bisa hidup berdampingan. Ketiga, Islam datang mendinamisir tradisi yang sudah usang, sehingga Islam dapat diterima sebagai agama. Keempat, Islam menjadi agama yang mentradisi, sehingga orang tidak bisa meniggalkan Islam dalam kehidupan mereka.
Adanya kemungkinan akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal diakui dalam suatu kaedah atau ketentuan dasar dalam ilmu Ushul Fikih, bahwa العادة محكمة “Adat itu dihukumkan”. Ini mengandung makna bahwa adat dan kebiasaan suatu masyarakat, yaitu berupa budaya lokalnya adalah sumber hukum dalam Islam. Islam mengakui keberadaan adat dan kebiasaan masyarakat karena adat dan kebiasaan masyarakat merupakan bagian sosial masyarakat tersebut. Islam datang mengukui dan mengakomodir nilai-nilai kebudayaan dan adat suatu masyarakat yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan ideologi Islam. Hal inilah yang pernah dipraktikkan oleh imam-imam madzhab dalam Islam seperti Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Hanafi dan Imam Hambali. Dalam menetapkan hukum fikih para Imam tersebut banyak mengakomodir adat masyarakat setempat. Inilah yang mendasari sikap universalisme Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.
•Upaya Memasukkan Ajaran Islam dalam Perwayangan
Dalam tiga periode yaitu periode sebelum kedatangan Hindu, masa Hindu, dan masa kedatangan Islam, wayang mengalami perubahan demi perubahan yang cukup berarti. Pada masa sebelum Hindu wayang dipergunakan untuk melakukan ritual keagamaan yang estetik, pada masa Hindu wayang mulai dipentaskan dengan dua rujukan kitab inti yaitu Ramayana dan Mahabharata. Pada masa Islam, ada beberapa perubahan yang terjadi diantaranya pengubahan bentuk gambar wayang dari yang serupa manusia menjadi sebuah gambar yang bermakna simbolis. Hal ini karena dalam ajaran moral Islam dilarang menggambarkan bentuk manusia atau hewan.
Pada zaman kerajaan Demak, wayang yang semula mengandung ajaran Trimurti dan dewa-dewa yang pantheis kemudian diubah menjadi kedudukannya, bukan sebagai Tuhan melainkan hanya sebagai pelaksana atas perintah Tuhan, mirip kedudukannya seperti Malaikat.
•Simpulan Esai
Islam adalah agama yang universal dan tidak terkhususkan pada satu suku atau etnis tertentu karena misi utama Islam adalah rahmatan lil ‘alamin yaitu membawa misi kedamaian kepada seluruh alam. Misi inilah yang membawa Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia.
Terjadinya penyebaran Islam ke seluruh penjuru dunia inilah yang menyebabkan corak dan varian Islam memiliki kekhasan tersendiri dari pada Islam yang berkembang di Jazirah Arab, demikian pula Islam yang menyebar ke Nusantara ini pun tidak terlepas dari budaya lokal yang sudah ada dalam komunitas masyarakat.
Islam yang berdialegtika dengan budaya lokal tersebut pada akhirnya akan membentuk suatu varian varian Islam yang khas dan unik seperti Islam Jawa, Islam Aceh dan lain sebagainya. Varian Islam tersebut bukanlah yang dimaksudkan dengan Islam yang sudah tercabut kemurniannya melainkan Islam yang di dalamnya telah berakulturasi dengan budaya lokal. Jadi untuk strategi pengembangan budaya Islam di Indonesia, kita perlu membangun visi kedepan bahwa dengan budaya seluruh aspek, dimensi cara pandang, sikap hidup serta aktualisasinya dalam kehidupan manusia menjadi tersentuh dan wayang juga telah diakui UNESCO sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity (Karya-karya Agung Lisan dan Tak Benda Warisan Manusia).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H